TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Keputusan pemerintah untuk menetapkan tarif cukai tembakau pada 2026 tanpa adanya kenaikan memunculkan beragam pandangan di ruang publik. Di satu sisi, kebijakan ini dinilai dapat menjaga stabilitas harga, melindungi industri, serta mengurangi tekanan inflasi. Namun di sisi lain, konsekuensi terhadap keberlanjutan kesehatan masyarakat khususnya generasi muda tidak bisa diabaikan.
Indonesia selama bertahun-tahun menghadapi tantangan serius terkait tingginya angka perokok. Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi perokok anak cenderung meningkat, bahkan mencapai dua digit di beberapa wilayah.
Kondisi ini memperlihatkan adanya celah dalam upaya pencegahan, terutama terkait akses yang relatif mudah terhadap rokok. Harga yang terjangkau, bahkan bisa dibeli eceran, membuat rokok sangat dekat dengan keseharian remaja.
Dengan tidak adanya kenaikan tarif cukai pada 2026, harga rokok diperkirakan tetap stabil. Itu berarti akses bagi kelompok usia muda juga tidak banyak berubah.
Padahal, kita memahami kebiasaan yang dimulai sejak dini sangat sulit dihentikan. Generasi yang diharapkan menjadi tulang punggung Indonesia Emas 2045 berisiko menghadapi beban kesehatan yang lebih berat di masa depan.
Di sinilah paradoks muncul. Negara di satu sisi mengampanyekan gaya hidup sehat, namun di sisi lain membuat kebijakan yang dapat mempertahankan keterjangkauan rokok.
Pertanyaan yang muncul bukan semata tentang fiskal atau industri, melainkan arah pilihan kebijakan: keberlanjutan kesehatan publik atau kepentingan jangka pendek?
Fiskal, Industri, dan Kesehatan Publik
Alasan pemerintah terkait kebijakan ini erat dengan pertimbangan ekonomi. Industri tembakau menyerap tenaga kerja besar, dari petani hingga buruh linting. Pemerintah juga ingin menghindari lonjakan harga yang berpotensi menekan inflasi. Argumen ini wajar dan logis.
Namun, pertanyaan penting tetap perlu diajukan: sejauh mana kebijakan ini benar-benar melindungi masyarakat kecil yang kerap dijadikan alasan utama? Faktanya, petani tembakau masih menghadapi harga jual yang tidak stabil dan ketergantungan pada tengkulak.
Buruh linting berjuang dengan upah terbatas. Sementara perusahaan besar dalam industri rokok relatif lebih kuat bertahan dan tetap meraih keuntungan.
Dari sisi fiskal, penerimaan negara dari cukai tembakau memang besar, mencapai lebih dari Rp200 triliun per tahun. Tetapi biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok yang ditanggung BPJS Kesehatan diperkirakan justru lebih tinggi. Artinya, kontribusi fiskal jangka pendek berpotensi menjadi beban sosial dan ekonomi jangka panjang.
Menemukan Jalan Tengah
Kebijakan untuk menjaga industri dan stabilitas harga penting, tetapi harus dibarengi strategi jangka panjang yang berfokus pada kesehatan publik. Retorika perlindungan bagi petani dan buruh linting perlu diwujudkan dalam langkah nyata, bukan sekadar menjaga konsumsi tetap tinggi.
Salah satu opsi adalah diversifikasi ekonomi. Petani tembakau dapat didorong mengembangkan komoditas bernilai tambah yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Buruh linting dapat diarahkan ke industri baru dengan pelatihan dan dukungan negara. Transisi ini tentu tidak mudah, namun jauh lebih berkelanjutan dibanding mempertahankan status quo.
Selain itu, edukasi publik juga harus diperkuat. Kenaikan cukai hanyalah instrumen fiskal; perubahan perilaku masyarakat memerlukan pendekatan jangka panjang.
Pendidikan kesehatan di sekolah, kampanye publik yang konsisten, pembatasan iklan, serta regulasi distribusi rokok menjadi bagian penting dari strategi pencegahan.
Kebijakan cukai tembakau bukan sekadar angka fiskal, tetapi juga cermin pilihan bangsa. Stabilitas fiskal memang penting, namun kesehatan publik adalah fondasi pembangunan jangka panjang.
Jika kesehatan generasi muda terabaikan, manfaat penerimaan fiskal akan habis ditelan biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas. Sebaliknya, investasi pada kesehatan publik akan memperkuat daya saing bangsa sekaligus menjaga keberlanjutan ekonomi.
Keputusan mempertahankan tarif cukai pada 2026 sebaiknya tidak berhenti sebagai kebijakan sesaat. Ia perlu menjadi pintu masuk untuk merancang strategi lebih komprehensif: menjaga industri tembakau tetap bertransformasi, melindungi tenaga kerja, sekaligus menyiapkan generasi yang lebih sehat.
Bangsa yang sehat adalah syarat utama bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, keberanian fiskal sebaiknya berpijak pada prinsip keberlanjutan, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat khususnya generasi mendatang yang akan memikul beban pembangunan.
***
*) Oleh : Nur Kamilia, Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
338 Mahasiswa ITNY Resmi Diwisuda, Zico Persembahkan Gelar untuk Mendiang Ayah
Kombes Pol. Jean Calvijn Simanjuntak Ditunjuk sebagai Kapolrestabes Medan yang Baru
Pawai Budaya Hari Jadi ke-666, Dokter Aminuddin: Motor Penggerak Probolinggo Bersolek
SBY Tandatangani Prasasti dan Bahas Keamanan Daerah di Mapolres Pacitan
Muktamar ke-10 PPP, Plt. Ketum PPP Mardiono: Demokrasi Harus Dilakukan dengan Santun
Mantan Bos Pertamina Sebut Tanjakan Ijen Banyuwangi dalam Mainsepeda Thrilogy
Bantuan Pendidikan untuk Rehab Sekolah di Kabupaten Malang Dikerjakan Secara Swakelola
Janji Perbaikan Sistem, Presiden Prabowo Subianto Minta Kasus Keracunan Program MBG Tidak Dipolitisasi
Dokter Bambang Wicaksono Pimpin PERAPI Jatim, Siap Sinergi Tingkatkan Kualitas Pelayanan
Komisi III DPRD Kota Banjar Soroti Pentingnya SLHS untuk Dapur MBG