TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bangsa Indonesia adalah komunitas yang dibayangkan imagined community, meminjam istilah Benedict Anderson. Kita membayangkan diri sebagai satu kesatuan dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote, meski tak semua saling mengenal.
Imajinasi itulah yang merekatkan kita dalam satu rumah besar bernama Indonesia. Namun, realitas di Papua hari ini mengingatkan kita bahwa imajinasi itu belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Papua masih berjarak, bukan hanya secara geografis, tetapi juga dalam hal keadilan, kesejahteraan, dan rasa memiliki terhadap negara.
Kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang membentuk Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua pada 8 Oktober lalu adalah langkah strategis yang patut diapresiasi.
Pemerintah menyadari bahwa percepatan pembangunan nasional tak boleh meninggalkan ujung timur negeri ini. Namun, apresiasi itu harus dibarengi dengan kehati-hatian agar kebijakan baru ini tidak sekadar menjadi kosmetik politik yang menambah panjang daftar lembaga tanpa arah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 menunjukkan kenyataan yang mengiris: lima provinsi di tanah Papua masih menempati posisi teratas dalam tingkat kemiskinan nasional. Provinsi Papua di angka 19,16 persen, sementara Papua Pegunungan bahkan mencapai 30,03 persen.
Dalam konteks keamanan, kekerasan bersenjata masih menghantui, menelan korban aparat dan warga sipil tanpa pandang bulu. Ini menegaskan bahwa pembangunan di Papua bukan sekadar soal infrastruktur, tetapi juga soal kemanusiaan dan keadilan.
Kehadiran Komite Eksekutif ini menunjukkan keseriusan pemerintah pusat dalam mempercepat pembangunan. Tapi kita harus jujur, Papua bukan semata soal jalan dan jembatan.
Ia adalah wilayah dengan luka sejarah, trauma kolektif, dan pencarian jati diri yang belum selesai. Sejak bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963, Papua terus berhadapan dengan tarik-menarik kepentingan politik, ekonomi, dan identitas.
Karena itu, pembentukan komite baru tak bisa dipahami sebagai solusi tunggal, apalagi jalan pintas untuk menenangkan gejolak. Jika hal ini ditempuh tanpa pendekatan sosiokultural dan keadilan sosial, kebijakan itu justru bisa memperdalam jurang ketidakpercayaan antara pusat dan daerah.
Jangan sampai Papua kembali dikendalikan dengan logika sentralistik yang menghidupkan kembali semangat Orde Baru di mana semua keputusan berpusat di Jakarta, sementara masyarakat Papua hanya menjadi penonton di rumah sendiri.
Masalah Papua selalu multidimensi. Ia mencakup ekonomi yang timpang, politik yang rapuh, serta kultur yang sering disalahpahami. Dalam konteks ini, setiap kebijakan yang lahir harus memadukan pendekatan pembangunan dengan pendekatan kemanusiaan dan rekonsiliasi.
Papua bukan sekadar proyek, melainkan ruang kepercayaan yang perlu dipulihkan.
Memangku Papua, Bukan Menguasainya
Ada tiga langkah mendasar yang harus menjadi pijakan pemerintah dalam menjaga Papua tetap dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Pertama, membangun nasionalisme yang bersifat integratif dan partisipatif. Nasionalisme tidak bisa ditanamkan hanya lewat upacara bendera atau jargon “NKRI Harga Mati”. Ia harus tumbuh lewat rasa keadilan.
Papua akan merasa menjadi bagian dari Indonesia ketika pembangunan nasional memberi manfaat nyata bagi kehidupan masyarakatnya dari pendidikan, kesehatan, hingga akses ekonomi yang setara.
Kedua, memperkuat implementasi otonomi khusus dengan prinsip tata kelola yang bersih dan transparan. Dana Otsus yang digelontorkan pemerintah pusat harus menjadi sumber pemberdayaan, bukan lahan korupsi.
KPK, BPK, dan BPKP mesti melakukan pengawasan ketat agar dana yang seharusnya menetes ke rakyat kecil tidak berhenti di meja elite. Transparansi menjadi kunci agar Otsus tidak kembali menjadi “uang tanpa rasa” di tanah yang kaya tetapi masih miskin.
Ketiga, Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otsus Papua harus diposisikan bukan sebagai lembaga yang mengatur, tetapi yang memfasilitasi. Ia harus menjadi jembatan kepercayaan antara pemerintah pusat dan rakyat Papua, tanpa mereduksi peran pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis. Pendek kata, komite ini seharusnya menjadi penguat otonomi, bukan penariknya kembali ke pusat.
Papua sejatinya bukan “masalah nasional”, melainkan cermin dari sejauh mana Indonesia memahami makna keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Papua adalah pengingat bahwa kemerdekaan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari ketimpangan dan ketidakadilan.
Maka, menjaga Papua dalam pangkuan Ibu Pertiwi bukan hanya soal mempertahankan wilayah, tetapi mempertahankan nurani kebangsaan. Kita boleh membangun seribu jalan dan jembatan, tapi tanpa membangun kepercayaan dan rasa adil, Papua akan tetap merasa jauh dari Indonesia.
Papua tidak menuntut lebih hanya ingin diperlakukan setara. Ketika negara hadir bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai pengasuh; bukan sebagai penentu, melainkan sebagai pendengar; maka di sanalah imajinasi Benedict Anderson tentang Indonesia akhirnya menemukan bentuknya: bangsa yang bukan hanya dibayangkan, tapi benar-benar dirasakan.
***
*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P. Tenaga Ahli di DPR RI & Direktur Eksekutif Baturaja Project.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Kaidah Penyelenggaraan Pemilu
Wisatawan Tenggelam di Pantai Modangan Ditemukan, Satu Korban dalam Pencarian
STAR, Inisiatif Pemkot Mojokerto Perkuat Ketahanan Keluarga
Eks Bupati Lombok Barat Zaini Arony Divonis 6 Tahun Penjara Kasus Korupsi LCC
17 Pendonor Mojokerto Diganjar Penghargaan atas 75 Kali Donor Darah
Pegiat Rumah Perjuangan 145 Desak Pemkab Pangandaran Sweeping ASN yang Main Medsos di Jam Kerja
Polsek Meganti Gresik Grebek Arena Judi Sabung Ayam, Pelaku Kabur
Kodrat Sunyoto Dorong Pemerataan Pembangunan dan Kemandirian Fiskal Jatim
PT KAI Daop 2 Bandung Wujudkan Layanan Transportasi Publik Inklusif dan Berkeadilan untuk Semua
Kasus Ancaman Erika Carlina, DJ Panda Dipanggil Polisi