TIMESINDONESIA, MALANG – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya dirancang sebagai salah satu terobosan strategis pemerintah dalam mengatasi persoalan gizi anak, terutama stunting dan ketidakmerataan akses pangan bergizi. Dengan menjangkau sekolah-sekolah hingga pelosok daerah, MBG diharapkan mampu menjadi jaring pengaman sosial sekaligus investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia. Namun, realitas di lapangan menunjukkan ironi yang sulit diabaikan.
Sejak awal 2025, tercatat lebih dari 8.600 anak di berbagai daerah mengalami keracunan usai mengonsumsi makanan MBG. Lonjakan kasus ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah sistem penyediaan makanan bergizi ini benar-benar telah memenuhi standar keamanan pangan yang seharusnya menjadi prioritas utama?
Fenomena keracunan massal tersebut mengindikasikan adanya persoalan mendasar dalam tata kelola program MBG, khususnya terkait kelayakan operasional dapur penyedia, pengawasan distribusi, hingga kontrol mutu oleh instansi pemerintah. Kondisi ini tidak hanya meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap program yang semestinya menyehatkan anak bangsa, tetapi juga menimbulkan konsekuensi hukum yang tidak sederhana.
Bila dapur MBG terbukti lalai menjaga standar kebersihan atau menggunakan bahan pangan tidak layak, maka tanggung jawab pidana tidak bisa dihindari. Di titik inilah penting untuk mengkaji lebih dalam siapa yang seharusnya memikul tanggung jawab hukum, apakah dapur MBG sebagai pelaku usaha, instansi pelaksana yang mengawasi, atau bahkan pemerintah sebagai inisiator program.
Korban keracunan MBG hingga akhir September, yang dirilis oleh health detik, mencapai 8.649 anak diberbagai daerah Indonesia, naik 3.289 kasus hanya dalam dua pekan terakhir. Sementara BGN mencatat 6.517 kasus, dan menurut JPPI menyebut 8.452 kasus ini menunjukkan kemungkinan underreporting. Lonjakan kasus ini membuktikan bahwa masalah MBG bukan insiden terisolasi, melainkan persoalan sistemik.
Bagi siapapun baik korporasi, badan hukum maupun individu yang akan melakukan produksi makanan harus memenuhi beberapa ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku, baik ketentuan dalam Undang-Undang maupun peraturan lainya. Dapur MBG atau SPPG dalam program pengadaan makanan bergizi bagi siswa juga memiliki kewajiban memenuhi ketentuan tersebut walaupun sebagai mitra pemerintah.
Agar dapat beroperasi, setiap dapur MBG minimal wajib memenuhi sejumlah persyaratan hukum dan teknis diantaranya: Pertama, Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dari Dinas Kesehatan setempat. ebagai syarat dasar operasional, sesuai Permenkes No. 1096/Menkes/Per/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga. Menjadi standar wajib dapur MBG agar memperoleh Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Tanpa pemenuhan ini, dapur tidak layak beroperasi.
Kedua, Izin Usaha Jasa Boga atau Katering sesuai Peraturan Menteri Kesehatan dan aturan daerah. Ketiga, Standar Keamanan Pangan (Good Manufacturing Practices/GMP dan HACCP) yang meliputi sanitasi dapur, rantai dingin (cold chain), dan uji kelayakan bahan pangan.
Keempat, Tenaga kerja bersertifikat keamanan pangan (food handler bersertifikat higiene-sanitasi). Kelima, Pencatatan dan pelaporan distribusi sesuai standar pengawasan Badan Gizi Nasional (BGN). Syarat ini bukan formalitas administratif, tetapi fondasi hukum untuk memastikan makanan yang didistribusikan aman dan layak konsumsi.
Apabila sebuah dapur MBG beroperasi tanpa memenuhi persyaratan tersebut, maka konsekuensinya ada sanksi berlapis, baik sanksi Administratif, peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha, pencabutan izin usaha jasa boga hingga denda administratif sesuai aturan pemerintah.
Sementara itu, dalam UU Pangan mengatur sanksi pidana, di antaranya Pasal 142 yang menyatakan pelaku usaha dengan sengaja tidak memiliki izin edar pangan olahan dapat dipenjara 2 tahun atau denda Rp 4 miliar. Sanksi dapat lebih berat jika pelanggaran berakibat luka berat, membahayakan nyawa (penjara 5 tahun atau denda Rp 10 miliar), atau menyebabkan kematian (penjara 10 tahun atau denda Rp 20 miliar). Sanksi pidana juga berlaku bagi korporasi, yang dendanya bisa tiga kali lipat dari denda individu.
Jika dari pelanggaran administratif itu muncul korban keracunan, maka jerat pidananya menjadi lebih berat seperti tertuang dalam Pasal 359 KUHP mengatur hukuman bagi seseorang yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Ketentuan ini mengartikan bahwa kematian korban tidak dikehendaki oleh pelaku, tetapi terjadi akibat kurang hati-hatinya atau kelalaian pelaku dan Pasal 360 KUHP yang menyatakan bahwa kelalaian yang mengakibatkan korban luka atau meninggal.
Siswa keracunan MBG, Siapa yang Bisa Dipidana? Dapur MBG atau SPPG secara hukum menjadi pihak yang bertanggungjawab dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Undang-undang dan peraturan yang berlaku sebagai penyedia makanan dan memproduksi makanan.
Dapur MBG merupakan Vendor MBG atau mitra pemerintah sebagai pihak pertama yang bisa dijerat dengan KUHP, UU Pangan, UU Konsumen baik secara badan hukum maupun individu. Selanjutnya adalah Pejabat Pengawas (BGN atau petugas Terkait) jika terbukti lalai melakukan kontrol mutu, bisa dikenai Pasal 421 KUHP (penyalahgunaan wewenang) atau tindak pidana jabatan.
