TIMESINDONESIA, MALANG – Legitimasi bapak angkat sebagai wali nikah bukan sekadar persoalan teknis administrasi—ia adalah ujian atas bagaimana hukum positif, norma agama, dan realitas sosial saling bertabrakan di ruang publik Indonesia saat ini.
Dalam wacana fiqih klasik, perwalian nikah berakar pada garis nasab laki-laki: ayah kandung, kakek, saudara laki-laki, dan seterusnya; bila tidak ada, perwalian berpindah kepada wali hakim. Akibatnya—dengan tegas—status orang tua angkat tidak otomatis memberi hak wali nikah bagi anak angkat perempuan dalam perspektif tradisional syariat.
Pernyataan ini bukan pendapat semata; sejumlah ulasan hukum keagamaan dan panduan administratif menegaskan batasan tersebut. Namun kehidupan tidak pernah sesederhana naskah fikih. Banyak keluarga—karena perceraian, kematian orang tua kandung, atau kerentanan sosial—menghidupi anak angkat sebagai anak sendiri: membesarkan, mendidik, bahkan menyerahkan seluruh harta dan perhatian.
Ketika seorang ayah angkat kemudian bertindak sebagai wali pada akad nikah, publik kerap menerima itu sebagai bentuk penghormatan terhadap ikatan sosial yang nyata. Ketegangan antara hukum formal yang menekankan nasab dan kenyataan sosial yang menilai relasi afektif inilah sumber kritik kontekstual utama: apakah hukum pernikahan harus mengikat pada silsilah biologis ketika relasi sosial telah berubah secara signifikan? Studi-studi akademis dan putusan pengadilan agama yang saling berbeda menampakkan bahwa praktik hukum kita masih mencari jawaban atas dilema ini.
Ambil contoh: beberapa putusan pengadilan agama dan kajian ilmiah menunjukkan inkonsistensi—ada hakim yang menerima permohonan pengakuan wali oleh ayah angkat setelah melalui proses isbat atau adopsi formal, sementara ada juga yang menolak dengan alasan syariat dan ketentuan perundangan.
Perbedaan putusan semacam ini memicu ketidakpastian hukum bagi keluarga dan pasangan yang ingin menikah secara sah; lebih parah lagi, ia menimbulkan kegamangan publik tentang siapa yang sebenarnya berhak mewakili kepentingan perempuan dalam akad nikah. Ketidakpastian itu bukan sekadar persoalan teknis—ia menyentuh harkat perempuan sebagai pihak yang butuh kepastian hukum saat memilih pasangan dan memastikan haknya terjaga.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Kritik kontekstual yang layak dikedepankan menuntut tiga hal:
pertama, rekonsiliasi antara hukum perdata, hukum agama, dan praktik sosial. Jika adopsi formal (yang mengikat menurut hukum negara) menciptakan status hukum baru bagi orang tua angkat, maka aturan pernikahan harus menanggapi kenyataan itu dengan mekanisme yang jelas—bukan menyerah pada tafsir lokal atau putusan hakim yang inkonsisten.
Kedua, perlindungan terhadap calon pengantin perempuan harus menjadi prioritas; legitimasi wali bukan hanya soal siapa yang berdiri di depan mikrofon, melainkan soal siapa yang menjamin persetujuan bebas, terpenuhi hak, dan tidak ada unsur koersi dalam pernikahan.
Ketiga, transparansi putusan pengadilan terkait wali nikah perlu ditingkatkan agar preseden hukum dapat diakses dan dijadikan rujukan, sehingga praktik tidak bergantung pada mitos atau tafsir tunggal.
Konteks kontemporer juga menuntut perhatian pada tren terbaru: perpindahan kota, keluarga campuran, dan konversi agama (mualaf) yang seringkali menciptakan konfigurasi keluarga non-tradisional. Kasus-kasus yang muncul di banyak jurnal dan skripsi akhir-akhir ini menyoroti anak angkat mualaf atau anak yang diangkat secara de facto yang kemudian menghadapi masalah saat mengurus dokumen pernikahan—siapa wali mereka, dan apakah akad itu sah di mata negara dan agama?
Kegagalan sistem hukum merespon dengan aturan yang responsif pada realitas semacam ini berpotensi menghasilkan pernikahan yang rentan untuk dipersoalkan di kemudian hari, yang pada akhirnya merugikan pihak paling rentan: perempuan dan anak.
Solusi normatif harus pragmatis: reformulasi aturan administrasi yang mengakui efek hukum adopsi formal, panduan tafsir fiqih yang kontekstual untuk kasus-kasus modern, serta penguatan peran wali hakim sebagai instrumen pelindung ketika jalur nasab tidak tersedia. Namun yang paling penting adalah membumikan prinsip keadilan: legitimasi wali nikah tidak boleh menjadi hak istimewa yang menutup ruang bagi perlindungan dan kehendak perempuan.
Hukum harus menjadi jembatan antara teks dan realitas, bukan batu penghalang yang memaksa masyarakat memilih antara aturan kaku atau praktik yang tidak teratur dan penuh risiko. Jika tidak, kita akan terus menyaksikan perselisihan hukum yang justru mengorbankan mereka yang paling lemah—sebuah ironi pahit bagi negara hukum dan masyarakat yang mengaku beradab. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Pewarta | : Febti Ismiatun, S.Pd., M.Pd. |
Editor | : Dhina Chahyanti |
Hadir di ChatGPT, Spotify Siap Berikan Rekomendasi Audio Terbaik
Banjir Thailand Landa 19 Provinsi, 22 Tewas dan 369 Ribu Warga Terdampak
Sejarah Galantin Solo, Kuliner Istimewa Warisan Prancis
Tiga Fisikawan Raih Nobel Fisika 2025 untuk Eksperimen Sirkuit Kuantum Makroskopik
AHY Pastikan Jalan Mulus Sebelum Libur Nataru 2025
Bank Indonesia Pastikan Cadangan Devisa Indonesia Tetap Aman Meski Menyusut
DPD: Tragedi Al Khoziny Sidoarjo Harus Jadi Cermin bagi Pengelola Pesantren
Waspadai Skabies, Tim Dokter FK Unair Tekankan Pentingnya Penanganan Komprehensif
Hakim Ngaku Jadi Otak Vonis Lepas, Terima Rp6,2 Miliar
Anggito Abimanyu Resmi Pimpin LPS, Komitmen Tingkatkan Kinerja dan Stabilitas Keuangan