
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Nabi Yesaya menggambarkan sosok yang menderita bukan karena kesalahannya sendiri, tetapi karena kasih yang rela menanggung beban orang lain:
“Ia tertindas karena kehendak Tuhan, tetapi Ia menyerahkan diri-Nya sebagai korban penebus kesalahan.” (Yes 53:10)
Advertisement
Di dunia yang sering mengukur kekuatan dengan kuasa, kisah ini mengajak kita melihat sisi lain dari makna kekuatan. Bahwa ada kekuatan yang tidak lahir dari dominasi, melainkan dari pengorbanan. Ada kemenangan yang tidak ditandai dengan sorak-sorai, melainkan dengan kesetiaan untuk tetap mengasihi meski terluka.
Imam Besar yang Mengerti Luka Kita
Surat kepada umat Ibrani menegaskan: "Kita mempunyai Imam Besar Agung yang dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita.” (Ibr 4:15)
Di sini, Yesus digambarkan bukan sebagai sosok yang jauh dan tak tersentuh, tetapi sebagai Tuhan yang memahami derita manusia, yang tahu rasanya ditolak, dikhianati, disakiti.
Ia hadir bukan sekadar untuk menebus dosa, tetapi juga untuk menegaskan bahwa tidak ada penderitaan yang sia-sia ketika dijalani dalam kasih.
Bagi banyak orang, ini menjadi sumber penghiburan: Tuhan tidak hanya melihat dari atas, tetapi turun dan berjalan bersama kita dalam gelapnya lembah kehidupan.
Melayani dari Hati yang Terluka
Injil Markus hari ini menampilkan percakapan antara Yesus dan murid-murid-Nya tentang ambisi menjadi yang terbesar. Tetapi Yesus membalikkan perspektif itu:
“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayan.” (Mrk 10:43)
Di sinilah kekuatan sejati ditemukan, bukan dalam menguasai, tetapi dalam melayani. Yesus menunjukkan bahwa kasih yang sejati tidak menolak penderitaan; justru di sanalah cinta diuji dan dimurnikan.
Melayani bukan berarti tak pernah terluka, melainkan terus memilih kasih meski pernah disakiti. Itulah kekuatan yang lahir dari kelemahan: kekuatan yang lembut, tetapi tak tergoyahkan.
Relevansi bagi Kita Hari Ini
Dalam dunia modern yang sering menyanjung kesuksesan dan pencapaian, pesan ini terasa menantang.
Kita belajar bahwa kelemahan bukan kegagalan, melainkan ruang bagi kasih untuk bekerja.
Ketika kita mau jujur dengan luka kita — baik luka batin, kecewa, atau kehilangan — kita menemukan empati yang lebih dalam terhadap sesama. Dan di situlah kita menyentuh dimensi ilahi dalam diri kita: kasih yang menyembuhkan.
Menutup dengan Hati yang Kuat dan Lembut
Kekuatan di balik kelemahan bukan tentang menolak rasa sakit, melainkan menemuinya dengan cinta.
Yesus telah menunjukkan bahwa penderitaan bisa menjadi jalan menuju pembaruan, luka bisa menjadi sumber kasih, dan kerendahan hati bisa menumbuhkan kemuliaan sejati.
Semoga di minggu ini, setiap luka yang kita bawa menjadi ladang tempat kasih tumbuh dan setiap kelemahan menjadi pintu bagi kekuatan yang datang dari Tuhan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rifky Rezfany |