TIMESINDONESIA, MALANG – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2024–2029 telah resmi dilantik dengan total 580 anggota. Kehadiran mereka di Senayan sesungguhnya menyimpan harapan besar dari rakyat yang memilih, sebab parlemen merupakan salah satu pilar utama demokrasi.
Namun, di balik janji-janji perubahan yang digaungkan, justru menyodorkan potret suram tentang kondisi internal DPR, terutama menyangkut representasi dan kualitas sumber daya manusia yang mengisi lembaga tersebut.
Dari sisi keterwakilan gender, masih terlihat jurang yang lebar antara laki-laki dan perempuan. Dari total anggota DPR, sebanyak 451 orang adalah laki-laki atau sekitar 77,76 persen, sedangkan perempuan hanya berjumlah 129 orang atau 22,24 persen.
Angka ini menegaskan bahwa cita-cita kesetaraan gender dalam politik masih sebatas jargon. Perempuan, yang sering digadang-gadang membawa perspektif lebih sensitif terhadap isu sosial, kesehatan, dan pendidikan, ternyata tetap berada di posisi minoritas.
Kondisi ini juga menunjukkan betapa beratnya perjuangan mewujudkan parlemen yang benar-benar inklusif, di mana suara perempuan tidak sekadar hadir sebagai angka, tetapi juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan.
Komposisi usia anggota DPR juga memperlihatkan kecenderungan konservatif. Mayoritas kursi didominasi oleh politisi berusia paruh baya, dengan kelompok usia 51–60 tahun mencapai 212 orang, disusul 156 orang yang berada di rentang 41–50 tahun.
Representasi generasi muda dalam parlemen kali ini relatif kecil, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terbatasnya gagasan segar dan inovasi. Padahal, bangsa ini tengah menghadapi era disrupsi dengan tantangan globalisasi, digitalisasi, dan perubahan sosial yang begitu cepat.
Kehadiran anak muda di Senayan mestinya bisa menjadi energi baru untuk mempercepat adaptasi kebijakan, agar produk legislasi tidak tertinggal jauh dari realitas zaman.
Namun persoalan yang paling mengemuka justru terletak pada aspek pendidikan. Data menunjukkan bahwa lulusan strata satu (S1) menjadi kelompok terbesar dengan 155 orang, disusul 119 orang bergelar S2 dan 29 orang lulusan S3. Ada pula tiga orang dengan latar belakang diploma, sedangkan lulusan SMA mencapai 63 orang.
Yang paling mengkhawatirkan adalah 211 anggota DPR atau sekitar 36,38 persen sama sekali tidak mencantumkan riwayat pendidikan terakhir mereka. Fakta ini mengejutkan dan mengundang pertanyaan serius tentang transparansi para wakil rakyat.
Apakah mereka sengaja menutupi rekam jejak pendidikan karena tidak layak untuk dipublikasikan, ataukah ada kelalaian sistemik dalam mekanisme pencatatan data oleh partai politik maupun penyelenggara pemilu?
Riwayat pendidikan memang bukan satu-satunya ukuran kualitas seorang politisi. Tidak sedikit tokoh bangsa yang berkontribusi besar meski tidak memiliki gelar akademik tinggi. Akan tetapi, dalam konteks parlemen modern, pendidikan tetap menjadi fondasi penting.
Anggota DPR dituntut memahami naskah akademik undang-undang, melakukan analisis kebijakan, serta mengawasi pemerintah dengan kapasitas intelektual yang memadai. Jika hampir 40 persen anggota tidak jelas latar belakang pendidikannya, wajar bila publik ragu terhadap kemampuan legislatif dalam menghasilkan kebijakan yang berpijak pada kajian mendalam.
Kondisi ini sekaligus membuka tabir lemahnya sistem rekrutmen politik di Indonesia. Partai yang seharusnya berfungsi sebagai filter utama malah seringkali meloloskan calon legislatif semata-mata karena faktor popularitas, kedekatan dengan elit, atau modal finansial yang besar.
Akibatnya, kualitas bukan menjadi pertimbangan utama, melainkan kalkulasi elektoral yang dangkal. Demokrasi pun akhirnya hanya berhenti pada prosedur pemilu, tanpa diiringi substansi yang memastikan wakil rakyat benar-benar berkompeten.
Risiko yang ditimbulkan tidak main-main. Lemahnya kapasitas pendidikan anggota DPR berpotensi memperburuk kualitas legislasi. Undang-undang yang lahir bisa jadi lebih mengutamakan kompromi politik dibanding kajian akademis yang solid.
Fungsi pengawasan yang menjadi jantung peran parlemen pun rentan tumpul jika dijalankan oleh wakil rakyat yang tidak memiliki kemampuan analisis kritis. Dalam jangka panjang, rakyat bisa menjadi korban kebijakan yang asal-asalan, sementara DPR kehilangan legitimasi moralnya sebagai lembaga yang seharusnya memperjuangkan kepentingan publik.
Harapan terhadap DPR periode 2024–2029 tentu tetap ada. Namun harapan itu tidak boleh membutakan rakyat dari sikap kritis. Transparansi harus menjadi tuntutan utama. Anggota DPR seharusnya berani membuka riwayat pendidikan mereka sebagai bentuk tanggung jawab publik.
Media massa, organisasi masyarakat sipil, hingga kalangan akademisi memiliki peran penting untuk terus mengawal, mengkritisi, sekaligus menekan DPR agar bekerja dengan kualitas dan integritas.
Selain aspek pendidikan, isu representasi perempuan dan generasi muda juga harus mendapat perhatian serius. Tanpa komposisi yang mencerminkan keragaman bangsa, parlemen hanya akan menjadi ruang eksklusif yang jauh dari denyut kehidupan rakyat.
Representasi yang timpang akan melahirkan kebijakan yang bias, sementara minimnya keterlibatan generasi muda bisa membuat DPR tertinggal dari perkembangan zaman.
Demokrasi sejatinya tidak berhenti di bilik suara. Ia hanya akan hidup jika rakyat terus mengawasi dan menuntut kualitas dari wakilnya. Data mengejutkan tentang latar belakang anggota DPR periode ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa bangsa ini membutuhkan parlemen yang lebih transparan, inklusif, dan berkompeten.
Tanpa itu semua, gedung megah di Senayan hanya akan menjadi simbol kosong, jauh dari makna sejati kedaulatan rakyat yang diamanatkan konstitusi.
***
*) Oleh : Hainor Rahman, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
BYD Banderol SUV Mewah Yangwang U8L Hampir Rp3 Miliar, Apa Istimewanya?
Kekuasaan bagi Rakyat
Hukum Kemanusiaan dalam Perang Politik dan Kekuasaan
Mantan Karyawan Diduga Gelapkan Uang dan Catut Nama Ngalam Decoration, Kerugian Capai Ratusan Juta
Fit And Proper Test Berakhir, DPR RI Harap Hakim Agung selalu Amanah dan Berintegritas
PKS Jatim Borong Award, Kinerja Terbaik Kaderisasi dan Legislator Pendorong Ekonomi
Keterangan Saksi PT Position Tak Konsisten, Hakim PN Jakpus: Patut Diduga
Kolonel Marlon Pamit dari Komlekdam V Brawijaya, Kenang Kebersamaan Selama 1 Tahun 3 Bulan
UU ITE Jadi Dasar Tindak Konten AI Bermasalah, Regulasi Baru Menyusul
Inilah Profil dan Kekayaan Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat Lainnya yang Baru dilantik Presiden Prabowo Subianto