Putu Fajar Arcana Hadirkan “Chromatica”: Pameran Lukisan Sebagai Perjalanan Healing

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bagi Putu Fajar Arcana, melukis bukan sekadar kegiatan artistik, melainkan jalan untuk memulihkan batin yang pernah terluka. Setiap goresan warna di atas kanvas menjadi bagian dari meditasi pribadi, membawa ketenangan dan perlahan menuntunnya menuju keseimbangan jiwa.
Dari proses inilah lahir puluhan karya yang siap dipamerkan dalam A Solo Exhibition bertajuk “Chromatica”, yang digelar pada 17–21 Agustus 2025 di The Gallery, The Dharmawangsa Jakarta.
Advertisement
Pembukaan pameran berlangsung pada Sabtu (16/8/2025) pukul 18.00 WIB, dibuka dengan pertunjukan teater “Tubuh Bertumbuh: Dukkha–Daya–Cahaya” yang melibatkan aktris Sha Ine Febriyanti, Joane Win, dan penari Try Anggara. Mereka akan membawakan naskah karya Angelina Arcana, berpadu dengan unsur sastra, teater, tari, dan seni rupa.
Pameran ini dikuratori oleh arsitek sekaligus kurator muda, Trianzani Sulshi, dan digelar berkat kolaborasi Arcana Artworks, The Dharmawangsa, serta Bakti Budaya Djarum Foundation, dengan dukungan In-lite, Sango, dan Sababay.
Memadukan Seni dan Proses Pemulihan
Project Manager “Chromatica”, Angelina Arcana, menjelaskan bahwa pameran ini memang dirancang sebagai pertemuan lintas disiplin seni, meski seni rupa tetap menjadi fokus utama. Putu, yang selama masa pandemi Covid-19 mendalami teknik fluid art, menjadikan lukisannya sebagai “momen seni” yang tak bisa diulang.
“Teknik ini sangat erat dengan kondisi batin senimannya. Setiap karya hanya terjadi sekali, pada momen tertentu, dan membawa muatan emosional yang khas,” ujar Angelina, Selasa (12/8/2025) di Jakarta.
Pameran ini akan menampilkan 34 karya yang dikerjakan sepanjang 2024–2025. Menurut Angelina, periode tersebut menjadi fase penting di mana sang seniman mulai menemukan jalan kesembuhan sekaligus gaya melukis yang berbeda.
Warna sebagai Cahaya Penyembuh
Bagi Putu, “chromatica” mencerminkan pencarian artistiknya. Ia memandang warna sebagai manifestasi gelombang cahaya, sesuai teori Isaac Newton, di mana panjang gelombang menentukan jenis warna yang terlihat. “Warna dalam lukisan adalah cahaya yang saya butuhkan dalam proses penyembuhan,” kata Putu.
Menariknya, ia sama sekali tidak menggunakan kuas. Proses kreatifnya melibatkan elemen alam—tiupan angin, panas api, tumpahan air—untuk membentuk lapisan demi lapisan warna di kanvas. Baginya, metode ini dekat dengan meditasi, mengingatkan manusia akan posisinya di tengah semesta yang luas.
Dukungan dan Aktivitas Pendukung
Hariadi Jasim dari The Dharmawangsa Jakarta berharap pameran ini memperkuat peran hotel sebagai pusat pengembangan kebudayaan. “Desain hotel kami menggabungkan unsur budaya Jawa dan Barat. Semoga perpaduan ini memberi kontribusi bagi kebudayaan modern Indonesia,” ujarnya.
Selama pameran, akan ada sesi artist tour dan art for healing, di mana Putu akan memandu pengunjung memahami proses kreatif di balik setiap karyanya, termasuk pengalaman spiritual yang mengiringinya. Pendaftaran dibuka melalui akun Instagram @arcanaartworks.
Profil Singkat Putu Fajar Arcana
Lahir di Negara, Bali, tahun 1965, Putu dikenal sebagai jurnalis harian Kompas (1994–2022) sekaligus penulis novel, cerpen, puisi, drama, dan esai. Ia mulai melukis sejak pandemi Covid-19, mengembangkan teknik dutch pour dan memperkaya karyanya dengan lima unsur alam: padat, cair, api, angin, dan gas. Rekam jejak pamerannya mencakup “Lukisan Bukan Pelukis” (1999), “Mencuri Waktu” (2000), “Lindu” (2006), dan “Grateful Dead” (2013). Pada 2024–2025, ia juga menyumbangkan karya untuk lelang amal Sidharta Auctioneer demi mendukung Indonesian Dance Festival (IDF). (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |