TIMESINDONESIA, JAKARTA – Nabi Yesaya hari ini melukiskan visi besar tentang Allah yang mengumpulkan manusia dari berbagai bangsa, bahasa, dan suku untuk datang menyembah-Nya. Sebuah gambaran kosmik yang melampaui batas-batas teritorial, ras, bahkan keyakinan.
“_Mereka akan membawa semua saudaramu dari antara segala bangsa…_”(Yes 66:20).
Ayat ini memotret wajah Tuhan yang inklusif. Ia bukan hanya milik satu bangsa atau agama tertentu, melainkan Tuhan semesta, Tuhan yang memanggil semua ciptaan untuk datang dan mengalami kasih-Nya.
Di tengah dunia modern yang masih dirundung konflik identitas, polarisasi politik, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial, pesan Yesaya ini terasa segar sekaligus menantang. Iman sejati tidak menutup diri, melainkan merangkul. Tidak menyingkirkan, melainkan mengundang. Tidak membangun tembok, melainkan membuka jendela persaudaraan.
Keselamatan, damai, dan rahmat Tuhan adalah anugerah universal. Itulah sebabnya kita dipanggil untuk tidak hidup eksklusif dalam “tempurung” kelompok sendiri, melainkan berani membuka diri, mengakui keberagaman sebagai bagian dari karya Tuhan yang indah.
Namun, jalan menuju visi besar itu tidak selalu mudah. Surat kepada orang Ibrani hari ini mengingatkan kita akan sisi lain dari kasih Allah: disiplin.
“_Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak_”(Ibr 12:6).
Bagi telinga modern, kata-kata ini mungkin terdengar keras. Tetapi maksudnya jelas: kasih sejati bukan berarti memanjakan, melainkan membentuk. Sama seperti seorang guru yang melatih muridnya dengan keras agar kelak berhasil, atau orangtua yang mendidik anaknya dengan tegas agar tumbuh dewasa, demikian pula Tuhan mendidik umat-Nya.
Penderitaan, kegagalan, bahkan luka dalam hidup bisa menjadi bagian dari “proses pembentukan” ini. Disiplin bukanlah hukuman, melainkan bentuk cinta. Dalam bahasa spiritualitas, kita menyebutnya sebagai pemurnian jiwa.
Tantangan yang kita hadapi hari ini — dari masalah pribadi hingga pergulatan sosial — bisa menjadi kesempatan untuk bertumbuh. Justru di situ kita belajar tekun, sabar, dan setia.
Yesus dalam Injil Lukas menambahkan lapisan refleksi lain: undangan keselamatan memang terbuka luas, tetapi jalan masuknya tidak mudah.
“_Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit_…” (Luk 13:24).
Banyak orang merasa sudah “dekat” dengan Tuhan, sudah mengenal-Nya secara lahiriah, tetapi ternyata tidak sungguh hidup dalam kasih dan kebenaran. Kedekatan formal tidak menjamin keselamatan.
Pintu yang sempit itu adalah simbol perjuangan hidup yang otentik. Kita dipanggil untuk menanggalkan ego, kesombongan, dan kepentingan diri, agar bisa masuk ke ruang kasih yang lebih besar.
Pintu itu sempit karena hanya bisa dilewati oleh mereka yang rela merendahkan hati. Tidak ada jalan pintas. Tidak ada tiket istimewa karena status sosial, agama, atau kebangsaan. Hanya cinta, kerendahan hati, dan kesetiaan yang membuat seseorang layak melangkah masuk.
Jika kita rangkai ketiga bacaan hari ini, kita melihat benang merah:
• Yesaya berbicara tentang panggilan keselamatan untuk segala bangsa.
• Surat Ibrani menekankan disiplin kasih sebagai proses pemurnian.
• Yesus menegaskan pentingnya perjuangan pribadi untuk masuk melalui pintu sempit.
Dunia kita hari ini semakin global, tetapi juga semakin rapuh oleh perpecahan. Media sosial memperlihatkan betapa cepatnya orang terpecah oleh hoaks, sentimen politik, dan ujaran kebencian.
Di sinilah relevansi bacaan ini: iman yang otentik bukan hanya soal ritual, tetapi tentang keberanian untuk menjadi saudara bagi siapa pun, tanpa memandang latar belakang.
Iman yang inklusif bukan berarti kehilangan identitas, melainkan memperkaya diri dengan keberagaman. Sama seperti pelangi yang indah justru karena warna-warnanya berbeda, demikian pula umat manusia.
Renungan hari ini bisa kita simpulkan dalam satu kalimat: Keselamatan adalah undangan universal, namun jawabannya menuntut perjuangan pribadi yang penuh kesetiaan dan kasih.
Kita dipanggil untuk membuka diri pada persaudaraan lintas batas, menerima keberagaman sebagai rahmat, dan berani berjalan melewati “pintu yang sempit”. Jalan disiplin, kerendahan hati, dan keaslian hidup.
Di tengah dunia yang bising, Tuhan masih berbisik lembut:
“Aku memanggilmu, bukan hanya kamu, tetapi semua saudaramu dari segala bangsa.”
Maukah kita menjawab panggilan itu dengan hati yang rendah, tangan yang terbuka, dan hidup yang otentik? (*)
Pewarta | : Ge Recta Geson |
Editor | : Deasy Mayasari |
Bupati Jombang Warsubi Puji Petani Sebagai Pahlawan Pangan Penopang Bangsa
Menengok Serunya Lomba Pacu Jalur ala Warga Jombang
Nyono: Kepemimpinan Khofifah Jadi Kunci Ketangguhan Jawa Timur Hadapi Pandemi dan Bencana
Gebyar DCF XV Resmi Dibuka Bupati Banjarnegara, Ribuan Lampion Hiasi Langit Dieng
Sanitasi Merata Berkelanjutan, DPKPCK Kabupaten Malang Bangun IPAL Komunal di 165 Titik
Ketimbang Naikkan Pajak, Wali Kota Surabaya Pilih Pembiayaan Alternatif untuk Infrastruktur
Harmonisasi Hukum Daerah, DPRD Majalengka Raih Penghargaan dari Kemenkum Jawa Barat
Dugaan Korupsi Bandwidth Internet di Sleman, Kejati DIY Hitung Potensi Kerugian Negara
Rayakan HUT ke-80 RI, Perempuan Lintas Agama di Banyuwangi Gelar Lomba Pungut Sampah
Jalin Toleransi, Perempuan Lintas Agama di Banyuwangi Semarakkan Lomba HUT ke-80 RI