TIMESINDONESIA, BALI – Bayangkan sistem pajak yang bisa membaca jejak keuangan seseorang hanya dalam hitungan detik dari transaksi perbankan, kepemilikan aset, hingga pergerakan investasi. Itulah Coretax, sistem digital anyar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang resmi beroperasi sejak awal 2025.
Coretax bukan sekadar perangkat lunak, melainkan tonggak baru dalam sejarah reformasi perpajakan Indonesia: sebuah upaya menciptakan sistem fiskal yang transparan, terintegrasi, dan berbasis kecerdasan data.
Melalui sistem ini, DJP memiliki “mata digital” yang mampu menelusuri pola, celah, dan potensi kepatuhan pajak dengan presisi tinggi. Semua transaksi kini bisa saling terhubung dan dibaca lintas lembaga, dari perbankan hingga properti. Namun di balik kecanggihan itu, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah teknologi mampu menggantikan kesadaran manusia untuk taat pajak?
Masalahnya, di negeri dengan sejarah panjang pengampunan pajak, kepercayaan publik belum sepenuhnya pulih. Coretax datang membawa janji efisiensi dan akuntabilitas, tapi juga tantangan besar dalam masa transisi.
Data lama belum seluruhnya terdigitalisasi, dan jutaan wajib pajak masih gagap memahami sistem baru. Celah inilah yang bisa menimbulkan ketimpangan kepatuhan sebagian sudah tertib digital, sebagian masih tertinggal dalam sistem lama.
Di titik ini, muncul kembali wacana lama: “maaf pajak” alias pengampunan pajak. Sejarah mencatat, Indonesia telah beberapa kali menempuh jalan ini, dari sunset policy 2008, tax amnesty 2016, hingga Program Pengungkapan Sukarela 2022.
Setiap kali diterapkan, hasilnya relatif positif: penerimaan negara naik, dan ribuan wajib pajak menata ulang laporan mereka. Tapi juga ada kritik: bahwa kebijakan semacam itu bisa membuat patuh terasa tidak menguntungkan dibanding mereka yang menunggu “maaf” berikutnya.
Namun konteks kini berbeda. Ketika Coretax mulai diberlakukan penuh pada 2026, negara dihadapkan pada transisi yang tak mudah. Sistem digital ini memerlukan data bersih sebagai fondasi. Karenanya, kebijakan semacam pengampunan pajak bisa berfungsi bukan sebagai pemutihan moral, tetapi sebagai jembatan administrasi agar wajib pajak bisa menyesuaikan kewajiban masa lalu sebelum masuk sistem baru.
Jika dikelola hati-hati, duet antara Coretax dan kebijakan pengampunan pajak bisa menjadi langkah strategis. Coretax menjaga masa depan dengan pengawasan berbasis data, sementara pengampunan pajak menyapu residu masa lalu dengan mekanisme damai dan terbatas. Negara mendapat data bersih dan penerimaan tambahan, sementara masyarakat diberi ruang koreksi tanpa ketakutan berlebihan.
Tetapi harus diingat, kepatuhan pajak bukan hasil tekanan sistem, melainkan buah dari kepercayaan. Teknologi secanggih apapun tak akan bekerja tanpa legitimasi moral di mata publik. Di sinilah seni kebijakan dibutuhkan: menyeimbangkan ketegasan aturan dengan empati sosial. Pajak yang adil adalah pajak yang dipahami, bukan ditakuti.
Coretax, betapapun modernnya, tidak bisa berdiri di atas algoritma saja. Ia memerlukan narasi kebijakan yang manusiawi yang mampu menjelaskan bahwa digitalisasi bukan sekadar pengawasan, melainkan jaminan bahwa pajak digunakan dengan benar. Ketika masyarakat melihat keadilan dalam cara negara mengelola pajak, maka kesadaran membayar akan tumbuh bukan karena takut, tapi karena percaya.
Reformasi pajak sejatinya adalah reformasi relasi antara negara dan warga. Dan mungkin, Coretax bisa menjadi titik temu antara keduanya: teknologi yang cerdas berpadu dengan kebijakan yang bijak. Sebab pada akhirnya, pajak bukan sekadar angka di laporan, tetapi wujud gotong royong modern untuk membangun negeri yang lebih adil dan beradab.
***
*) Oleh : Agung Siswanto Bayu Aji, Penyuluh Pajak di Kanwil DJP Bali.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Tiga Fisikawan Raih Nobel Fisika 2025 untuk Eksperimen Sirkuit Kuantum Makroskopik
AHY Pastikan Jalan Mulus Sebelum Libur Nataru 2025
Bank Indonesia Pastikan Cadangan Devisa Indonesia Tetap Aman Meski Menyusut
DPD: Tragedi Al Khoziny Sidoarjo Harus Jadi Cermin bagi Pengelola Pesantren
Waspadai Skabies, Tim Dokter FK Unair Tekankan Pentingnya Penanganan Komprehensif
Hakim Ngaku Jadi Otak Vonis Lepas, Terima Rp6,2 Miliar
Anggito Abimanyu Resmi Pimpin LPS, Komitmen Tingkatkan Kinerja dan Stabilitas Keuangan
Tragedi Ponpes Al Khoziny: Polda Jatim Tetapkan Kasus ke Tahap Penyidikan
Dana Asing Kabur dari Bursa? OJK Yakin Hanya Efek Sementara
Patrick Kluivert: Energi Timnas Indonesia Luar Biasa