
TIMESINDONESIA, SURABAYA – "Dari kesembuhan jasmani menuju pemulihan hati."
Naaman, panglima bangsa Aram, disembuhkan dari kustanya bukan karena kebesaran dirinya, melainkan karena kesediaannya untuk taat pada perintah sederhana: membasuh diri di sungai Yordan.
Advertisement
Tindakan itu membuka pintu anugerah, bukan hanya bagi tubuhnya, tetapi bagi jiwanya. Ia berseru, “Sekarang aku tahu bahwa tidak ada Allah lain di seluruh bumi!”
Kesembuhan sejati sering dimulai dari hati yang mau belajar rendah hati dan percaya. Syukur muncul ketika manusia sadar bahwa segala sesuatu berasal dari kasih Allah. Dari titik inilah iman bertumbuh: dari pengalaman akan belas kasih yang nyata
Syukur yang Menghidupkan
Paulus menulis kepada Timotius: “Jika kita mati bersama Dia, kita juga akan hidup bersama Dia.” Syukur sejati bukan sekadar perasaan sesaat ketika doa terkabul, tetapi sebuah kesetiaan yang tumbuh dari pengenalan akan kasih Allah di tengah penderitaan sekalipun.
Iman yang matang tidak lahir dari mukjizat, melainkan dari kesediaan untuk tetap bersyukur di setiap musim hidup, baik saat diberkati maupun saat diuji. Syukur seperti inilah yang menghidupkan, membebaskan, dan menguatkan jiwa.
Sepuluh Orang Kusta dan Satu yang Kembali
Dalam Injil Lukas, sepuluh orang kusta disembuhkan, tetapi hanya satu yang kembali kepada Yesus untuk berterima kasih. Yesus bertanya, “Di mana yang sembilan itu?” Pertanyaan ini menggaung hingga kini—bukan untuk menuduh, melainkan untuk mengundang refleksi:
Apakah kita hanya mencari mukjizat, atau juga mencari Sang Pemberi mukjizat?
Ketika syukur membawa kita kembali kepada Tuhan, di situlah iman menjadi hidup. Sebab iman tanpa syukur akan kering, sementara syukur tanpa iman akan dangkal. Keduanya bertemu dalam hati yang mengenal kasih dan mau membagikannya kepada sesama.
Naaman disembuhkan, tapi yang lebih penting: ia mengenal Allah. Si penderita kusta disembuhkan, tapi yang lebih mendalam: ia diselamatkan karena imannya. Itulah perjalanan spiritual setiap orang beriman—dari menerima berkat menuju hidup dalam pengakuan iman.
Dalam kehidupan modern, kita sering mengalami “kesembuhan” dalam banyak bentuk: keberhasilan, kedamaian, kelegaan. Namun, apakah semua itu menumbuhkan iman kita? Ataukah hanya membuat kita berhenti di zona nyaman?
Menutup dengan Hati yang Bersyukur
Syukur sejati melampaui kata “terima kasih.” Ia menjelma menjadi sikap hidup: rendah hati, sabar, setia, dan penuh kasih. Ketika syukur tumbuh, iman pun mengakar. Dan ketika iman hidup, dunia di sekitar kita menjadi lebih terang.
Mari kita belajar menjadi pribadi yang kembali—kembali kepada Tuhan, kepada sesama, dan kepada nurani yang murni. Karena di sanalah iman menemukan bentuk terindahnya:
iman yang lahir dari syukur, dan syukur yang menumbuhkan iman. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rifky Rezfany |