
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada 23 Juli 2025, Gedung Putih merilis fact sheet resmi yang menyambut kesepakatan dagang strategis dengan Indonesia. Disebut sebagai “peluang emas” bagi kedua negara, kesepakatan ini menjanjikan penurunan tarif resiprokal sebesar 19%, kemudahan perdagangan digital, dan perluasan kerja sama sektor teknologi.
Bagi para pembuat kebijakan, kesepakatan tarif AS-RI ini adalah kemenangan diplomasi ekonomi. Namun bagi seorang petani kopi di Temanggung, atau pelaku UMKM bordir di Mojokerto—kesepakatan itu mungkin terdengar seperti bahasa asing.
Advertisement
Bagi para pengusaha kecil mungkin hanya akan muncul “Apa bedanya bagi kami?". Sebuah pertanyaan bagi para pengusaha yang tak paham bagaimana data dan tarif dagang digital bisa memengaruhi ordernya yang masih mengandalkan marketplace lokal.
Defisit Dagang, Tapi Akses AS Kian Luas
Data menunjukkan bahwa pada 2024, defisit dagang Indonesia terhadap AS mencapai USD 17,9 miliar. Artinya, Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. Namun, alih-alih memperkuat daya saing ekspor UMKM dan petani, kesepakatan ini justru membuka akses lebih besar bagi produk digital dan teknologi Amerika masuk ke pasar Indonesia.
Dari layanan cloud hingga aplikasi, dari e-commerce lintas batas hingga iklan digital, semuanya kini makin mudah beroperasi—di tengah ekosistem lokal yang masih ringkih dan tidak kompetitif.
Menurut laporan Kementerian Perindustrian dan BPS, UMKM pada tahun yang sama hanya menyumbang sekitar 15% dari ekspor nasional, sementara petani hanya sekitar 5% dari ekspor sektor agro. Sisanya dikuasai oleh perusahaan besar atau komoditas yang tidak dimiliki petani secara langsung.
Dengan angka ini, muncul pertanyaan tajam: apakah rakyat kecil bisa ikut bermain dalam pasar bebas yang semakin liberal?
Janji Manis untuk Petani & UMKM: Mimpi yang Masih Mengawang?
Pemerintah mengklaim kesepakatan ini dapat menguntungkan petani karena bisa menurunkan harga input pertanian seperti pupuk dan alat mesin impor. Namun realitas di lapangan berbeda.
Masyarakat sering kali membahas tentang tarif impor mereka terhadap produk Indonesia, bukan ekspor produk tanah ait ke sana. Artinya, penurunan tarif bukan langsung berdampak pada harga pupuk atau alat panen yang dibutuhkan petani. Bahkan, untuk komoditas seperti kopi dan sawit—harga lebih ditentukan oleh pasar global dan negosiasi korporasi besar, bukan oleh petani kecil.
Demikian pula pelaku UMKM digital. Larangan tarif elektronik di WTO, meskipun disebut sebagai dorongan bagi e-commerce Indonesia, faktanya tidak menyentuh akar masalah: minimnya infrastruktur digital, ketimpangan akses pasar, dan regulasi protektif yang belum matang.
Siapa yang Benar-Benar Untung?
Ketika disisir lebih dalam, justru korporasi besar Amerika yang paling diuntungkan.
Raksasa digital seperti Meta, Amazon, Microsoft, dan Google memperoleh dua hal sekaligus: pasar 300 juta pengguna baru dan kelonggaran hukum atas transfer data. Dengan makin mudahnya akses ke data dan pemrosesan lintas negara, nilai ekonomi yang dihasilkan dari interaksi digital Indonesia berpotensi tidak tinggal di Indonesia.
“Kalau data kita dikirim ke luar dan dianalisis di luar, nilai tambahnya juga ikut pindah,” jelas peneliti dari Institut Riset Digital Nusantara (IRDN) dalam forum “Ekonomi Data Nasional”, Juni 2025.
Data IRDN mencatat, startup digital Indonesia bisa kehilangan hingga 25% dari valuasinya jika pengelolaan data dan compliance-nya harus tunduk pada yurisdiksi asing.
Rakyat Digital vs Elite Digital
Di tengah maraknya digitalisasi, UMKM dan petani tetap jadi pengguna—bukan pemilik sistem. Data pribadi pelaku UMKM digunakan untuk segmentasi iklan, analisis pasar, dan prediksi tren—tapi tanpa mereka punya kuasa atas data itu sendiri.
Bisa dibilang Ekonomi digital hari ini menjadikan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Mereka dilacak, dibaca, dan dijual ulang.
Data yang berasal dari UMKM lokal bisa menjadi bahan baku algoritma yang dijual kembali dalam bentuk layanan berbayar, tanpa ada pembagian keuntungan yang adil. Di sinilah letak paradoks digital Indonesia—banyak pengguna, tapi sedikit penguasa.
Solusi Rakyat Bukan Sekadar Retorika
Jika Indonesia ingin memetik manfaat ekonomi digital dan perdagangan bebas secara adil, berikut langkah konkret yang disarankan oleh berbagai organisasi riset dan kebijakan. Hal ini dikarenakan sebagai bangsa besar Indonesia harus membangun pusat data nasional (data center) milik negara atau koperasi digital, agar UMKM dan petani punya rumah data sendiri.
Kemudian, memerikan subsidi ekspor dan proteksi tarif untuk produk petani dan UMKM strategis agar mampu bersaing di pasar luar. Membuat skema transfer data diferensial: data UMKM bisa diproses lintas negara, tetapi data pertanian strategis dan komunal harus dikelola di dalam negeri, serta melatih dan mendampingi UMKM agar melek data, bisa menganalisis pasar sendiri, dan tidak hanya menjadi sumber bahan mentah bagi perusahaan teknologi asing.
Untuk Siapa Sebenarnya Ekonomi Ini Dibangun?
Kesepakatan tarif bisa menjadi peluang, namun tanpa keberpihakan yang nyata terhadap pelaku kecil, ia hanya akan menjadi panggung bagi kekuatan besar memperluas kekuasaannya.
Petani dan UMKM tidak menolak keterbukaan—mereka menolak ketimpangan. Mereka tidak butuh sekadar “akses pasar”—mereka butuh perlindungan, pendampingan, dan kuasa atas data dan nilai tambahnya.
Karena ekonomi digital, sejatinya, harus memberi ruang bagi mereka yang paling membutuhkan.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |