Dua Mazhab Ekonomi: Purbaya vs Sri Mulyani dalam Arah Kebijakan Indonesia

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia baru saja menyaksikan pergantian penting dalam jajaran kabinet: Purbaya Yudhi Sadewa ditunjuk Presiden Prabowo Subianto sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada 8 September 2025. Pergantian ini bukan sekadar rotasi teknokrat, tetapi menandai pergeseran mazhab ekonomi yang akan mewarnai arah kebijakan fiskal Indonesia ke depan.
Sri Mulyani selama ini identik dengan disiplin fiskal, kredibilitas internasional, dan pendekatan ortodoks pasar. Purbaya, di sisi lain, dikenal lebih populis, dengan keyakinan bahwa negara harus lebih berani melakukan intervensi demi melindungi kepentingan domestik. Benturan dua pemikiran ini kini menjadi sorotan bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di pasar internasional.
Advertisement
Sri Mulyani dan Warisan Disiplin Fiskal
Sejak kembali dari Bank Dunia pada 2016, Sri Mulyani menancapkan reputasi sebagai penjaga stabilitas APBN. Ia kerap mengingatkan bahwa defisit harus dijaga agar tidak melebar.
“Kita harus menjaga disiplin fiskal. APBN adalah instrumen utama untuk melindungi ekonomi, tetapi juga harus dikelola dengan hati-hati,” ujar Sri Mulyani dalam sebuah forum pada 2024.
Pesan yang ia bawa sederhana namun fundamental: pengeluaran negara harus sejalan dengan penerimaan. Prinsip ortodoksi fiskal ini memastikan keberlanjutan utang, kredibilitas kebijakan, dan kepercayaan investor global. Tak heran, ia menjadi simbol keandalan Indonesia di mata lembaga keuangan internasional.
Bagi investor, nama Sri Mulyani identik dengan kepastian. Ia dianggap mampu meredam kepanikan pasar setiap kali gejolak global menghantam, termasuk saat pandemi Covid-19. Karena itu, kepindahannya dari Kementerian Keuangan meninggalkan pertanyaan besar: apakah stabilitas fiskal Indonesia tetap terjaga?
Purbaya dan Seruan Intervensi Negara
Berbeda dengan Sri Mulyani, Purbaya Yudhi Sadewa memiliki mazhab ekonomi yang lebih menekankan peran proteksi negara. Sebagai mantan Ketua LPS dan ekonom yang dekat dengan isu perbankan, ia kerap menekankan perlunya Indonesia berani mengambil jalan berbeda dari aturan global.
“Kita jangan hanya ikut aturan global. Indonesia harus punya jalan sendiri, terutama dalam melindungi industri keuangan dari gejolak luar,” kata Purbaya dalam sebuah diskusi media tahun 2024.
Nada bicaranya lugas, bahkan cenderung populis. Ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh dikorbankan hanya untuk menjaga rasio fiskal yang kaku. Dalam beberapa pidato publik, Purbaya mendorong agar APBN lebih banyak diarahkan ke perlindungan industri strategis dan penguatan konsumsi domestik.
Bagi kalangan politik, pendekatan Purbaya terdengar lebih membumi. Namun, bagi pasar internasional, sikap ini bisa menimbulkan tanda tanya: apakah Indonesia masih akan setia pada disiplin fiskal, atau mulai melonggarkan aturan demi ambisi pembangunan?
Benturan Mazhab Ekonomi: Kredibilitas vs Kedaulatan
Perbedaan pandangan Sri Mulyani dan Purbaya kini mencerminkan tarik-menarik yang lebih besar: menjaga kredibilitas global versus menegaskan kedaulatan domestik. Sri Mulyani memandang defisit lebar sebagai ancaman kredibilitas yang berisiko menaikkan yield obligasi dan melemahkan rupiah. Dia juga menekankan keberlanjutan utang, defisit terkendali, serta keterhubungan dengan pasar internasional.
Sedangkan Purbaya menilai defisit justru bisa menjadi alat dorong pertumbuhan, selama dikelola produktif dan diarahkan pada sektor prioritas. Dia menekankan perlunya ruang fleksibilitas, keberanian melawan standar global, dan perlindungan industri nasional.
Benturan ini tampak dalam isu-isu strategis seperti subsidi energi, pajak karbon, dan pembiayaan infrastruktur. Sri Mulyani mendorong Indonesia masuk dalam standar internasional demi reputasi global. Purbaya, sebaliknya, menekankan kesiapan domestik sebelum tunduk pada aturan asing.
