
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Dalam hidup yang penuh dinamika dan pergumulan, doa sering kali menjadi titik akhir, ketika segala usaha sudah mentok dan harapan mulai menipis. Namun bacaan-bacaan hari Minggu ini justru membalikkan logika itu: doa bukanlah pelarian terakhir, tetapi langkah awal. Sebuah jalan sunyi namun penuh kuasa, yang menembus batas diri menuju harapan bagi dunia.
Abraham: Doa Bukan untuk Diri, Tapi Demi Sesama
Dalam Kitab Kejadian (18:20–33), kita menemukan figur Abraham sebagai pemimpin besar atau tokoh sejarah, dan juga sebagai pendoa syafaat. Ia berdiri di hadapan Tuhan bukan demi keselamatannya sendiri, melainkan demi kota yang rusak dan bobrok: Sodom dan Gomora.
Advertisement
Yang menarik, Abraham tidak memohon pengampunan untuk yang bersalah, tapi ia mohon belas kasih demi mereka yang benar. Ia memohon agar keberadaan segelintir orang baik bisa menjadi alasan bagi Tuhan untuk menyelamatkan seluruh kota. Dan Tuhan, yang dikenal sebagai Hakim yang adil, justru menyingkapkan diri-Nya sebagai Bapa yang sabar dan penuh belas kasih.
Dalam peristiwa ini, kita belajar: kasih dan pengampunan Tuhan lebih besar daripada murka dan keadilan-Nya. Ia menunggu mereka yang bersedia menjadi jembatan pengampunan untuk diri sendiri dan untuk dunia.
Doa Syafaat: Jalan Sunyi Menuju Kasih
Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose (Kol 2:12–14), Rasul Paulus menegaskan bahwa kita telah dihidupkan kembali dalam Kristus. Yang mati kini diberi kehidupan, bukan karena jasa, melainkan karena belas kasih Allah.
Namun anugerah ini bukanlah titik akhir, melainkan undangan. Kita dipanggil menjadi seperti Abraham, menjadi tangan yang berdoa, menjadi hati yang mengasihi, menjadi suara yang bersyafaat bagi orang lain.
Doa syafaat bukan sekadar ritual. Ia adalah latihan batin untuk keluar dari keakuan dan masuk ke dalam kepedulian. Kita mulai melihat orang lain bukan sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari tubuh yang harus kita doakan. Bahkan mereka yang jauh dari Tuhan pun menjadi ladang belas kasih yang tak boleh ditinggalkan.
Mintalah, Carilah, Ketuklah
Dalam Injil Lukas (11:1–13), Yesus mengajarkan sebuah formula spiritual yang begitu sederhana namun dalam: “Mintalah, carilah, ketuklah.” Kata-kata ini bukan sekadar ajakan pasif, tapi panggilan aktif untuk terlibat dalam relasi dengan Allah.
Doa bukan hanya tentang meminta yang kita inginkan, tetapi menyelaraskan hati kita dengan kehendak-Nya. Dan dalam proses itu, kita belajar percaya bahwa ketika jawaban Tuhan berbeda dari ekspektasi kita, yakinlah kasih-Nya tetap tak berubah.
Ia tetap Bapa yang baik. Bapa yang memberi bukan berdasarkan permintaan, tapi berdasarkan apa yang terbaik.
Doa yang Mengubah Dunia
Hari ini, kita diajak melihat doa bukan sebagai solusi darurat, melainkan sebagai nafas kehidupan. Doa bukan cara untuk memaksa Tuhan, tapi cara Tuhan melibatkan kita dalam karya penyelamatan-Nya.
Ketika kita berdoa bagi keselamatan orang lain — keluarga, sahabat, bahkan mereka yang jauh dari Tuhan — kita sedang membuka pintu surga, bukan hanya bagi mereka, tetapi juga bagi diri kita sendiri.
Hidup kekal bukanlah sesuatu yang kita tunggu di ujung kematian. Ia adalah anugerah yang mulai terasa sejak kita hidup dalam kasih, pengampunan, dan doa yang tulus.
Maka mintalah tanpa ragu, carilah tanpa lelah, dan ketuklah dengan iman. Bukan hanya untuk hidupmu, tapi demi dunia yang Tuhan kasihi. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rifky Rezfany |