TIMESINDONESIA, JAKARTA – Selama ini, kita mengenal Jakarta dengan kota yang macet dan tidak nyaman, namun kini diakui secara global dengan dibuktikan masuknya Jakarta menjadi 20 Kota dengan Transportasi Publik terbaik di Dunia. Data ini diambil berdasarkan survei global Time Out 2025, Jakarta berhasil menduduki peringkat 17 dari 50 kota yang disurvei dalam kualitas transportasi umum.
Ini adalah capaian yang bukan sekadar angka namun cermin revolusisenyap yang telah mengubah Jakarta menjadi kota secara fundamental. Dan ini menjadi bukti bahwa visi, investasi dan perubahan perilaku kolektif bisa mengubah mimpi menjadi kenyataan.
Kita masih teringat semerawutnya jalanan Jakarta, di mana angkot, bus mini sangat tidak layak jalan, belum lagi mengenai model berkendara yang bar-bar sehingga menimbulkan kemacetan sehingga pilihan transportasi umum itu pilihan singkat.
Teringat Tomtom Traffic Indeks Tahun 2017 hasil surveinya menobatkan Jakarta menjadi termacet kedua di dunia. Ini menjadi predikat yang memalukan tapi juga menjadi keresahan untuk berubah.
Sekarang, Jakarta sudah membangun fondasi transportasi yang kuat. Sejak Transjakarta memulai operasional di tahun 2004, lalu MRT di tahun 2019 lalu dilanjutkan dengan LRT Jakarta. Kini, jejaring transportasi umum di Jakarta semakin meluas ditambah dengan adanya mikrotrans atau biasa dikenal jaklinko.
Data terbaru Transjakarta melayani rata-rata 1 juta penumpang per hari, dan MRT sudah melayani 120 ribu penumpang setiap harinya. Angka tersebut menunjukkan masyarakat sudah sadar dan percaya untuk menggunakan transportasi umum dibandingkan dari kendaraan pribadi.
Dari sudut pandang sosiologis, perubahan perilaku masyarakat berpindah moda transportasi menarik untuk dilakukan analisa. Jika kita melihat Teori Aksi Sosial Max Weber menjelaskan alasan kenapa masyarakat berpindah ke transportasi publik.
Menurut Weber, keputusan atau tindakan individu didorong oleh pertimbangan rasional. Dulu, memiliki kendaraan pribadi merupakan simbol status dan pilihan yang paling logis karena transportasi publik masih dianggap tidak efisien.
Akan tetapi, saat ini pertimbangan rasionalitas menjadi berbalik. Masyarakat Jakarta dan Sekitarnya mulai sadar bahwa terjebak macet berjam-jam bukan hanya membuang waktu tetapi menguras energi dan uang.
Kini, memilih transportasi publik merupakan keputusan rasional dengan biaya yang relatif lebih murah, bahkan seseorang bisa menempuh jarak yang jauh dengan ketepatan waktu yang bisa diprediksi.
Integrasi antar moda transportasi pun mulai terlihat baik menggunakan satu kartu ataupun penerapan satu tarif di semua moda transportasi baik Transjakarta, MRT, dan Jaklinko, dan mungkin KRL dan LRT akan segera menyusul.
Bukti di atas memperkuat rasionalisasi masyarakat berpindah ke transportasi publik, ini adalah bukti sebuah transformasi cara berpikir kolektif. Kota ini sedang membangun budaya komuter yang berorientasi pada efisiensi dan berkelanjutan.
Layakkah Jakarta Mendapatkan Pengakuan Global?
Saya menilai sangat layak, ada beberapa alasan, pertama, Jakarta memiliki Integrasi Moda yang Kuat, karena kemudahan konektivitas merupakan kunci kesuksesan transportasi. Jembatan, lorong penghubung yang memudahkan perpindahan dari halte ke halte, atau stasiun ke stasiun merupakan infrastruktur vital yang mempermudah mobilitas.
Sistem yang kohesif ini membuat perjalanan terasa cepat, mulus dan tanpa kendala, bahkan bagi masyarakat yang baru saja mencoba menggunakan transportasi publik yang ada di Jakarta.
