TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dulu, ketika langit Surabaya bergetar oleh takbir dan bedil, Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari mengumandangkan Resolusi Jihad. Seruan itu membakar semangat santri untuk melawan penjajahan fisik.
Tapi hari ini, peperangan sudah berganti rupa. Tidak ada lagi tentara bersepatu bot. Musuh baru datang dalam bentuk narasi, fitnah, dan framing digital.
Dan, lagi-lagi, NU menjadi sasaran tembak.
Setiap kali ada kegaduhan nasional, nama NU selalu tersere. Juga pasti diseret-seret. Entah karena politisasi, entah karena ada yang ingin memecah belah. NU dituduh ini, disindir itu. Kadang diamnya ditafsir negatif, kadang bicaranya disalahartikan.
Maka mungkin sudah saatnya, seperti 1945, NU kembali mengumandangkan Resolusi Jihad. Tapi kali ini bukan jihad fisik. Jihad digital.
Dulu penjajah menguasai tanah. Kini penjajah menguasai timeline.
Dulu kita melawan bedil, sekarang melawan buzzers dan bot farms.
Jika dulu ada propaganda melalui pamflet dan radio Belanda, kini ia datang lewat algoritma yang tak kelihatan.
Disinformasi hari ini jauh lebih licik. Ia berpakaian rapi, berbahasa santun, dan bersayap “opini publik.” Sekali unggahan salah paham bisa menghancurkan reputasi tokoh, lembaga, bahkan keyakinan.
Dan NU - dengan segala sejarah, karisma, dan jaringan santrinya, —sedang berada di medan perang itu. Tidak dalam bentuk darah, tapi dalam bentuk citra.
NU perlu menggerakkan Resolusi Jihad 2.0: jihad literasi, jihad narasi, jihad konfirmasi.
Bukan jihad marah-marah di kolom komentar. Tapi jihad mencerdaskan publik dengan akhlak, data, dan humor santri.
Santri digital perlu lahir. Yang bukan cuma pandai ngaji, tapi juga ngepost. Yang bukan hanya bisa qiraah, tapi juga storytelling. Karena kebenaran pun kini harus dikemas dengan seni visual dan caption yang menggoda.
Sudah saatnya NU membangun “cyber santri.” Bukan untuk menyerang, tapi untuk menenangkan. Bukan untuk membungkam, tapi untuk menjernihkan.
Mbah Hasyim dulu menegaskan bahwa membela tanah air adalah bagian dari iman. Sekarang, membela kebenaran di dunia maya pun bagian dari iman digital.
Santri dulu membawa bambu runcing. Santri sekarang membawa algoritma dan bandwidth. Yang dulu bertempur di medan Surabaya, yang kini bertempur di feed Instagram, trending topic X, atau reel TikTok.
Keduanya sama-sama jihad. Bedanya: yang satu menumpahkan darah, yang satu menjaga marwah.
NU tak bisa lagi hanya jadi penonton di arus deras informasi. Kalau dulu penjajahan datang dari laut, kini datang dari server. Kalau dulu Belanda datang membawa kapal perang, kini penjajah datang membawa narrative warfare.
Dalam dunia kontra intelijen, perang opini selalu dimenangkan oleh mereka yang punya data. Maka NU harus punya social intelligence unit.
Sebuah tim yang bisa membaca pola, memantau isu, dan membuat kontra-narasi sebelum fitnah membesar.
NU juga perlu AI Narrative Watche. Alat analitik cerdas yang memantau sentimen publik dan deteksi dini terhadap framing negatif.
Inilah jihad baru: bukan hanya menulis, tapi juga menganalisis. Inilah BIN NU (Badan Intelijen Narasi NU).
Medsos adalah medan perang persepsi. Dan di perang persepsi, senjatanya bukan lagi bedil, melainkan branding. NU perlu merebut kembali narasi tentang dirinya sendiri. Bukan dengan marah, tapi dengan elegan.
Hari Santri bukan sekadar mengenang perjuangan. Tapi memperbarui semangat. Jika 22 Oktober 1945 adalah seruan mempertahankan kemerdekaan, maka 22 Oktober hari ini adalah seruan mempertahankan kebenaran.
Kita butuh Resolusi Jihad 2.0, jihad melawan kolonialisme algoritma, kapitalisme opini, dan ekstremisme digital. Jihad untuk menegakkan Islam rahmatan lil alamin di dunia maya yang makin brutal.
NU tak boleh kalah oleh kebisingan. Santri tak boleh diam di pojokan komentar. Karena di zaman ini, diam adalah kalah, viral adalah senjata.
“Dulu santri berjuang dengan bedil dan bambu runcing, kini dengan bandwidth dan algoritma. Bedanya, musuhnya tak terlihat, tapi dampaknya bisa menghancurkan bangsa.” (*)
Pewarta | : Khoirul Anwar |
Editor | : Deasy Mayasari |
Isyam Syamsi Kembali Bawa Batik Banyuwangi ke Panggung Internasional
Dinkes Malang Selidiki Dugaan Keracunan MBG MTs Al Khalifah hingga Dapur SPPG
Bupati Jombang Tinjau Jalan Penghubung di Desa Asemgede yang Amblas
BNNK, Lapas, dan Polresta Banyuwangi Bersatu Perangi Narkoba
Swiss-Belinn Airport Surabaya Kenalkan Inovasi Kuliner Bandeng Hot Plate Cabe Ijo
Kisah Inspiratif Chef Muda Indonesia di Balik Kesuksesan Lulu Bistrot
Pemkot Surabaya-KI Jatim Gandeng Australia Tingkatkan Transparansi Informasi Publik
Abdul Qodir Desak Transparansi Kasus Siswa dan Guru Keracunan MBG di MTs Al Khalifah
Festival Film Santri 2025 Digelar di Surabaya, Pertemuan Pesantren dan Ekosistem Sinema
Pancaroba Datang, Pemkab Banyuwangi Ingatkan Risiko Penyakit Hewan Ternak