TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Ijen Cendekia Nusantara (ICN) menilai Perubahan APBD (P-APBD) 2025 yang disampaikan Bupati Bondowoso belum menjawab pertanyaan utama, yakni bagaimana sisa anggaran triwulan IV benar-benar dapat dirasakan warga?.
Sebagaimana dalam nota penjelasan bupati pada rapat paripurna DPRD Kabupaten Bondowoso, Senin (15/09/2025) lalu, target pendapatan direvisi menjadi Rp2,051 triliun (turun Rp21,49 miliar). PAD memang naik Rp23,96 miliar, tetapi transfer pusat anjlok Rp56,93 miliar, hal ini membuat ruang fiskal pun makin sempit.
Lebih rinci, Pemkab menargetkan PAD Rp323,92 miliar. Kenaikan ini dibarengi turunnya target pajak daerah yang ironisnya terjadi di tengah agenda kemandirian fiskal. Komposisi PAD bergeser (pajak turun, retribusi naik), sementara fraksi-fraksi DPRD meminta kreativitas penerimaan tanpa menambah beban warga.
Berdasarkan dokumen resmi kinerja APBD, pajak daerah paling “nendang” datang dari Pajak Kendaraan Bermotor yang sudah mengumpulkan Rp14,297 miliar atau 56,65% dari target APBD 2025 awal, disusul Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) Rp6,271 miliar (65,31%). Sementara PBB-P2 baru Rp5,594 miliar (32,90%).
Direktur ICN, Ach. Humaidi, M.M menjelaskan, hasil analisis tim ICN bahwa kondisi di atas merupakan pertanda perlunya penegakan dan penagihan lapangan yang lebih rapi, termasuk perbaikan koordinasi antar instansi.
Untuk retribusi, Pelayanan Kesehatan menjadi penyumbang terbesar (Rp96,395 miliar; 53,85%), tetapi banyak aset wisata/olahraga dan sewa pemda belum ada realisasi, seperti sewa tanah daerah, aset bangunan, dan lainnya.
“Area ini mestinya jadi ‘lahan optimalisasi’ yakni penertiban pengelolaan aset, standardisasi tarif, serta digitalisasi kanal pembayaran,” jelasnya.
Namun kata dia, Tim ICN tetap memberi apresiasi pada beberapa kebijakan Pemkab Bondowoso. Diantaranya Pemda tidak menaikkan PBB dan retribusi, program Beasiswa Bondowoso yang mulai berjalan, RANTAS (Program Infrastruktur Jalan Tuntas) yang tetap digenjot, serta tidak merumahkan Non-ASN non-database dalam skema PPPK. “Kebijakan ini menjaga daya beli warga, namun musti diikuti eksekusi belanja yang lebih tajam,” imbuhnya.
Namun di lain sisi lanjut dia, masalah muncul di belanja. Dimana total pengeluaran pada rancangan P-APBD justru dipangkas Rp65,11 miliar; belanja modal turun Rp11,91 miliar dan porsi jalan–jembatan–irigasi berkurang Rp19,84 miliar.
Pada saat bersamaan, Belanja Tidak Terduga (BTT) dinaikkan Rp8,77 miliar. Padahal jendela pelaksanaan P-APBD praktis hanya Oktober–Desember. Artinya, yang dibutuhkan adalah program cepat serap dan berdampak, bukan sekadar pindah-pindah pos.
Menurutnya, suara di DPRD juga sejalan. Fraksi-fraksi menegaskan perubahan anggaran tidak boleh berhenti pada mengutak-atik angka. Pendapatan harus diperkuat, belanja produktif diperbesar, dan keseimbangan fiskal dijaga di tengah menurunnya pembiayaan.
Fraksi PPP kata Humaidi, mengingatkan lonjakan BTT serta bobot belanja pegawai yang mendekati 42%, jauh di atas rambu UU HKPD 30% serta mengkritik pemangkasan bansos Rp548,68 juta. Artinya efisiensi harus menyasar “lemak birokrasi” seperti perjalanan dinas dan seremoni, bukan program warga.
Tak hanya itu kata dia, Fraksi Golkar menyebut pemotongan belanja modal (termasuk jalan dan irigasi) sebagai “pemangkasan masa depan”. Tanpa indikator ketat, BTT rawan jadi “anggaran abu-abu”, sementara besarnya SiLPA hanya menegaskan perencanaan yang lemah.
Ia menilai, potret kinerja semester I memperlihatkan mesin OPD belum panas. Berdasarkan dokumen resmi terkait kinerja beberapa OPD, serapan anggarannya masih lemah dan terkesan menumpuk di akhir tahun.
Misalnya Diskominfo yang masih terserap hingga pengajuan anggaran perubahan sebesar 53,8% dari pagu, terdapat program pengelolaan informasi publik dan penyelenggaraan statistik yang serapannya sangat rendah sehingga perlu dioptimalkan.