Alasan berikutnya, menurut data transportasi publik di atas, secara tidak langsung berkontribusi pada penurunan polusi udara yang selama ini menjadi isu krusial yang menghantui masyarakat. Semakin banyak orang yang beralih dari kendaraan pribadi baik mobil maupun motor ke transportasi publik maka semakin sedikit emisi gas buang yang dilepaskan.
Lalu secara ekonomi, efisiensi waktu perjalanan berati produktivitas yang lebih tinggi, ada setidaknya penghematan untuk bensin, tol dan kendaraan pribadi yang bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain, yang pada akhirnya menggerakkan roda perekonomian.
Saya pernah menghitung penghematan energi dan ekonomi antara menggunakan kendaraan roda dua dan naik transportasi publik. Saya melakukan perjalanan sejauh 40 km ke kantor dengan motor Vario 125 menghabiskan Rp498.400 per bulan, dan motor saya yang boros menyumbang 81.8 kg CO2 ke udara. Sejak beralih ke Commuter Line pada 2022, saya merasa jauh lebih efisien.
Pengeluaran bulanan turun drastis menjadi Rp338.000, menghemat Rp160.400. Yang paling penting, langkah ini secara signifikan meningkatkan efisiensi energi transportasi saya, terbukti dari penurunan emisi karbon pribadi hingga 39.4 kg CO2 per-bulan.
Alasan terakhir kenapa Jakarta layak mendapatkan peringkat 20 besar kota terbaik dunia dengan transportasi umum adalah Jakarta berani mengambil kebijakan untuk membangun sistem transportasi publik dengan biaya besar dan jangka waktu yang cukup panjang.
Keberanian kebijakan ini menjadi langkah awal untuk mewujudkan transportasi yang nyaman dan diminati masyarakat dengan mengalokasikan anggaran untuk proyek seperti MRT, LRT maupun transjakarta non BRT. Dan saat ini perlahan sudah mendapatkan hasil dari investasi.
Bisakah Jakarta Menjadi Kota Terbaik Transportasi Publik?
Tentu bisa, perjalanan Jakarta dalam transportasi publik tentu masih jauh dari kata usai, posisi ke-17 merupakan pencapaian namun tantangan untuk terus berubah masih harus berjalan, masih banyak area yang perlu diperbaiki.
Misalnya jaringan transportasi publik perlu diperluas lagi ke daerah perkantoran maupun padat penduduk, lalu kenyamanan, keamanan dan kebersihan setiap fasilitas harus terus ditingkatkan secara merata dan edukasi publik tentang merawat fasilitas umum perlu digencarkan. Apalagi pasca kejadian pembakaran yang dilakukan oleh oknum pada unjuk rasa beberapa hari lalu.
Harapan kita, pengakuan ini menjadi energi tambahan untuk terus membangun. Jakarta harus menjadi percontohan bagi kota-kota lain di Indonesia. Bahwa perubahan besar tidak datang dalam semalam, melainkan melalui kerja keras, konsistensi, dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
Jakarta telah menunjukkan bahwa ia mampu mengubah nasibnya. Ia telah melampaui stigma kemacetan dan membuktikan bahwa dengan visi yang jelas, ibu kota kita bisa menjadi kota yang lebih ramah, efisien, dan berkelanjutan untuk semua warganya.
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Segera Meluncur! iPhone 17 Siap Dijual di Indonesia Awal Oktober
Mengenal Informasi Nilai Gizi dalam Kemasan Makanan, Penting untuk Kesehatan
Muthia Salma, Mahasiswi Kebidanan Asal Cianjur Dorong Promosi Wisata dan UMKM
Tantangan Baru Han So Hee Perankan Cha Hae In di Solo Leveling Live Action
Presiden Prabowo Subianto Akan Bahas Serangan Israel di Doha dalam Sidang Umum PBB
Tak Cuma Satu, Lamine Yamal Inginkan Banyak Trofi Ballon d'Or
Jakarta Kota Terbaik Transportasi Umum
Kodim 0705/Magelang Raih Juara Umum di Danrem 072/Pamungkas Cup 2025
Presiden Prabowo Subianto Setuju Komisi Independen Selidiki Kerusuhan Agustus 2025
Air Mineral Alamo, Rahasia Kulit Segar Lebih dari Sekadar Skincare