TIMESINDONESIA, PADANG – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah dengan semangat mulia meningkatkan gizi anak-anak Indonesia dan menekan angka stunting, perlahan berubah menjadi kisah carut-marut kebijakan publik.
Di atas kertas, program ini tampak menjanjikan. Menyediakan makanan sehat, mengedukasi masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang, dan sekaligus menggerakkan ekonomi lokal lewat kerja sama dengan petani, nelayan, serta pelaku UMKM.
Sejak mulai digulirkan awal Januari 2025, realitas di lapangan berbicara lain. Banyak masalah bermunculan mulai dari penunjukan mitra yayasan dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tidak transparan, dugaan konflik kepentingan politik, hingga persoalan mutu bahan makanan yang jauh dari standar.
Bahkan Ombudsman RI menemukan sejumlah yayasan pelaksana yang terafiliasi dengan partai politik. Akibatnya, cita-cita mulia di atas kertas berubah menjadi kekacauan administratif di lapangan.
Lebih parah lagi, program yang seharusnya menyehatkan justru memunculkan kejadian luar biasa: keracunan massal di sejumlah daerah. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mencatat 75 kasus keracunan dengan total korban mencapai 6.457 orang angka yang tidak bisa dianggap sepele.
Pelanggaran terhadap SOP oleh dapur MBG menjadi penyebab utama, memaksa pemerintah menutup sejumlah SPPG tanpa batas waktu. Di Sumatera Barat, LBH Padang bahkan mencatat 147 korban keracunan di Kabupaten Agam dan Kota Padang Panjang.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa program MBG berjalan tanpa pengawasan yang ketat. Uang rakyat ratusan triliun rupiah yang seharusnya menjadi investasi kesehatan malah terbuang sia-sia, bahkan membahayakan nyawa anak-anak yang menjadi target penerima. Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi mencerminkan krisis tata kelola dan kegagalan desain kebijakan.
Program MBG sejatinya lahir dari janji kampanye Presiden Prabowo Subianto: memberi makan bergizi untuk anak-anak Indonesia demi menekan stunting dan malnutrisi. Namun sejak awal, kebijakan ini menuai kritik karena dinilai terlalu ambisius dan tidak seimbang dengan kemampuan fiskal negara. Untuk tahun 2025 saja, pemerintah mengalokasikan Rp71 triliun guna menjalankan program ini.
Masalah muncul ketika anggaran tersebut diambil dari pos penting lain, terutama pendidikan. Berdasarkan catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), anggaran pendidikan tahun 2026 dipotong sebesar Rp224 triliun untuk menopang pembiayaan MBG.
Padahal, konstitusi sudah jelas. Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan minimal 20 persen anggaran negara harus dialokasikan untuk pendidikan. Kini, amanat itu dilanggar atas nama program gizi nasional.
Ironinya, di saat siswa keracunan makanan di sekolah, ribuan anak lain justru kesulitan melanjutkan pendidikan karena biaya sekolah meningkat akibat pemangkasan subsidi.
Banyak orang tua mengeluh tak sanggup membiayai anaknya hingga perguruan tinggi. Rumah sakit pun merasakan dampak serupa: anggaran kesehatan menyusut karena sebagian diserap untuk menopang dapur MBG.
Apakah ini harga yang pantas untuk sebuah program yang terbukti belum siap dijalankan secara nasional?
Negara maju tidak lahir dari perut yang kenyang semata, tetapi dari pikiran yang tercerahkan. Mengenyangkan anak tanpa mendidik mereka adalah bentuk charity populism, kebaikan yang tampak mulia di luar, namun rapuh di dalam. Pendidikan adalah fondasi yang memungkinkan anak-anak memahami pentingnya gizi, bukan sebaliknya.
Jika pemerintah ingin melawan stunting dan kemiskinan, langkah paling strategis adalah memperkuat sektor pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, bukan menggantikan fungsi keluarga dengan dapur negara.
Memberi makan gratis kepada seluruh anak secara nasional tanpa diferensiasi ekonomi justru tidak efisien. Sebab, yang benar-benar membutuhkan hanyalah sebagian masyarakat, bukan keseluruhan populasi.
Kebijakan yang adil seharusnya berbasis kebutuhan, bukan ambisi politik. Jika logika pemerataan dijalankan secara buta, maka mereka yang tidak miskin pun menikmati subsidi yang seharusnya diberikan kepada yang paling membutuhkan. Akibatnya, program sosial kehilangan arah dan keadilannya.
Program MBG telah melenceng jauh dari semangat awalnya. Alih-alih memperkuat gizi bangsa, justru memperlebar ketimpangan dalam kebijakan publik. Anggaran triliunan rupiah yang digelontorkan tanpa kesiapan sistem pengawasan menjadi potret klasik: kebijakan baik yang dieksekusi buruk.
Negara seharusnya fokus pada dua amanat konstitusional utama: mencerdaskan kehidupan bangsa dan menanggung fakir miskin serta anak terlantar. Maka, logikanya sederhana biarlah urusan makan sehari-hari menjadi tanggung jawab keluarga, sementara negara memastikan setiap anak mendapat pendidikan berkualitas tanpa hambatan ekonomi.
Ke depan, pemerintah perlu berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program ini. Jika tidak, maka “Makan Bergizi Gratis” hanya akan menjadi proyek populis yang menelan anggaran besar, tapi gagal memenuhi tujuan kemanusiaannya.
***
*) Oleh : Muhammad Soultan Joefrian, S.IP., Pengabdi Bantuan Hukum LBH Padang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Bahasa Gaul dan Pergeseran Makna Kesantunan
Dinda Annisa Bicara Perempuan Berdaya di Era Modern
Keteduhan Payung Hukum dalam Pesantren
Ada 25 Jamaah Haul Habib Ali Solo Jadi Korban Pencopetan, Rata-rata Ibu-ibu
Kadin Majalengka Apresiasi Satlantas Polres Majalengka Atas Kelancaran Runfest 2025
Mahfud MD Tegaskan Peran Vital Jatim, Dari Sejarah hingga Nilai Kejujuran
Final Four Livoli Divisi Utama 2025, LavAni Navy Tak Terkalahkan
Demam Drama Korea dan Cermin Budaya Kita
Kabupaten Mojokerto Terima Penghargaan Rupabumi di Momen Hari Jadi ke-80 Jatim
Gedung DPC PDIP Magetan Jadi Sasaran Vandalisme, Kader Kecam Serangan pada Marwah Partai