Reaksi Internasional: Pasar Menunggu Sinyal
Pasar keuangan internasional bereaksi hati-hati terhadap pergantian Menkeu ini. Obligasi pemerintah Indonesia sempat mencatat peningkatan yield tipis, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap arah kebijakan fiskal ke depan. Lembaga pemeringkat internasional seperti Moody’s dan Fitch menilai transisi ini perlu disertai kejelasan komitmen pemerintah terhadap keberlanjutan fiskal.
Investor asing terbiasa dengan kepemimpinan Sri Mulyani yang kredibel dan komunikatif. Purbaya, meski berpengalaman di sektor keuangan, masih harus membuktikan dirinya di hadapan pasar global. Transparansi kebijakan dan konsistensi regulasi akan menjadi ujian pertama.
Implikasi untuk Investasi Asing Langsung (FDI)
FDI adalah indikator penting yang akan terpengaruh oleh benturan mazhab ekonomi ini. Jika jalur Sri Mulyani dilanjutkan, Indonesia akan tetap dipandang sebagai destinasi yang kredibel, meski dengan keterbatasan ruang fiskal untuk stimulus. Investor merasa aman karena ada kepastian aturan.
Sementara, jika jalur Purbaya lebih dominan, ruang fiskal untuk subsidi dan proteksi domestik lebih luas. Namun, ketidakpastian regulasi bisa membuat investor asing menunda atau mengalihkan modalnya.
Sektor manufaktur dan energi, yang sangat bergantung pada FDI, akan menjadi “lapangan uji” bagi kebijakan Purbaya. Apakah proteksi akan membuat industri lokal tumbuh, atau justru mengurangi minat investor global?
Konteks Politik-Ekonomi Indonesia
Pertarungan mazhab ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik. Pemerintahan Prabowo Subianto menekankan pembangunan besar-besaran, kemandirian pangan, dan penguatan industri domestik. Dalam kerangka itu, pendekatan Purbaya lebih sejalan dengan narasi populis.
Namun, pemerintah juga butuh dukungan pasar global untuk pembiayaan utang dan pembangunan. Di sinilah dilema muncul: terlalu jauh mengikuti mazhab Purbaya bisa menimbulkan risiko kepercayaan pasar, tetapi terlalu ortodoks ala Sri Mulyani bisa dianggap tidak sensitif pada kebutuhan domestik.
Resonansi ke Publik
Masyarakat awam merasakan perbedaan keduanya secara nyata. Kebijakan Sri Mulyani sering dianggap terlalu elit, berpihak pada pasar dan kreditor asing. Sementara gagasan Purbaya terdengar lebih dekat dengan kepentingan rakyat, meski risikonya adalah inflasi atau ketidakpastian harga.
Narasi ini penting secara politik: populisme ekonomi cenderung lebih mudah diterima publik, sementara disiplin fiskal lebih dihargai pasar global. Indonesia kini berada di persimpangan jalan, di mana keputusan fiskal juga menjadi keputusan politik.
Menimbang Konsekuensi
Jika Indonesia menekankan ortodoksi ala Sri Mulyani, kredibilitas fiskal tetap terjaga, tetapi ruang manuver pembangunan terbatas. Jika pendekatan Purbaya lebih dominan, fleksibilitas meningkat, tetapi risiko pasar juga membesar.
Kemungkinan besar, Indonesia akan mengambil jalan tengah: disiplin fiskal tetap dijaga, namun intervensi negara diperbesar di sektor-sektor strategis. Jalan kompromi inilah yang akan menentukan stabilitas ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Penutup: Antara Kredibilitas dan Kedaulatan
Sri Mulyani pernah menegaskan, “APBN bukan hanya angka, tetapi refleksi pilihan politik dan moral.” Purbaya menjawab dengan narasi berbeda: “Kedaulatan ekonomi tidak boleh dikorbankan hanya demi aturan global.”
Dua mazhab ini kini hidup berdampingan dalam satu negara. Pertanyaan besar bagi Indonesia adalah: sejauh mana mampu menyeimbangkan keduanya? Jika keseimbangan tercapai, Indonesia bisa menjadi contoh unik negara berkembang yang memadukan kredibilitas global dengan kedaulatan domestik. Jika tidak, gejolak fiskal dan kepercayaan pasar bisa menjadi konsekuensi yang harus dibayar mahal.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Rizal Dani |