TIMESINDONESIA, MALANG – Di atas kertas, Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Dari Sabang sampai Merauke, terbentang sumber daya alam melimpah: nikel, batu bara, emas, minyak, hasil laut, hutan tropis, dan lahan subur. Namun ironinya, di balik kekayaan itu, jutaan pekerja hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera.
Mereka bekerja keras setiap hari, memutar roda ekonomi bangsa, namun tetap berada di tepi jurang kemiskinan. Sementara di menara kekuasaan, segelintir elit politik dan ekonomi berpesta di atas meja korupsi yang tak berujung.
Kesejahteraan pekerja seharusnya menjadi wajah keadilan sosial sebuah bangsa. Tapi di Indonesia, wajah itu buram oleh praktik perampasan hak secara sistematis: upah murah, kontrak kerja tidak tetap, dan jaminan sosial yang sering hanya jadi formalitas administratif.
Di tengah gempuran industri dan digitalisasi, buruh dan pekerja informal menjadi kelompok paling rentan. Mereka menanggung dampak langsung dari kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada kepentingan modal ketimbang manusia.
Kekayaan negeri ini mengalir deras, tapi bukan kepada mereka yang bekerja di pabrik, berkeringat di ladang, atau berjaga di malam hari menjaga mesin produksi. Kekayaan itu bocor di meja-meja rapat gelap, lewat proyek fiktif, suap jabatan, dan permainan anggaran.
Korupsi di sektor pertambangan, energi, dan pembangunan infrastruktur bukan hanya menghancurkan sistem ekonomi, tetapi juga mematikan etos keadilan. Pekerja menjadi korban dari sistem yang dikuasai oligarki: segelintir orang yang menentukan harga hidup banyak orang.
Pekerja di negeri kaya ini seperti burung dalam sangkar emas mereka dekat dengan sumber rezeki, tapi tak bisa menikmatinya. Pemerintah sering mengklaim keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tetapi lupa bahwa angka makroekonomi tidak selalu mewakili kenyataan mikro kehidupan rakyat.
Apa gunanya pertumbuhan ekonomi tinggi jika gaji buruh tidak cukup untuk membeli rumah, jika pekerja ojek daring masih bergantung pada bonus aplikasi, jika petani terus merugi karena harga hasil panen dikendalikan tengkulak?
Kesejahteraan bukanlah hadiah, melainkan hak. Hak yang seharusnya dijamin oleh negara melalui kebijakan ekonomi berkeadilan. Namun selama korupsi menjadi kultur kekuasaan, hak itu akan terus dirampas.
Para pekerja akan tetap menjadi korban dari “kemewahan” yang mereka ciptakan sendiri. Dalam bahasa yang lebih lugas: kekayaan bangsa ini sedang dicuri di depan mata rakyatnya, dan pekerja hanyalah penonton yang dipaksa bertepuk tangan.
Sudah saatnya narasi besar tentang kesejahteraan bergeser dari jargon pembangunan menuju gerakan keadilan ekonomi. Pekerja tidak butuh belas kasih, mereka butuh sistem yang berpihak. Negara harus berpihak pada tenaga, bukan hanya pada modal. Regulasi tenaga kerja harus mengedepankan keseimbangan, bukan penindasan halus yang dibungkus dengan kata “efisiensi”.
Kita butuh tatanan baru: ekonomi yang berbasis pada nilai kemanusiaan. Di dalamnya, setiap keringat memiliki nilai, setiap jerih payah dihargai. Negara harus hadir bukan sekadar sebagai regulator, tetapi pelindung moral bagi rakyat yang bekerja.
Sebab kesejahteraan pekerja adalah indikator sejati dari kemajuan bangsa. Bukan gedung tinggi, bukan angka GDP, bukan pula investasi asing. Negeri ini baru benar-benar merdeka ketika rakyatnya yang bekerja bisa hidup dengan layak, tanpa takut kehilangan pekerjaan, tanpa dihantui kemiskinan struktural.
Selama kekayaan bangsa ini masih dikorupsi oleh elit penguasa, kita semua rakyat pekerja, petani, nelayan, sopir, buruh pabrik hanyalah penonton yang menanggung beban dosa sosial dari sistem yang timpang.
***
*) Oleh : Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Kim Tae Ri Reunian dengan Choi Hyun Wook dalam After School Drama Club
Japanese High Intensity Interval Walking Efektif untuk Usia 30+
Pekerja Hidup dalam Kemiskinan yang Dihalalkan
Impact 3x3 Basket Challenge 2025 Cetak Atlet Muda Jawa Timur Berpotensi
Calon Atlet Basket Tangguh Kota Kediri Perebutkan Piala Wali Kota
Masjid, Peradaban Ilmu dan Kemanusiaan
NIK Keluarga Tak Bisa Dipakai sebagai Data Tambahan Identifikasi Korban Ponpes Al Khoziny
Pantai Marina Boom Banyuwangi Menyambut Puluhan Kapal Yacht dari Berbagai Negara
Sleman Creative Weeks 2025, Panggung Kreativitas dan Budaya Tanpa Batas
Jelang Musim Penghujan, BPBD Jatim Mulai Petakan Daerah Rawan Bencana