TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Jember saat ini berada dalam tekanan sistemik yang tidak biasa. Dari sisi timur, jalur Gunung Gumitir yang selama ini menjadi urat nadi distribusi BBM dari Banyuwangi lumpuh akibat longsor dan perbaikan jalan.
Dari sisi utara, Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi salah satu titik kritis arus barang dan manusia dari Bali ke Jawa macet total pasca kecelakaan kapal dan temuan bahwa banyak armada penyeberangan tidak laik operasi dan dilarang untuk beroprasi. Akibatnya, antrean truk logistik menumpuk dan memutus jalur pantura sebagai jalur distribusi utama ke Jember.
Efek dari dua penyumbatan ini langsung terasa di Jember. BBM mulai langka di berbagai SPBU, distribusi barang terhambat, dan aktivitas masyarakat pun mulai lumpuh.
Pemerintah Kabupaten Jember terpaksa mengambil langkah darurat: mengembalikan pembelajaran ke model daring, bukan karena pandemi, melainkan karena kendaraan guru dan siswa tidak bisa lagi beroperasi akibat kelangkaan bahan bakar.
Situasi ini membuktikan bahwa ketika sistem logistik terguncang, bukan hanya pasar yang terganggu, tetapi juga layanan publik paling dasar seperti pendidikan.
Yang unik, harga BBM tetap tidak berubah. Pemerintah pusat tetap mengendalikan harga, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan fenomena lain: masyarakat harus mengantre berjam-jam, mencari SPBU yang masih punya stok, bahkan membeli BBM di pasar informal dengan harga jauh lebih tinggi.
Ini menciptakan apa yang dalam teori ekonomi disebut sebagai non-price rationing. Barang menjadi langka bukan karena harganya naik, tetapi karena distribusinya tidak sampai dan akses masyarakat menjadi terbatas.
Secara makroekonomi, gangguan logistik ini memicu guncangan penawaran agregat. Kurva penawaran agregat jangka pendek (SRAS) bergeser ke kiri. Kapasitas produksi riil daerah menurun karena bahan baku dan energi terhambat masuk.
Bahkan jika permintaan agregat (AD) tetap, output turun dan tekanan biaya meningkat. Ini merupakan bentuk stagflasi lokal produksi stagnan, harga di sektor informal naik, dan masyarakat menanggung biaya ekonomi yang tinggi tanpa perubahan harga resmi.
Namun tekanan bukan hanya dari sisi penawaran. Di tengah kabar kelangkaan, masyarakat mulai panik. Terjadi panic buying: warga membeli BBM lebih banyak dari biasanya, menyimpannya dalam jerigen atau tangki cadangan.
Dalam behavioral economics, ini dijelaskan melalui prospect theory dari Kahneman dan Tversky: individu lebih takut kehilangan akses daripada mempertimbangkan manfaat rasional jangka panjang.
Ketika melihat orang lain mengantre dan khawatir tidak kebagian, orang cenderung mengikuti, menciptakan efek herd behavior yang mempercepat kelangkaan.
Lebih parah lagi, muncul penimbunan dan perilaku free rider. Sebagian warga membeli BBM dalam jumlah besar bukan untuk dikonsumsi, tetapi untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi di pasar gelap.
Meskipun harga resmi tak berubah, harga riil di lapangan melonjak. Perilaku ini mencerminkan market failure yang diperparah oleh insentif jangka pendek dan lemahnya pengawasan distribusi.
Dalam kondisi seperti ini, permintaan agregat pun terdorong secara artifisial. Bukan karena peningkatan konsumsi riil, tetapi karena konsumsi spekulatif dan pembelian panik. Kurva AD bergeser ke kanan, bukan karena peningkatan kesejahteraan, tetapi karena ledakan permintaan yang tidak sehat.
Ketika AD bergeser ke kanan dan SRAS bergeser ke kiri secara bersamaan, maka tekanan pada harga (inflasi tersembunyi) meningkat, dan output ekonomi justru menyusut.
Kondisi ini membuktikan bahwa sistem ekonomi tidak selalu rasional. Ketika infrastruktur gagal, ketika distribusi terhambat, dan ketika persepsi masyarakat dibiarkan liar, maka bahkan kebijakan harga tetap pun tak mampu menenangkan pasar.
Yang terjadi adalah kelangkaan, spekulasi, dan ketidakpastian yang membebani masyarakat kecil. Ruang kelas yang kosong bukan lagi simbol pandemi, tetapi potret nyata dari krisis logistik yang gagal diantisipasi.
Jember harus belajar bahwa ketahanan wilayah bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga soal redundansi jalur distribusi dan ketahanan psikologis pasar. Jalur Gumitir tidak boleh jadi satu-satunya rute. Pelabuhan Ketapang tidak boleh jadi satu-satunya simpul masuk logistik.
Diperlukan jalur alternatif, depot sekunder, sistem distribusi BBM yang desentralistik, dan tentu saja komunikasi publik yang mampu menjaga ekspektasi warga agar tidak runtuh oleh kabar yang simpang siur.
Kita tidak bisa membiarkan satu jalan yang tertutup, atau satu kapal yang karam, menjadi sebab terguncangnya seluruh sistem sosial dan ekonomi. Karena ketika kurva-kurva dalam teori ekonomi mulai bergeser, yang terdampak bukan hanya angka di grafik, tetapi kehidupan nyata masyarakat yang mulai kehilangan arah.
***
*) Oleh : Dr. M. Iqbal Fardian, SE., M.Si., Ekonom Economica Institute dan Dewan Pakar ISNU Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Donat Pupur Malang, Cita Rasa Jadul yang Menang di Era Kekinian
Ini 10 Destinasi Pariwisata Prioritas Nasional, Salah Satunya Punya Sunset Terindah
Lindungi Mata dari Layar HP: 4 Cara Sehat dan Efektif
5 Rekomendasi Kuliner yang Wajib Dicicipi saat ke Surabaya
Glasglow Disulap jadi New York City ala MCU untuk Spider-Man: Brand New Day
Kylian MbappeĀ Pakai Nomor 10 di Real Madrid, Gantikan Luka Modric
Operasi Gabungan Majalengka Gagalkan Peredaran Rokok Ilegal Rp150 Juta
Fenomena Demontrasi Warga Desa di Cianjur, Publik Diminta Tak Terburu Menghakimi
Hujan Deras Robohkan Pohon Raksasa di Jalur Puncak di Bogor, Lalu Lintas Tersendat
Komitmen Pembangunan di Desa, Pemkab Malang Peroleh Penghargaan Penyaluran Dana Desa Tercepat 2025