Ekonomi

Pakar UGM: Ekonomi Sirkular Solusi Cerdas Hadapi Kerusakan Alam yang Ancam Perekonomian Global

Rabu, 05 November 2025 - 18:37 | 310
Luluk Lusiantoro, M.Sc., Ph.D saat memberikan kuliah EB Journalism Academy di FEB UGM (FOTO: Humas FEB UGM for TIMES Indonesia)
Luluk Lusiantoro, M.Sc., Ph.D saat memberikan kuliah EB Journalism Academy di FEB UGM (FOTO: Humas FEB UGM for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – style="text-align:justify">Krisis iklim, menurunnya keanekaragaman hayati, dan polusi udara kini menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan hidup manusia. Di tengah situasi tersebut, konsep ekonomi sirkular hadir sebagai alternatif cerdas untuk memperbaiki cara manusia memproduksi dan mengonsumsi sumber daya.

“Sudah saatnya kita berhenti melihat pertumbuhan ekonomi hanya dari sisi angka, tanpa memikirkan dampak lingkungan. Ekonomi sirkular menekankan agar sumber daya yang digunakan dapat terus diregenerasi, bukan dihabiskan,” ujar Luluk Lusiantoro, M.Sc., Ph.D., Kepala Bidang Kajian Manajemen Logistik dan Rantai Pasokan FEB UGM, dalam kegiatan EB Journalism Academy di kampus setempat, Rabu (5/11/2025).

Advertisement

Menurut Luluk, ancaman terbesar terhadap perekonomian global justru berasal dari kerusakan alam. “Jika dibiarkan, perubahan iklim bisa menggerus nilai ekonomi dunia hingga 23 triliun dolar pada 2050,” jelasnya. Ia menambahkan, polusi udara kini telah menjadi krisis global. Data WHO mencatat, sembilan dari sepuluh orang di dunia menghirup udara dengan kadar polutan di atas ambang batas aman.

“Di Yogyakarta mungkin belum terlalu terasa, tapi di kota besar seperti Jakarta, langit kelabu bukan karena mendung, melainkan karena polusi,” ujarnya.

Luluk juga menyoroti kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan besar-besaran dan praktik pertanian monokultur. Menurutnya, keanekaragaman hayati yang terus menurun menjadi tanda bahwa keseimbangan ekosistem sedang terganggu.

Dalam paparannya, Luluk menjelaskan empat fungsi utama ekosistem yang menopang kehidupan manusia,yaitu Provisioning Services, yaitu kemampuan alam menyediakan air, pangan, dan bahan baku seperti kayu; Regulating Services, yang menjaga stabilitas iklim dan mencegah bencana seperti banjir dan longsor.

Berikutnya, Cultural Services, yang memberikan nilai budaya, spiritual, dan rekreasi dari alam; serta Supporting Services, yang memastikan ketersediaan udara bersih dan kesuburan tanah.

“Ketika salah satu fungsi ekosistem terganggu, manusia juga kehilangan keseimbangan hidupnya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Luluk menegaskan bahwa ekonomi sirkular bukan sekadar teori, melainkan model nyata yang mendorong penggunaan sumber daya secara berulang melalui perbaikan, pemanfaatan kembali, dan daur ulang. Ia memperkenalkan konsep “Butterfly Model”, yang membagi proses ekonomi menjadi dua siklus utama: siklus teknis dan siklus biologis.

“Dalam siklus teknis, barang seperti smartphone atau furnitur bisa dikembalikan ke rantai produksi lewat proses perbaikan atau daur ulang. Sedangkan dalam siklus biologis, limbah organik akan kembali ke alam secara alami,” paparnya. 

Namun, perubahan besar tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah atau industri. “Transformasi menuju ekonomi sirkular justru dimulai dari individu, lewat kebiasaan kecil seperti mengurangi konsumsi berlebihan, memilah sampah, dan memilih produk berkelanjutan,” jelasnya.

Sebagai bentuk kontribusi, Luluk menggagas platform edukasi ekonomisirkular.id, situs yang menyediakan asesmen gratis bagi individu maupun perusahaan untuk mengukur sejauh mana mereka menerapkan prinsip ekonomi sirkular. Sejak diluncurkan, lebih dari 10.000 individu dan 300 perusahaan telah mengikuti asesmen tersebut.

“Tujuan kami bukan komersial, tapi membangun kesadaran bahwa setiap tindakan kecil punya dampak besar bagi bumi,” ungkapnya.

Ia juga mencontohkan sejumlah praktik ekonomi sirkular di berbagai negara, seperti startup pangan di Prancis yang menjual kembali makanan sisa layak konsumsi, hingga industri batik di Indonesia yang mulai beralih ke pewarna alami berbasis tumbuhan.

“Batik alami membuktikan bahwa ekonomi sirkular bisa berjalan seiring dengan pelestarian budaya dan peningkatan kualitas produk lokal,” katanya.

Menutup paparannya, Luluk menegaskan bahwa transisi menuju ekonomi berkelanjutan adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor. “Kita tidak bisa hanya menunggu perubahan dari atas. Setiap orang punya tanggung jawab untuk memulai, sekecil apa pun langkahnya,” ujarnya optimistis.

Menurutnya, ekonomi sirkular bukan tentang memperlambat pertumbuhan, melainkan memastikan bumi tetap layak dihuni oleh generasi mendatang. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES