TIMESINDONESIA, JEMBER – Pemerintah mendapat kritik tajam setelah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani soal rendahnya gaji guru dan dosen justru memicu kegaduhan. Publik heran, bagaimana mungkin pejabat yang paling berkuasa atas anggaran malah melempar persoalan ke masyarakat.
Bukankah kunci pengaturan pos belanja ada di Kemenkeu sendiri? Pernyataan itu pun tampak mengalihkan sorotan dari akar masalah sebenarnya yaitu tata kelola anggaran pendidikan yang sering tidak tepat sasaran.
Padahal di atas kertas, anggaran pendidikan Indonesia terlihat luar biasa besar. Tahun 2026 misalnya, pemerintah mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk pendidikan. Angka yang fantastis. Tapi kalau kita bedah, ternyata 44,2% dari jumlah itu, sekitar Rp335 triliun, justru dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Program MBG memang penting untuk mengatasi gangguan tumbuh kembang anak usia sekolah akibat kekurangan gizi, tapi kalau masuk ke pos pendidikan, jadinya anggaran riil untuk operasional dan peningkatan mutu pendidikan jadi makin tipis.
Idealnya, program seperti MBG berdiri sendiri di luar anggaran pendidikan, sehingga fungsi utama dana pendidikan tidak tergeser.
Inilah wajah klasik politik anggaran di negeri ini, lebih sibuk mengejar program populis yang mudah dijual ke publik ketimbang memperbaiki akar persoalan. Kita tahu, kualitas pendidikan ditentukan terutama oleh guru, dosen, sarana belajar, serta riset. Namun, justru pos-pos strategis ini sering kali tersisih karena anggaran harus berbagi dengan program yang bernuansa politis.
Ironis bukan? Kita bicara tentang membangun generasi emas 2045, tapi gaji pendidik, pahlawan di ruang kelas masih banyak yang belum layak. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan guru dan dosen agar mereka bisa fokus mendidik, negara malah sibuk mengucurkan ratusan triliun untuk program yang seolah solutif tapi tidak langsung mengangkat mutu pendidikan.
Di sinilah letak kaburnya prioritas. Anggaran pendidikan seharusnya diarahkan untuk: Pertama, Perbaikan infrastruktur sekolah dan kampus. Banyak sekolah di daerah tertinggal masih kekurangan fasilitas dasar, sementara universitas masih kesulitan dalam pendanaan riset.
Kedua, Kesejahteraan guru dan dosen. Karena tanpa tenaga pendidik yang sejahtera, mustahil mutu pendidikan bisa meningkat.
Ketiga, Pemerataan akses pendidikan tinggi. Data menunjukkan APK perguruan tinggi masih rendah (sekitar 32%), artinya dua dari tiga lulusan SMA tidak melanjutkan kuliah. Jadi dua pertiga sisanya berhenti di tengah jalan, ini masalah serius bagi daya saing bangsa.
Anggaran besar APBN belum benar-benar terasa dampaknya pada kualitas pendidikan kita. Faktanya, mutu pendidikan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga. Lihat saja data terbaru, berdasarkan World Population Review (2025), sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat 67 dari 203 negara di dunia.
Meskipun peringkat tingkat melek (literasi) Indonesia menunjukkan adanya perbaikan, masih ada tantangan dalam sistem pendidikan Indonesia, seperti: Pertama, Rasio guru per tingkat akademik dan distribusi guru yang tidak merata. Kedua, Masalah kesehatan mental pada anak dan remaja. Ketiga, Pemerataan pendidikan.
Dalam laporan pembangunan manusia (Human Development Index-HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP)-PBB, pada 6 Mei 2025, Indonesia ditempatkan pada peringkat ke 113 dari 193 negara di dunia dan berada pada kelompok high human development dengan indeks 0,728.
Untuk Kawasan Asia Tenggara (ASEAN), negara kita tertinggal oleh negara tetangga : Singapura (rangking 13), Brunei Darussalam (60), Malaysia (67), Thailand (76), Vietnam (93).
Pendidikan di Indonesia juga menghadapi tantangan dalam hal kualitas. Artinya meski kita punya anggaran ratusan triliun, kemampuan dasar siswa dalam membaca, matematika, dan sains masih tertinggal.
Semua data ini bikin kita bertanya-tanya, ke mana sebenarnya larinya anggaran pendidikan yang begitu besar itu? Jawabannya ada pada prioritas yang tidak jelas.
Memang benar, pemerintah selalu bilang sudah memenuhi amanat konstitusi dengan mengalokasikan minimal 20% APBN untuk pendidikan. Tapi kalau dilihat lebih detail, ternyata sebagian besar dana itu dipakai untuk pendidikan kedinasan di kementerian/lembaga, yang sebenarnya tidak termasuk dalam definisi pendidikan nasional sesuai UU Sisdiknas 2003.
Akhirnya, kementerian yang langsung mengurusi pendidikan dasar hingga perguruan tinggi seperti Kemendikdasmen dan Kemendikti-Saintek justru hanya kebagian sebagian kecil.
Program baru seperti MBG memang memiliki manfaat, tetapi tanpa desain kebijakan yang matang hanya akan menjadi tekanan anggaran besar tanpa benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
Jika kondisi ini terus berlanjut, ibarat membangun rumah dengan pondasi rapuh: tampak megah, tapi mudah runtuh. Padahal, pendidikan adalah fondasi utama bangsa. Solusinya jelas: Pertama, lakukan refocusing anggaran: prioritaskan kesejahteraan guru-dosen, perbaikan fasilitas, dan pemerataan akses perguruan tinggi, bukan habis untuk program populis.
Kedua, gunakan penganggaran pendidikan harus berbasis data, melalui kajian dampak regulasi yang matang, analisis risiko korupsi, serta partisipasi publik yang benar-benar substansial, agar setiap rupiah terukur dampaknya.
Ketiga, libatkan publik, guru, akademisi, siswa, agar kebijakan pendidikan tidak jadi rebutan kekuatan elite politik.
Yang paling penting, dibutuhkan determinasi kepemimpinan Presiden. Hanya keberanian di level tertinggi yang bisa membenahi kusutnya anggaran pendidikan. Untuk memajukan pendidikan harus diwujudkan dalam langkah nyata, bukan sekadar slogan. Jika tidak, kita sedang menyiapkan skenario kegagalan pendidikan sejak awal.
Masa depan bangsa ditentukan di ruang kelas hari ini. Gaji layak bagi guru dan dosen, fasilitas memadai, dan kebijakan visioner bukanlah kemewahan, itu kebutuhan dasar untuk mencetak generasi unggul.
Jadi, mari kita dorong agar anggaran pendidikan benar-benar berpihak pada mutu, karena pendidikan bukan soal angka, tapi soal masa depan Indonesia.
***
*) Oleh : M.A. Ghofur, S.Pd., S.A.P., Praktisi Jaring Asesmen Indonesia & Rengganis Indonesia Fundation. Serta Pendidik di SMP Negeri 2 Balung, Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Hyundai Stargazer Cartenz Resmi Beredar di Malang, Intip Fiturnya
Piala Super Arab Saudi 2025, Al-Ahli Tekuk Al-Nassr Lewat Drama Adu Penalti
Jackie Chan Bertarung Lawan AI di Film The Shadow's Edge
Apple Dikabarkan Lirik Google Gemini untuk Tingkatkan Kecerdasan Siri
Krisis Komunikasi Elit dan Persepsi Publik
Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko Pelopor Ucapan Bibit Pohon
Kejuaraan Dunia Voli Putra U-21 2025, Indonesia Kalah 2-3 dari Ukraina
Peluang Karier Generasi Digital
Dieng Cultura Festival XV Dibuka Bupati Banjarnegara, Besok Ritual Cukur Rambut Gimbal
Singgah di Madiun, Kampanye "Judi Pasti Rugi" Edukasi Masyarakat tentang Bahaya Judi Online