TIMESINDONESIA, MALANG – Koran pernah menjadi wajah paling otentik dari ruang publik. Setiap pagi, sebelum kopi mendingin, sebelum mesin kantor berdengung, orang akan merobek plastik bening, membentangkan lembar demi lembar kertas yang memuat denyut bangsa.
Ia bukan sekadar media, melainkan cermin zamannya. Mengabarkan peristiwa, menyajikan gagasan, bahkan menjadi saksi bisu dari setiap perdebatan publik. Kini, pemandangan itu kian jarang. Koran pelan-pelan meredup, dan yang tersisa hanyalah memori nostalgis tentang aroma khas tinta cetak yang dulu begitu akrab di ruang tamu.
Fenomena ini bukan sekadar soal perubahan medium dari cetak ke digital. Ia lebih dalam, menyangkut soal transformasi budaya membaca, pola konsumsi informasi, dan cara masyarakat menilai kebenaran.
Kita hidup dalam era yang menuntut serba cepat, instan, bahkan kadang dangkal. Informasi mengalir deras lewat layar ponsel yang tak pernah lelah berkedip, sementara koran dengan segala proses panjangnya liputan, penyuntingan, percetakan, distribusi seolah tak lagi sanggup mengejar ritme zaman.
Namun, apakah benar koran kalah hanya karena lambat? Atau justru kita, sebagai masyarakat, yang tak lagi sabar meresapi informasi secara utuh?
Koran adalah artefak peradaban. Ia lahir dari pergulatan panjang jurnalistik: reporter yang harus berhari-hari memburu fakta, redaktur yang menyisir kata dengan teliti, hingga percetakan yang berderu setiap dini hari. Setiap lembar koran adalah hasil jerih payah kolektif, bukan sekadar komoditas.
Berbeda dengan media digital yang sering kali tenggelam dalam pusaran kecepatan dan algoritma, koran menyuguhkan ruang refleksi. Berita tidak hanya singkat, tetapi juga lengkap dengan latar, konteks, dan analisis. Tajuk rencana koran adalah wujud paling serius dari suara intelektual media: sebuah editorial yang mengikat institusi, bukan sekadar opini personal.
Dengan kata lain, koran menghadirkan jurnalisme yang berwibawa. Ia mengajak pembaca untuk berhenti sejenak, membaca dengan khidmat, lalu memikirkan implikasi. Nilai inilah yang perlahan hilang di era banjir informasi sekarang.
Pergeseran Ruang Publik
Redupnya koran sesungguhnya menggambarkan pergeseran besar dalam ruang publik. Dahulu, isu yang terbit di halaman depan koran akan menjadi bahan diskusi nasional. Di warung kopi, kantor, hingga ruang kelas, masyarakat membicarakan berita yang sama. Ada kesepahaman kolektif tentang apa yang penting dan layak diperbincangkan.
Kini, dengan media digital yang sangat terfragmentasi, ruang publik pecah menjadi kepingan-kepingan kecil. Seseorang bisa sibuk membicarakan gosip selebriti di Twitter, sementara yang lain tenggelam dalam konten politik di TikTok, dan sebagian lain hanya membaca judul-judul bombastis di portal daring. Tidak ada lagi titik temu yang kokoh sebagaimana koran dulu pernah hadirkan.
Dengan kata lain, redupnya koran juga berarti redupnya konsensus publik. Kita tidak lagi memiliki sumber utama bersama yang menjadi rujukan kebenaran, melainkan hidup dalam kepungan "kebenaran masing-masing" yang disajikan algoritma media sosial.
Bukan berarti koran tidak berusaha beradaptasi. Banyak media cetak kini bermigrasi ke digital. Namun, permasalahannya bukan sekadar pindah medium, melainkan mempertahankan kualitas jurnalisme di tengah ekosistem digital yang keras.
Model bisnis iklan yang dulu menopang koran, kini digerus oleh raksasa teknologi seperti Google dan Meta. Akibatnya, media digital pun sering terjebak pada strategi klikbait demi trafik, mengorbankan kedalaman berita.
Di sinilah dilema besar koran. Tetap bertahan dalam bentuk cetak yang lambat namun berwibawa, atau sepenuhnya bermigrasi ke digital dengan risiko kehilangan ruh reflektifnya.
Bagi generasi lama, membaca koran adalah ritual. Ada kebanggaan tersendiri saat melihat namanya tercetak dalam opini atau saat fotonya muncul di halaman berita.
Koran bukan sekadar kertas, melainkan simbol prestise sosial. Namun, bagi generasi muda, koran hanyalah benda asing. Mereka tumbuh dengan gawai di tangan, dan bagi mereka, membaca di layar jauh lebih natural daripada membuka lembaran kertas.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masa depan koran tidak bisa hanya disandarkan pada nostalgia. Jika koran ingin hidup, ia harus mampu menemukan relevansinya di tengah generasi yang serba cepat, visual, dan digital.
Menjaga Ruh Jurnalisme
Meskipun koran redup, bukan berarti kita harus meratapinya semata sebagai akhir. Yang lebih penting adalah menjaga ruh yang selama ini diemban koran. Jurnalisme yang serius, mendalam, dan berpihak pada publik. Entah dalam bentuk cetak atau digital, prinsip-prinsip itu harus dipertahankan.
Justru di tengah kebisingan informasi sekarang, kita semakin butuh media yang menghadirkan kedalaman, bukan sekadar kecepatan. Kita butuh ruang refleksi yang memberi pemahaman, bukan hanya sensasi. Dan koran, dengan tradisinya yang panjang, bisa menjadi pengingat bahwa jurnalisme bukan sekadar industri, melainkan pilar peradaban.
Redupnya koran adalah tanda zaman. Ia menandai perubahan cara kita berinteraksi dengan informasi, berkomunikasi, dan membangun kesadaran kolektif. Namun, jika kita hanya membiarkan koran mati tanpa menjaga nilai-nilai yang diwariskannya, maka kita akan kehilangan lebih dari sekadar medium. Kita akan kehilangan ruang refleksi, kehilangan konsensus publik, bahkan kehilangan daya kritis sebagai bangsa.
Koran mungkin meredup, tetapi ruh jurnalisme yang dibawanya tidak boleh padam. Tugas kita adalah menjaga api itu tetap menyala, agar bangsa ini tidak hanya sibuk berdebat di dunia digital, tetapi juga mampu merenung, berpikir, dan melangkah dengan kesadaran bersama.
***
*) Oleh: Hainor Rahman, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Badai Bualoi di Thailand Tewaskan 7 Orang , Ratusan Ribu Terdampak
Museum hingga Festival Film di Eropa Bersatu Boikot Israel
Riset dan Big Data Arah Pengetahuan Bangsa
TikTok Diblokir Sementara Komdigi: Data Perjudian Live Jadi Sorotan
Hari Batik Nasional, Wyndham Surabaya City Centre Gelar Lokakarya Jejak Alam
Basarnas Terjunkan Helikopter Selamatkan Pembalap Moto2 di Mandalika
Buntut Keracunan Massal di Cianjur, Dua Penyedia Makan Bergizi Gratis Disetop Sementara
Evakuasi Korban Ponpes Al Khoziny Dinilai Lambat, Khofifah: Upaya Percepatan Sudah Dilakukan
Esensi Guru sebagai Teladan
Kiai NU Desak KPK Profesional Tangani Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji Tambahan