Dinas Peternakan dan Perikanan juga masih terserap rendah sebesar 36,3% dari pagu, seperti program sarana dan prasarana pertanian, serta perikanan budidaya dan tangkap yang menjadi rawan SiLPA kalau tidak dipacu cepat di triwulan IV.
Sedangkan Diskoperindag juga masih tidak mencapai 50%, yaitu 43,48% realisasi keuangan dari pagu. Program yang serapannya rendah seperti program pemberdayaan dan perlindungan koperasi, program pemberdayaan UMKM, dan program perencanaan-pembangunan industri.
“Sektor tersebut harus terus digenjot dalam bentuk percepatan kontrak dan eksekusi paket siap-bayar, mengingat Diskoperindag merupakan OPD penting dalam menstimulus performa pelaku usaha lokal agar tetap produktif di tengah dinamika ekonomi saat ini,” paparnya.
Menurutnya, tanpa percepatan, P-APBD hanya akan menambah SiLPA. Dengan waktu implementasi yang praktis hanya tersisa triwulan IV, belanja harus diarahkan pada quick wins yang terukur dan dapat selesai sebelum tutup tahun. Beberapa Fraksi di DPRD juga menekankan hal serupa.
Dimana pemerintah daerah harus menyederhanakan program, fokus ke dampak langsung, dan jangan korbankan belanja modal produktif. ‘Ini berarti percepatan kontrak, pencairan bertahap berbasis kinerja, dan pengalihan paket yang berisiko tak terserap ke kegiatan yang siap dieksekusi,” paparnya.
Apa yang harus dilakukan segera?
Setelah Raperda Perubahan APBD 2025 resmi menjadi Perda. Menurutnya, Ijen Cendekia Nusantara (ICN) menekankan bahwa fase berikutnya bukan lagi perdebatan angka, melainkan eksekusi di lapangan.
Langkah pertama yang paling mendesak adalah menata Belanja Tidak Terduga (BTT). ICN mendorong BTT diperlakukan sebagai mekanisme darurat yang sangat ketat, bukan “kantong serbaguna”. Tanpa tata kelola yang jelas, BTT rawan membuka celah fraud/penyelewengan, mulai dari mark-up, pembiayaan kegiatan yang tidak tepat sasaran, hingga menjadi “tempat parkir” anggaran yang ujungnya justru memicu SiLPA besar di akhir tahun karena belanja tak terserap sesuai prosedur.
Karena itu tegas Humaidi, Bupati perlu menerbitkan surat edaran yang menegaskan kriteria penggunaan BTT hanya untuk bencana, kejadian luar biasa, atau kebutuhan yang benar-benar tak bisa ditangani pos lain. Setiap usulan wajib disertai bukti kejadian, catatan risiko, serta penjelasan kekurangan anggaran dari program reguler.
Kedua, prioritas belanja diarahkan pada RANTAS, layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial yang terdampak pemangkasan, agar koreksi anggaran terasa oleh warga sekarang, bukan sekadar “terserap” di laporan.
Ketiga, tetapkan rencana serapan mingguan di OPD berisiko SiLPA: selesaikan dokumen perubahan RKA/DPA, kontrakkan belanja modal yang masih nol, dan prioritaskan paket yang cepat selesai serta berdampak langsung ke layanan.
Keempat, siapkan APBD 2026 yang berkualitas sejak sekarang: turunkan rasio belanja pegawai menuju batas UU HKPD, perkuat PAD dengan digitalisasi pajak/retribusi dan optimalisasi aset, serta kunci prioritas pada layanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, jalan, dan air.
“Tanpa koreksi cepat, Bondowoso berisiko mengulang pola lama. Serapan terburu-buru di ujung tahun, kualitas output rendah, dan SiLPA kembali menumpuk. Saatnya menutup 2025 dengan belanja yang benar-benar menyentuh warga, dan membuka 2026 dengan APBD yang berdampak dan BERKAH,” pungkasnya. (*)
Pewarta | : Moh Bahri |
Editor | : Imadudin Muhammad |
Buntut Keracunan Massal di Cianjur, Dua Penyedia Makan Bergizi Gratis Disetop Sementara
Esensi Guru sebagai Teladan
Kiai NU Desak KPK Profesional Tangani Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji Tambahan
Rendy Kurnia Bicara Digitalisasi Budaya Lokal untuk Kemajuan Cianjur
TikTok Tanggapi Pembekuan Sementara TDPSE oleh Kemkomdigi
Ingin Tampilkan Wajah Integritas, Kemenhaj Kolaborasi dengan KPK
Menteri Haji Minta KPK Kawal Ibadah Haji 2026: Pastikan Transparan dan Bebas Korupsi
Melihat Batik Khas Gresik di Panggung Fashion Show
Gubernur Khofifah Pastikan Identifikasi Korban Ponpes Al Khoziny Dilakukan Profesional
Ditetapkan Jadi SSK, MTsN 6 Malang Komitmen Pembiasaan Baik dan Isu-isu Masa Depan Anak