TIMESINDONESIA, BALI – Di tengah teriknya matahari dan ketatnya persaingan antar merek di pasaran, para petani garam di Desa Adat Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali, masih setia mempertahankan tradisi pembuatan garam secara tradisional.
Meski diterpa modernisasi, mereka terus menjaga warisan leluhur yang telah turun-temurun sejak ratusan tahun silam.
Tak ada catatan pasti kapan tradisi ini bermula, namun diperkirakan sudah ada sejak masa kejayaan Kerajaan Klungkung, sekitar abad ke-15 hingga ke-17 Masehi.
Kini, garam Kusamba bahkan dikenal hingga ke luar negeri karena kualitas dan cita rasanya yang khas.
Setiap pagi, saat air laut masih tenang sekitar pukul 06.00–08.00, para petani mulai mengumpulkan air laut.
Air tersebut kemudian dialirkan ke tambak dan disiramkan ke petak pasir hitam yang menjadi media penguapan.
Proses penjemuran larutan garam hasil penyulingan pasir sebelumnya untuk kristalisasi. Proses kristalisasi ini memakan waktu sekitar 2 hari. (Foto: Heliavita Jasmine/TIMES Indonesia)
Setelah disiram berulang kali dan dijemur selama beberapa jam, mineral garam akan terserap ke permukaan pasir. Lapisan pasir yang mengandung kristal garam inilah yang menjadi bahan utama dalam proses selanjutnya.
Setelah kering, pasir tersebut dikikis dan dimasukkan ke wadah penyulingan. Dari proses ini dihasilkan larutan garam berkonsentrasi tinggi yang kemudian dijemur di dalam wadah geomembrane atau palungan kelapa hingga mengkristal. Perbedaan wadah ternyata memengaruhi rasa garam yang dihasilkan.
“Kalau pakai palungan kelapa hasilnya lebih gurih dan alami, jadi harganya juga lebih mahal,” ujar Nengah Diana, petani garam asal Kusamba yang telah menekuni profesi ini sejak kecil.
Garam Kusamba dikenal memiliki kristal putih bersih, rasa gurih khas, dan ukuran yang sedikit lebih besar dibanding garam industri. Kualitas inilah yang membuatnya mampu bersaing di tengah maraknya produk garam hasil refinasi.
Namun di balik keunggulannya, para petani garam menghadapi berbagai tantangan. Harga jual yang rendah, cuaca yang tak menentu, serta persaingan dengan garam industri membuat jumlah petani tradisional semakin menurun. Pada musim hujan, misalnya, produksi bisa terhenti total karena sulitnya proses pengeringan.
Hasil kristal garam yang dikristalisasi dengan palungan kelapa. Warnanya putih bersih berkilauan dengan bentuk butiran yang sedikit lebih besar dibanding garam di pasaran. (Foto: Heliavita Jasmine/TIMES Indonesia)
Saat ini, garam Kusamba dijual ke koperasi sekitar dengan harga Rp10.000–Rp15.000 per kilogram jika dibeli langsung di lokasi. Harga bisa meningkat bila melalui distributor. Padahal, proses pembuatannya memerlukan waktu, tenaga, dan ketelatenan tinggi.
“Biasanya kami jual ke koperasi, tapi kadang ada juga yang beli langsung. Harganya sekitar sepuluh sampai lima belas ribu per kilo,” kata Nengah.
Sayangnya, garam ini kerap dijual kembali oleh pihak lain dengan kemasan baru dan harga hingga tujuh kali lipat lebih mahal di platform daring.
Selain bernilai ekonomi, tradisi pembuatan garam di Kusamba juga menyimpan potensi wisata edukatif. Wisatawan dapat melihat langsung proses pembuatan garam tradisional sekaligus belajar tentang kearifan lokal masyarakat pesisir Bali.
Tradisi ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga simbol ketekunan dan kesetiaan masyarakat Kusamba terhadap alam dan leluhur mereka. Karenanya, dukungan dan apresiasi terhadap para petani garam tradisional menjadi penting agar tradisi ini tidak hilang ditelan zaman. (*)
| Pewarta | : Heliavita Jasmine [MBKM] |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
HNW: Indonesia Perlu Pemimpin Negarawan, Bukan Sekadar Politisi
Menangi El Clasico, Momentum Kebangkitan Real Madrid di Era Xabi Alonso
Malang Raya Basah! BMKG Prediksi Hujan dan Petir Hari Ini
Wamenag Ajak Mahasiswa PMMBN Jadi Penjaga Moderasi dan Persatuan Bangsa
Di KTT ASEAN, Prabowo Soroti Pemilu Myanmar dan Ajak Negara Anggota Tetap Bersatu
Probolinggo’s Seven Lakes Festival 2025: Where Endurance Meets Serenity
30% Kasus Kanker Perempuan di Jabar adalah Kanker Payudara, Dokter Ingatkan Pentingnya Deteksi Dini
Gempa M 6,3 Guncang Timor Tengah Utara NTT, Getaran Terasa Hingga Kupang dan Waingapu
PETA Museum Blitar: Preserving the Spirit of Indonesia’s Independence Struggle
Garam Kusamba, Warisan Turun-Temurun yang Mulai Lekang Oleh Waktu