Sementara itu, bagi Pemerintah tidak serta merta dipidana, tapi bisa dituntut secara perdata melalui gugatan ganti rugi (PMH - Perbuatan Melawan Hukum) jika terbukti tidak melakukan pengawasan layak.
Secara hukum, dapur atau vendor penyedia MBG adalah pihak pertama yang harus bertanggung jawab. Bila terbukti lalai menjaga standar higienitas, menggunakan bahan pangan kedaluwarsa, atau melakukan distribusi yang tidak sesuai SOP.
Maka dapur MBG dapat dipidana berdasarkan KUHP pada Pasal 359 mengatur pidana bagi orang yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun.
Sementara itu, Pasal 360 KUHP mengatur pidana bagi orang yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka-luka berat atau menyebabkan orang lain sakit secara sementara.
Kemudian dalam UU Pangan nomor 18 Tahun 2012 Pasal 135, menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan dengan sengaja tidak memenuhi standar keamanan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 4 M (empat miliar rupiah) dan UU Perlindungan Konsumen nomor 8 Tahun 1999 juga mengatur sanksi untuk menjual makanan yang tidak layak dan basi melalui Pasal 8 ayat (1) huruf b (untuk pelanggaran standar dan mutu) dan sanksi pidananya di Pasal 62 ayat (1), serta Pasal 19 yang mewajibkan tanggung jawab ganti rugi kepada konsumen.
Pasal 8 ayat (1) huruf b UUPK, melarang pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Makanan yang basi dan tidak layak jelas tidak memenuhi standar keamanan dan mutu pangan.
Pasal 19 ayat (1) UUPK menyatakan pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Keracunan makanan termasuk dalam kategori ini.
Kemudian pada Pasal 62 ayat (1) UUPK menentukan sanksi pidana bagi pelanggaran ketentuan dalam Pasal 8 UUPK, yang dapat berupa pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2 M (dua miliar rupiah).
Termasuk dalam UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 walaupun tidak secara detail mengatur namun juga melarang peredaran pangan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Setiap orang yang memproduksi atau memperdagangkan pangan wajib memenuhi standar keamanan dan tidak boleh mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau dapat membahayakan jiwa manusia, sesuai dengan ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang juga mengaturnya.
Dengan demikian, dapur MBG tidak bisa bersembunyi di balik status sebagai “mitra pemerintah”. Mereka tetap pelaku usaha yang tunduk pada hukum positif Indonesia dan dapat dipidana jika lalai dan menyebabkan keracunan bagi siswa penerima manfaat, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa.
Kasus keracunan MBG ini tentu korbannya adalah anak-anak siswa sekolah penerima manfaat, yang kemudian bisa secara langsung sebagai korban pelapor atau Orang tua siswa atau korban sebagai pihak langsung dirugikan. Sementara LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Organisasi Perlindungan Konsumen juga bisa sebagai pelapor karena memiliki legitimasi yang diberikan oleh UU Perlindungan Konsumen.
Selanjutnya adalah masyarakat umum dengan dasar kepedulian kesehatan publik (delik aduan bisa diperluas ke delik umum bila kerugiannya masif).
Keracunan MBG Masif, Saatnya Presiden Bertindak
Jika Presiden tidak segera mengevaluasi, melakukan audit total, bahkan menghentikan sementara program MBG sampai sistem diperbaiki, maka tragedi gizi bisa berubah menjadi tragedi hukum dan politik nasional. Program yang sejatinya mulia berpotensi runtuh karena abai terhadap standar mutu dan pertanggungjawaban pidana.
Pemerintah tidak boleh menunggu korban berikutnya. Anak sebagai generasi penerus bangsa dan program MBG harus diselamatkan bukan dengan retorika, tetapi dengan penegakan hukum nyata.
Kasus keracunan MBG bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan hukum sistemik. Dapur MBG sebagai penyedia adalah subjek hukum utama yang dapat dipidana, baik berdasarkan KUHP maupun UU Pangan, Konsumen, dan Kesehatan. Instansi pelaksana (BGN/Dinas) juga bisa dimintai pertanggungjawaban jika terbukti lalai mengawasi, bahkan pejabatnya dapat dijerat dengan pasal pidana jabatan.
Pemerintah pusat pun tidak bisa lepas tangan, setidaknya bertanggung jawab secara administratif dan perdata.
Jika penegakan hukum tidak segera dilakukan, maka program MBG berpotensi menjadi bom waktu kesehatan nasional dan bisa memicu krisis legitimasi politik bagi pemerintah.
***
*) Oleh: Husnul Hakim, SY., MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Pemerhati kebijakan dan Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Detik-Detik Evakuasi Korban di Ponpes Al Khoziny Terekam Layar
Badai Bualoi di Thailand Tewaskan 7 Orang , Ratusan Ribu Terdampak
Museum hingga Festival Film di Eropa Bersatu Boikot Israel
Riset dan Big Data Arah Pengetahuan Bangsa
TikTok Diblokir Sementara Komdigi: Data Perjudian Live Jadi Sorotan
Hari Batik Nasional, Wyndham Surabaya City Centre Gelar Lokakarya Jejak Alam
Basarnas Terjunkan Helikopter Selamatkan Pembalap Moto2 di Mandalika
Buntut Keracunan Massal di Cianjur, Dua Penyedia Makan Bergizi Gratis Disetop Sementara
Evakuasi Korban Ponpes Al Khoziny Dinilai Lambat, Khofifah: Upaya Percepatan Sudah Dilakukan
Esensi Guru sebagai Teladan