TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pakar kebijakan publik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Slamet Rosyadi, menilai bahwa usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, harus melewati mekanisme uji publik yang sah dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
“Usulan itu sah-sah saja, asalkan melalui prosedur resmi. Dalam pengusulan gelar pahlawan nasional, harus ada seminar di tiga universitas nasional agar pandangan akademisi bisa menjadi dasar penilaian kelayakan seseorang,” ujar Prof. Slamet di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (28/10/2025).
Ia menegaskan, mekanisme tersebut penting untuk menghindari polemik di tengah masyarakat, terutama mengingat sosok Soeharto memiliki rekam jejak yang mengandung sisi positif sekaligus kontroversial.
Menurutnya, Soeharto merupakan tokoh besar dengan kontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional, tetapi juga meninggalkan sejumlah catatan kritis yang perlu dikaji secara objektif.
“Karena itu, sebaiknya semua tetap mengikuti mekanisme yang sudah diatur pemerintah,” ujarnya, mengingatkan.
Guru Besar FISIP Unsoed itu menambahkan, dalam pengalaman sebelumnya saat terlibat dalam pengusulan gelar pahlawan nasional bagi Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo—kakek Presiden Prabowo Subianto—proses administratif dan akademik menjadi bagian penting untuk menjaga transparansi dan kredibilitas.
Menanggapi pendapat sebagian pihak yang menganggap mantan presiden tidak perlu lagi melalui proses penelitian ulang, Prof. Slamet menegaskan bahwa aturan tetap harus dijadikan pedoman utama.
“Setahu saya, semua usulan tetap wajib melalui tahapan administratif dan akademik. Hal ini penting untuk menjaga agar prosesnya transparan, objektif, dan kredibel,” katanya.
Lebih lanjut, Prof. Slamet menilai bahwa pro dan kontra terkait rencana pemberian gelar kepada Soeharto menunjukkan betapa kompleksnya figur tersebut dalam sejarah Indonesia.
“Dari sisi positif, Soeharto berperan besar dalam stabilitas ekonomi dan pembangunan nasional. Namun di sisi lain, akhir masa pemerintahannya diwarnai berbagai persoalan seperti pelanggaran HAM dan lamanya kekuasaan, yang menimbulkan persepsi negatif di mata publik,” ujarnya.
Karena itu, ia menilai bahwa penentuan kelayakan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto harus mempertimbangkan keseimbangan antara kontribusi terhadap negara dan dampak sosial-politik yang ditinggalkannya.
“Saya kira yang terbaik adalah menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang berlaku dan menilai secara objektif, bukan emosional. Biarlah kalangan akademisi dan lembaga resmi yang menimbang secara adil,” tegasnya.
Prof. Slamet juga mengingatkan bahwa pengujian melalui mekanisme resmi akan menjaga marwah gelar pahlawan nasional sebagai penghargaan tertinggi negara bagi warga yang berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara. (*)
| Pewarta | : Antara |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Farrah Syahlaa Gugah Ingatan Masyarakat Melalui Kompetisi Lagu Daerah dan Budaya di Era Digital
Prabowo: Selama Anak Muda Jujur dan Setia, Indonesia Tak Terkalahkan
Bahas Ekonomi dan Perdamaian, Presiden Prabowo Akan Hadiri KTT APEC
Purbaya Rem Rencana Turunkan PPN, Potensial Hilang Rp70 Triliun
Minat Gen Z Masuk ke Pesantren Cukup Tinggi, Ini Alasannya
Dicurhati Soal Problem Sekolah, Bupati Madiun: Kasek dan Guru Harus Harmonis
Prevalensi Stunting Kabupaten Sleman Turun Jadi 4,2 Persen
Warga Kabupaten Malang Diajak Perkuat Toleransi dan Gotong Royong
BREAKING NEWS! Kejari Sleman Tahan Mantan Bupati Sleman Sri Purnomo
Ini Langkah Kementan Tingkatkan Kesejahteraan Petani Kelapa Malut