TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa pekan terakhir ini, jelang peringatan hari santri nasional 2025, dunia santri dan pesantren digetarkan dengan tayangan salah satu program di Trans7 yang dinilai melecehkan simbol-simbol pesantren dan menghina kemuliaan profesi kiai. Atas tayangan media trans7 tersebut, muncul berbagai reaksi keras dari kalangan santri dan pesantren baik dari ruang media sosial hingga jalanan.
Misalnya di Malang, ribuan santri dan aktivis Nahdlatul Ulama memadati halaman Mapolres Malang dalam aksi yang damai namun tegas, menuntut pertanggungjawaban moral dan hukum atas hinaan terhadap institusi pesantren yang dilakukan oleh Trans7. Dan kemarahan santri ini muncul diberbagai daerah hampir di seluruh Indonesia dengan berbagai aksi turun jalan menuntut pertanggungjawaban Trans7.
Namun demikian di balik aksi dan amarah santri itu, melahirkan sebuah kesadaran baru bahwa pesantren tidak boleh hanya menjadi objek reaksi, tetapi subjek perubahan dalam ruang publik digital.
Dalam perspektif Pierre Bourdieu, dunia sosial adalah arena (field) tempat berbagai kekuatan bersaing untuk menguasai modal simbolik, dalam dunia digital dan media sosial hari ini adalah kekuasaan yang tidak kasat mata, tapi berpengaruh pada persepsi publik. Pesantren selama ini memiliki modal simbolik yang kuat yakni karisma kiai, tradisi ilmu, dan legitimasi moral.
Namun di era disrupsi digital, modal simbolik itu kerap dirampas oleh logika hiburan dan algoritma media massa.
Ketika pesantren dijadikan bahan olok-olok dan hinaan, sebenarnya yang dirusak bukan hanya simbol keagamaan, tapi juga struktur makna sosial yang menopang etika publik bangsa. Maka wajar jika reaksi santri begitu kuat, sebab mereka sedang mempertahankan kehormatan simbolik sekaligus eksistensi kulturalnya.
Reaksi dan amarah santri terhadap hinaan yang dilakukan oleh Trans7 dapat dibaca sebagai bentuk resistensi simbolik yakni upaya melawan dominasi budaya populer yang kerap menyepelekan nilai religius.
Dalam kerangka teori Habermas tentang ruang publik (public sphere), media seharusnya menjadi arena rasional untuk dialog warga negara.
Namun kini ruang publik digital justru terdegradasi menjadi ruang spektakel, tempat rating dan sensasi mengalahkan kebenaran dan etika.
Berbagai reaksi keras dan gerakan santri yang muncul kemudian adalah aksi damai, klarifikasi publik, hingga pelaporan hukum, merupakan ekspresi dari public counter-discourse yakni suara tandingan dari masyarakat dan santri terhadap arus media yang kian sekuler dan profan. Hal Ini bukan sekadar “kemarahan”, tapi langkah sadar untuk mengembalikan fungsi ruang publik agar lebih etis dan beradab.
Dari berbagai forum-forum diskusi yang dilakukan baik saat adanya reaksi santri atas tayangan hinaan Trans7 maupun pasca kejadian tersebut, muncul istilah yang menarik: “The Aftermath”, gerakan reflektif pasca-insiden Trans7. Ia tidak berbentuk organisasi, melainkan arus kesadaran kolektif yang menghubungkan santri, intelektual santri, aktivis NU, dan pegiat literasi digital santri.
Forum-forum tersebut membincang peta konseptual tentang posisi “santri" menjadi pusat pergerakan dunia digital dan media sosial. Bagaimana posisi santri dan pesantren, PTNU, serta komunitas santri sebagai penjaga nilai.
Kemudian bagaimana posisi santri, NU, media, pemerintah, dan masyarakat luas sebagai penggerak perubahan sosial.
Forum-forum diskusi kalangan intelektual santri ini diikuti dari berbagai latar belakang pesantren dan profesi baik yang berprofesi sebagai akademisi, advokad dan lainya.
Membincang sebuah Gerakan dimana gerakan ini berpijak pada prinsip Paulo Freire tentang kesadaran kritis (critical consciousness) bahwa perubahan sosial dimulai dari kesadaran diri terhadap struktur penindasan.
Santri tidak boleh lagi diam menghadapi penghinaan, tapi mengubah pengalaman itu menjadi bahan refleksi sosial dan pendidikan digital.
Pesantren bukan hanya lembaga keagamaan, tapi juga ruang produksi makna dan nilai. Jika kita menggunakan pendekatan Clifford Geertz, pesantren dapat dilihat sebagai sistem simbol budaya yang membentuk pola pikir dan moralitas masyarakat Islam Indonesia.
Maka ketika simbol itu diserang, yang terancam bukan hanya institusinya, tapi juga struktur moral bangsa.
