TIMESINDONESIA, MALANG – Di negeri ini, gelar sarjana kerap dipandang sebagai simbol keberhasilan. Foto wisuda dengan toga hitam dan senyum lebar menjadi kebanggaan keluarga. Ia seakan menjadi penanda bahwa sebuah keluarga telah berhasil menapaki tangga sosial.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada kenyataan getir yang sering terabaikan: semakin banyak sarjana lahir, semakin tinggi pula angka pengangguran terdidik di Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran terbuka justru banyak datang dari lulusan perguruan tinggi. Ironi ini memperlihatkan bahwa dunia pendidikan kita tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan dunia kerja.
Sarjana yang seharusnya menjadi motor kemajuan, justru kerap terjebak dalam antrean panjang pencari kerja. Lalu, apa makna sejati menjadi sarjana jika gelar yang diperoleh belum mampu menjamin kesejahteraan?
Bagi sebagian besar keluarga, pendidikan tinggi dipersepsikan sebagai jalan utama untuk meraih mobilitas sosial. Orang tua rela menjual tanah, meminjam uang, bahkan berhutang agar anaknya bisa kuliah.
Sebab, ada keyakinan bahwa sarjana akan hidup lebih baik, bekerja di kantor, dan berpenghasilan tetap. Tetapi kenyataan sosial jauh berbeda. Ribuan sarjana masih tersangkut dalam status pencari kerja, bahkan tidak sedikit yang akhirnya bekerja di sektor informal yang jauh dari bidang studinya.
Hal ini menandakan adanya mitos yang mulai runtuh. Gelar akademik tidak lagi otomatis berbanding lurus dengan posisi sosial-ekonomi. Pasar kerja bergerak lebih cepat daripada kurikulum perguruan tinggi. Dunia industri menuntut keterampilan adaptif, kreativitas, dan kemampuan digital yang tidak selalu ditekankan di bangku kuliah.
Menjadi sarjana berarti memikul beban ekspektasi. Lingkungan sekitar menaruh harapan besar: “Kalau sudah sarjana pasti cepat dapat kerja”, atau “Sarjana itu mestinya bisa sukses”.
Harapan itu sering kali berubah menjadi tekanan. Ketika kerja tak kunjung datang, sarjana muda dihadapkan pada rasa malu, rendah diri, bahkan frustrasi.
Fenomena “sarjana pengangguran” tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga masyarakat. Ia melahirkan generasi muda yang gamang menghadapi masa depan, menumpuk di kota-kota besar, dan rawan terjebak dalam siklus pekerjaan serabutan. Akhirnya, gelar yang diperjuangkan dengan biaya mahal kehilangan makna substansialnya.
Perguruan tinggi tidak bisa lepas tangan dalam persoalan ini. Tugasnya bukan hanya mencetak lulusan dengan ijazah, tetapi juga memastikan mereka siap menghadapi dunia nyata. Konsep link and match antara kampus dan industri harus benar-benar dijalankan, bukan hanya jargon di atas kertas.
Sayangnya, masih banyak kampus yang terjebak dalam paradigma lama: mengajar teori tanpa memperkuat keterampilan praktis. Padahal, dunia kerja kini menuntut lebih dari sekadar hafalan. Ia membutuhkan problem solver, inovator, dan pembelajar yang tangguh.
Jika kampus gagal menjawab kebutuhan itu, maka lulusan-lulusan yang dihasilkan hanya akan menjadi angka tambahan dalam statistik pengangguran.
Konsekuensi lain menjadi sarjana adalah dilema pilihan karier. Tidak sedikit lulusan yang merasa “tidak pantas” bekerja di luar bidang studinya. Seorang sarjana hukum merasa rendah jika harus berdagang, sarjana teknik enggan menjadi petani, sarjana ekonomi canggung bekerja di sektor informal. Padahal, realitas menuntut fleksibilitas. Dunia kerja tidak selalu sesuai dengan disiplin ilmu yang ditempuh.
Sayangnya, masyarakat kita masih memelihara stigma. Sarjana yang bekerja “di luar jalur” kerap dipandang gagal. Akibatnya, banyak lulusan terjebak dalam kebingungan, antara mempertahankan gengsi atau menyesuaikan diri dengan peluang yang ada.
Menjadi sarjana seharusnya tidak dimaknai sebatas “menunggu pekerjaan datang”, melainkan bagaimana mampu menciptakan pekerjaan. Paradigma inilah yang perlu ditanamkan sejak di bangku kuliah. Pendidikan tinggi harus menumbuhkan jiwa wirausaha, melatih mahasiswa untuk melihat peluang, bukan hanya melamar pekerjaan.
Selain itu, keterampilan non-akademik seperti literasi digital, komunikasi, kepemimpinan, dan manajemen diri menjadi kunci. Dunia kerja modern tidak lagi mengutamakan gelar, tetapi kompetensi. Sarjana yang hanya mengandalkan ijazah akan kalah bersaing dengan mereka yang punya portofolio keterampilan nyata.
Menjadi sarjana berarti bersiap menanggung konsekuensi. Ia tidak hanya tentang kebanggaan keluarga, tetapi juga tentang kesanggupan menghadapi tantangan hidup dengan keberanian dan kreativitas. Sarjana harus mampu berdiri di tengah realitas pahit, tanpa kehilangan idealisme.
Gelar hanyalah pintu. Apa yang dilakukan setelah melewati pintu itu jauh lebih menentukan. Jika sarjana hanya berpuas diri pada selembar ijazah, maka konsekuensi yang datang adalah pengangguran dan kekecewaan. Namun, jika ia mampu mengolah ilmunya menjadi daya hidup, maka ia akan menjadi agen perubahan yang menghidupkan masyarakat.
Konsekuensi menjadi sarjana bukan sekadar soal gelar atau pekerjaan. Ia adalah panggilan untuk bertanggung jawab, tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada bangsa. Indonesia tidak membutuhkan sarjana yang menunggu, melainkan sarjana yang bergerak, berinovasi, dan berani mengambil jalan baru.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
5 Tips Jitu agar Tak Gampang Lelah Duduk saat Bekerja
Ganti Desain Setelah 22 Tahun, Ini Filosofi Logo Baru Suzuki
Bukan dari Semarang, Sesuai Namanya Wingko Babat dari Babat Lamongan
Terungkap! Kisah Nyata Farel Prayoga Warnai Air Mata di Ujung Sajadah 2
Raih Miss Universe Indonesia 2025, Sanly Liu: Kemenangan Bukan Sekadar Mahkota
Livoli Divisi Utama 2025, Indomaret Kalahkan Ganeksa
Dana Keistimewaan DIY 2026 Aman, Rp1 Triliun Tetap Mengalir untuk Budaya dan Pembangunan
Harapan Memperbaiki Ekonomi Keluarga Lewat Sekolah Rakyat
Paus Balin Sepanjang 7 Meter Terdampar Mati di Pantai Nglarap Tulungagung
Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Kapas Madya Baru Bisa Raih Cuan Lewat Jahitan