TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) kini tengah ngebut mempercepat penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk dapur Makan Bergizi Gratis (MBG). Sertifikat ini menjadi kunci agar proses pengolahan makanan benar-benar aman dan layak untuk dikonsumsi siswa.
Namun, di balik klaim percepatan itu, fakta di lapangan masih jauh dari ideal. Hingga saat ini, tidak ada satu pun dari 180 dapur MBG di Jakarta yang sudah mengantongi SLHS. Semuanya masih berproses.
“Kami sedang berkolaborasi dengan SPPG dan PTSP untuk percepatan penerbitan SLHS. Jadi secara masif kami akan melakukan inspeksi kesehatan lingkungan ulang,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati, di Jakarta, Sabtu (4/10/2025).
Kewajiban dapur MBG memiliki SLHS sebenarnya sudah ditegaskan pemerintah pusat sejak September lalu. Setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) wajib memenuhi standar higienitas, bukan sekadar formalitas administratif.
Namun, kelambatan ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa program yang diklaim sebagai prioritas nasional masih membiarkan distribusi makanan berjalan tanpa jaminan sertifikasi sanitasi?
Apalagi, kasus keracunan massal sudah beberapa kali terjadi. Di Jakarta saja, sebanyak 60 siswa dari 10 lokasi MBG mengalami keracunan akibat bakteri yang ditemukan dalam hasil uji laboratorium.
Kejadian luar biasa (KLB) ini seharusnya menjadi peringatan keras. Program yang ditujukan untuk meningkatkan gizi anak sekolah justru berpotensi mencederai kesehatan mereka.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa percepatan penerbitan SLHS harus selesai dalam waktu sebulan. Menkes juga menekankan pengawasan ketat, mulai dari pemilihan bahan baku, pengolahan hingga penyajian.
Namun, fakta lapangan berbeda. Jika benar ada lebih dari 100 dapur MBG yang sudah mengantongi SLHS secara nasional, mengapa Jakarta —yang seharusnya jadi barometer— masih tertinggal nol?
Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan: apakah percepatan SLHS sekadar jargon birokrasi, atau benar-benar solusi konkret? Selama sertifikat laik higiene belum keluar, siswa tetap berhadapan dengan risiko yang sama.
Tanpa langkah serius mempercepat sertifikasi, MBG berisiko menjadi program gizi yang “setengah matang” — niat baiknya ada, tetapi pelaksanaannya masih membuka celah bahaya.(*)
Pewarta | : Antara |
Editor | : Imadudin Muhammad |
Sita 82 Poket Sabu di Rumah Kontrakan di Turen Malang, Polisi Bongkar Jaringan Pengedar
Dr Indiyah Nurhayati Raih Penghargaan Penulis Buku Terbaik Jatim 2025, Siapa Dia?
Haical, Santri Cilik Korban Reruntuhan Ponpes Al-Khoziny Jalani Operasi Amputasi
Dana Abadi UB Sabet Penghargaan BWI, Diharapkan Jadi Contoh Perguruan Tinggi Lain
Sepenggal Kisah Agus Priyadi, Maestro Patung dari Blora yang Karyanya Mendunia
Empat Posisi Kepala Dinas Pemkot Probolinggo Masih Kosong, Sejumlah Nama Dipertahankan
Ribuan Warga Kota Yogyakarta Meriahkan Senam Sehat Sak Obahe di Embung Giwangan
Situasi Terkini di RS Bhayangkara: Ambulans Pengangkut Jenazah Korban Ponpes Al-Khozny Silih Berganti
Penampakan Mobil Mercy Dievakuasi dari Reruntuhan Ponpes Al-Khoziny
Duka di RS Bhayangkara, Keluarga Menanti Kepastian Korban Tragedi Ponpes Al-Khoziny