Di sinilah pentingnya literasi digital berbasis nilai pesantren. Santri perlu hadir di media sosial bukan untuk berdebat, tapi mengisi ruang publik media sosial untuk mengajarkan adab dan menebar kesejukan.
Dalam istilah Michel Foucault, inilah bentuk power-knowledge baru, kekuasaan melalui pengetahuan yang memproduksi wacana kebenaran dalam ruang digital dan ruang publik media sosial.
Dari berbagai diskusi dan pembacaan atas berbagai referensi, gerakan ini tidak hanya lahir dari suasana kebatinan yang dipenuhi amarah semata, akan tetapi dengan penuh kesadaran kritis dan reflektif atas peristiwa yang terjadi dan memperhatikan reaksi publik.
Maka gerakan ini juga memiliki dasar basis regulasi yang jelas. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menegaskan bahwa pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang berfungsi membentuk karakter kebangsaan.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE mengatur agar ruang digital digunakan secara bertanggung jawab dan beretika.
Regulasi atau dasar Undang-undang ini memperlihatkan sinergi antara moral religion dan civic ethics.
Santri, dengan nilai-nilai akhlaknya, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi teladan dalam etika bermedia yakni menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.
Reaksi keras dan kemarahan santri atas hinaan tayangan Trans7 tidak boleh berhenti di jalanan atau linimasa. Ia harus bertransformasi menjadi gerakan kultural yang masif baik gerakan nyata dan gerakan di dunia digital.
Dalam berbagai forum diskusi santri bersama intelektual santri, muncul beberapa ide dan gagasan serta langkah konkret yang harus dilakukan kedepannya diantaranya: Pertama, diperlukan adanya pusat etika dan literasi media pesantren, untuk mengkaji etika media dan melatih kader santri digital.
Kedua, perlu adanya Pelatihan Literasi Digital di komunitas santri dan Pesantren, agar santri mampu menganalisis konten dengan cara kritis, bukan emosional.
Ketiga, menggagas program “Santri Digital Peace Movement” sebuah gerakan damai di dunia maya yang mengusung narasi Islam rahmatan lil ‘alamin.
Keempat, penyusunan Kode Etik Digital Santri, sebagai panduan moral untuk menjaga kehormatan ruang publik digital dan media sosial.
Gerakan transformasi kultural ini sebagai gerakan cerdas yang dilakukan santri pasca kejadian Trans7 yang tidak hanya dijadikan sebuah peristiwa saja akan tetapi dijadikan bahan refleksi dan inspirasi untuk berbenah membangun narasi positif didunia digital dan media sosial.
Inilah bentuk transformasi sosial yang diimpikan Habermas di mana warga beragama menggunakan rasionalitas komunikatif untuk memperbaiki masyarakat, bukan menambah polarisasi.
Pesantren telah ratusan tahun menjadi benteng moral bangsa. Kini benteng itu tengah diuji bukan oleh kolonialisme senjata, melainkan kolonialisme informasi. Jika dulu kiai menuntun santrinya dengan kitab kuning, kini mereka menuntun generasi digital dengan literasi dan kesantunan.
Mungkin benar kata seorang kiai sepuh di Malang: “Zaman dulu jihad dengan pedang, sekarang jihad dengan jempol.”
Tantangan digital hari ini adalah ujian kesabaran sekaligus peluang dakwah baru. Dari insiden Trans7, santri belajar bahwa marah itu manusiawi, tapi mengubah amarah menjadi kesadaran adalah tanda kedewasaan peradaban.
***
*) Oleh : Husnul Hakim, SY., MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Wakil sekretaris PCNU Kab Malang, Pemerhati kebijakan dan Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Editor | : Hainorrahman |
Panorama 7 Ranu di Probolinggo Siap Manjakan Peserta Trail Run Seven Lakes Festival 2025
Ribuan Warga Antusias Dukung Gerakan Anak Sehat Bebas Stunting di Yogyakarta
Wajar Ada Pro Kontra, Moreno Soeprapto: Program Pemerintah Pusat Tak Bisa Asal-asalan
Top 5 FDLP 2025, Cara BPOLBF Lahirkan Juara Lokal Baru Pariwisata Berkelanjutan Pulau Flores
Bersama Danrem 072 Pamungkas, Sri Sultan HB X Ajak Masyarakat Jaga Harmoni Bangsa
Sikapi TKD yang Dipangkas Signifikan, Ini Prioritas yang Diambil Bupati Pasuruan
Pengamat: Ada Konflik Kepentingan di Balik Penolakan Jalan Tembus Griya Shanta Kota Malang
Perebutkan Total Hadiah Rp34 Juta, Tenis Meja Bontang Open Ditutup Malam Ini
Ratusan Guru dan PTK Ikuti Seminar Uji Kompetensi PGRI Cabang Bener Purworejo
Tolak Upah Murah di PT Klaseman, Sarbumusi Probolinggo Minta Pemerintah Turun Tangan