TIMESINDONESIA, JAKARTA – Aktivis Perlindungan Anak dan Perempuan, Ya’qud Ananda Gudban, mendukung penuh sikap Ketua Komisi XIII, Willy Aditya, agar pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus, dijerat dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan bukan menggunakan Peraturan Menristekdikti.
Ia menjelaskan, saat ini predator seksual sudah terdapat di berbagai lini kehidupan mulai dari kehidupan di kantor, bertetangga, di dalam rumah tangga dan bahkan di lingkungan dunia pendidikan itu sendiri, khususnya di dunia pendidikan tinggi.
“Predator seksual ini sudah ada di mana-mana dan bahkan ada di kampus, dan fakta saat ini ada lho oknum dosen atau oknum guru besar yang terjerat kasus tersebut, dan hanya dikenakan sanksi administratif seperti yang terjadi di Universitas Soedirman (Unsoed),” kata Yaqud Ananda Gudban, di Jakarta Selasa (31/7/2025).
Wanita yang akrab disapa Nanda ini menjelaskan, bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual di kampus sangat rawan terjadi karena adanya relasi hubungan yang tidak asimetris antara dosen dengan mahasiswa. Sehingga, celah tersebut sering dimanfaatkan oleh oknum dosen ataupun guru besar untuk memperlancar aksi bejatnya kepada para mahasiswa.
“Justru karena ada relasi asimetris baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan sosial pada umumnya, sangat rawan terjadi dan menimbulkan korban. Sehingga dalam hal ini negara harus hadir, pelaku harus dijatuhi hukuman yang setimpal dan korban harus mendapat perlindungan dan rehabilitasi, karena itu UU TPKS ini penting agar segera dijalankan secara efektif,” urainya.
Selain di Unsoed, Nanda juga mencontohkan beberapa kejadian kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual di universitas yang lain seperti di Universitas Gajah Mada (UGM) dan juga yang terjadi di Universitas Negeri Semarang (Unnes) baru-baru ini.
Karenanya, sejalan dengan Ketua Komisi XIII yang juga politisi Nasdem, Willy Aditya, Nanda juga mendorong agar pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana dari UU TPKS. Hal ini dikarenakan, sanksi administratif yang dijatuhkan pada oknum Guru Besar Unsoed sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.
“Yang benar saja, itu ada korban dari tindak pidana kekerasan seksual hanya kena sanksi administratif, bagaimana rasa keadilan dari sisi korban. Karena itu kami mendorong agar UU TPKS ini bisa berjalan maksimal agar kejadian serupa tidak terulang kembali,” tegas Nanda.
Ia berharap semua kelompok masyarakat, aparat penegak hukum, pemerintah dan stake holder lainnya bisa bergerak bersama-sama dalam melawan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang saat ini kondisinya sudah berada pada titik darurat di Indonesia.
“Mulai dari awal tahun 2025, sampai pertengahan tahun ini, kita seakan tak henti-hentinya mendapat berita kekerasan seksual yang ada dimana-mana. Tentu ini butuh komitmen kuat bersama agar kita bisa mencegahnya di kemudian hari,” pungkas Nanda. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Deasy Mayasari |
Tips Menjaga Kesehatan Mata Anak di Era Digital
Puspa Agraria Malang Inspires Farmers with Its Hydroponic Melon Farm
Cara Menghitung Masa Subur Setelah Menstruasi
Jelajah 7 Kampung di Surabaya, dari Jejak Soekarno Hingga Makanan Legendaris
Megawati Kembali Jadi Ketua Umun PDI Perjuangan
BPS Gresik: Sektor Perhotelan Tunjukan Tren Bagus, Tamu Asing Menginap Lebih Lama
'Bapak Minilemon' Reno Halsamer Tampil di Sesi Inspiratif IdeaFest Surabaya
Wabup Mimik Idayana Ajak Emak-Emak Sidoarjo Lawan Stunting Lewat Olahan Ikan Lele
Slamet Setiawan dan Samsul Hadi Terpidana Korupsi Perumda Delta Tirta Dihukum 6 Tahun
Tak Hanya Imbauan, Pemkot Probolinggo Turun Bagikan 6.271 Bendera Merah Putih