Kedaulatan Digital Indonesia Terancam? Melihat Luka di Balik Kesepakatan Tarif AS–RI

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketika Presiden Prabowo menyambut kesepakatan dagang baru dengan Amerika Serikat, sebagian besar pemberitaan fokus pada satu angka: tarif resiprokal 19 persen. Tajuk utama menyebut peluang ekspor terbuka, kerja sama strategis meluas, dan ekonomi digital Indonesia siap melaju.
Tapi tak banyak yang mencermati lembar fakta Gedung Putih yang menyertai pengumuman Kesepakatan Tarif AS–RI itu. Di dalamnya, tersembunyi satu klausul yang tak kalah penting dari tarif ekspor: pengakuan resmi terhadap kemampuan transfer data pribadi masyarakat Indonesia ke sistem digital Amerika Serikat.
Advertisement
Tidak dijelaskan batasannya. Tidak dijabarkan mekanisme pengawasannya. Tidak pula dipastikan perlindungan hukumnya.
Satu kalimat itu menyimpan satu pertanyaan besar: apakah kita baru saja menyerahkan kendali atas identitas digital warga negara Indonesia kepada pihak asing?
Apa Itu Kedaulatan Digital, dan Mengapa Ini Perlu Diperjuangkan?
Kedaulatan digital mungkin terdengar seperti istilah abstrak. Tapi bagi para perancang kebijakan, ini adalah soal kekuasaan atas data: siapa yang menyimpannya, siapa yang mengaksesnya, dan siapa yang berhak mengambil keputusan atasnya.
“Kontrol atas data adalah pertanyaan kedaulatan negara,”
tegas Johnny G. Plate saat menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika pada 2022, saat menyampaikan Strategi Cloud Nasional.
Pernyataan itu menggambarkan kesadaran bahwa di era digital, data bukan sekadar kumpulan angka dan huruf—ia adalah fondasi kekuasaan baru. Ia menentukan bagaimana sistem layanan publik bekerja, bagaimana perilaku warga dimetakan, dan bagaimana keputusan ekonomi dan politik diambil.
Namun, kesadaran itu kini diuji oleh realitas.
Indonesia—Raksasa Pasar, Tapi Pengguna Teknologi Orang Lain
Ekonomi digital Indonesia disebut sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Diperkirakan akan mencapai USD 360 miliar pada tahun 2030, potensi ini menjadikan Indonesia sebagai “permata” bagi para raksasa teknologi global.
Namun di balik euforia itu, kendali terhadap infrastruktur digital sebagian besar ada di tangan luar negeri: pusat data berada di Singapura atau AS, sistem cloud didominasi Amazon dan Google, layanan pembayaran dan aplikasi pesan pun milik korporasi global.
“Indonesia has been a digital colony in its own land,”
tulis IDPRO.id dalam laporan strateginya tahun lalu. Sebuah frasa tajam yang menggambarkan betapa negara ini ramai dipakai tapi minim kuasa.
Seperti tanah jajahan, kita ramai oleh aktivitas digital—namun servernya berada jauh, yurisdiksinya asing, dan keuntungannya tak kembali penuh ke rakyat.
Kolonialisme Data—Istilah yang Semakin Nyata
Beberapa tahun terakhir, istilah “data colonialism” semakin banyak digunakan dalam kajian akademik. Bukan sekadar istilah retoris, ini adalah istilah untuk praktik sistemik di mana data warga negara dunia ketiga diekstraksi secara masif, lalu dimonetisasi oleh perusahaan dan negara maju.
Laporan dari Arxiv.org menyebutkan bahwa praktik ini menyamai skema penjajahan lama, hanya saja bentuknya berbeda. Bila dulu emas dan rempah dijarah, kini giliran data perilaku, biometrik, dan interaksi digital yang dikumpulkan dan dikendalikan.
“Mereka menyedot data mentah dari pengguna di negara berkembang, lalu mengubahnya menjadi algoritma, analitik, dan keuntungan yang tak pernah kembali ke sumber datanya,”
tulis makalah itu.
Kesepakatan AS–RI yang membuka keran transfer data ke luar negeri, tanpa kejelasan mekanisme proteksi dan pengawasan, menjadi bagian dari narasi itu.
Biaya Kedaulatan yang Tidak Pernah Ditagih
Pemerintah kerap mengklaim bahwa UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) menjadi benteng utama. Namun faktanya, hingga hari ini, Otoritas PDP yang seharusnya menjalankan UU itu belum terbentuk.
Tanpa otoritas yang aktif dan independen seperti Tidak ada sanksi tegas bagi pelanggaran transfer data, Warga Indonesia yang ingin menggugat harus melawan sistem hukum asing yang kompleks dan mahal, Dan ironisnya, dalam banyak kasus, data warga bisa jadi “imbalan” dalam kesepakatan dagang strategis.
“Kita sedang gadaikan privasi warga negara demi kesepakatan tarif,”
ujar Ardi Sutedja, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), kepada media saat menanggapi isi kesepakatan.
Menyelamatkan Kedaulatan Digital, Sebelum Terlambat
Tiga langkah utama harus segera dilakukan jika Indonesia tidak ingin benar-benar kehilangan kendali atas nasib digitalnya sendiri yakni:
-
Membangun infrastruktur digital lokal: termasuk pusat data nasional dan sistem cloud domestik yang dimiliki dan dikelola oleh entitas Indonesia.
-
Segera mengaktifkan Otoritas PDP: agar dapat menolak transfer data ke negara tanpa perlindungan hukum yang setara.
-
Transparansi penuh atas dokumen kesepakatan digital: siapa pihak yang mendapat akses, data apa yang diproses, dan bagaimana jalur hukum bisa dijalankan jika terjadi pelanggaran.
Tanpa langkah ini, Indonesia tak lebih dari market raksasa tanpa kendali atas data warganya.
Bangsa Pasar Tanpa Arah
Jika data warga dianggap hanya sebagai nilai tukar untuk mendapatkan tarif dagang, maka Indonesia sedang menggadaikan masa depannya dalam industri paling strategis abad ini: ekonomi data.
“Yang menguasai data akan menguasai masa depan,”
ujar seorang pakar kebijakan digital dalam diskusi publik di Universitas Gadjah Mada, 2025.
Dan yang tak menguasainya?
Mungkin hanya akan menjadi titik koordinat dalam sistem algoritma orang lain.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |