Hukum dan Kriminal

Diduga Memberikan Perlindungan, De Jure Minta Komisi Kejaksaan Melakukan Pengawasan Menyeluruh

Rabu, 15 Oktober 2025 - 23:04 | 712
Gedung Kejaksaan Agung. (FOTO: ist)
Gedung Kejaksaan Agung. (FOTO: ist)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kasus investasi robot trading Fahrenheit yang melibatkan sejumlah jaksa diantaranya Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Hendri Antoro menjadi sorotan publik. 

Pasalnya, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa Hendri Antoro tidak memiliki niat jahat ketika menerima uang sejumlah Rp500 juta dari anak buahnya dan Hendri dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.

Advertisement

Berbeda dengan anak buahnya, jaksa Azam Akhmad Ahsya telah divonis 9 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 11 September 2025, Hendri Antoro dinilai hanya lalai dan belum terbukti adanya mens rea dalam perkara ini. 

Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform (DE JURE) Bhatara Ibnu Reza memandang, kejaksaan kembali tidak menginginkan penuntasan kasus ini hingga tingkat yang lebih tinggi. 

“Kejaksaan tengah berusaha untuk memutus rantai keterlibatan dengan menghentikannya hanya pada kasus jaksa Azam,” ucap Bhatara Ibnu Reza dalam keterangan persnya yang diterima TIMES Indonesia, Rabu (15/10/2025). 

Menurutnya, terkesan kuat jika Kejaksaan memberikan perlindungan dan pembelaan yang tidak proporsional kepada orang yang diduga ikut terlibat menerima uang yang seharusnya dikembalikan kepada para korban tindak pidana tersebut. 

Ia menilai berdasarkan undang-undang dan peraturan perundang-undangan, diantaranya Pasal 4(i) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, dimana menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

“Untuk itu, baik orang yang menerima sudah sepantasnya dan sepatutnya menduga bahwa pemberian uang ratusan juta rupiah tersebut adalah bentuk pelanggaran serius yang berimplikasi telah terjadinya tindak pidana,” sebutnya. 

Ia menilai, langkah yang dilakukan kejaksaan dalam upayanya memberikan perlindungan kepada jaksa penerima uang ini berbanding terbalik dengan komitmen Jaksa Agung yang ingin membersihkan korps Adhyaksa dari para jaksa yang melakukan penyalahgunaan wewenang. 

“Pembelaan dan perlindungan dengan semangat korsa oleh kejaksaan kepada anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran akan berkonsekuensi hilangnya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap penegakan hukum,” sebutnya. 

Ia juga mengingatkan Komisi Kejaksaan RI yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan seharusnya berada bersama-sama dengan korban sejak hari pertama kasus ini muncul dan melibatkan sejumlah aparatur dan pimpinan Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.

“Sudah sepantasnya Komisi Kejaksaan sebagai pengawas eksternal kejaksaan proaktif dengan terus memperingatkan kejaksaan bahwa dalam perkara ini korban harus berkali-kali menderita karena kejaksaan tidak lagi menjalankan fungsi filosofisnya yaitu mewakili korban dalam perkara tindak pidana,” tegasnya. 

“Karenanya, kami mendesak Kejaksaan RI untuk mengusut tuntas kasus ini secara adil, tanpa membeda-bedakan para pelaku serta memberikan hukuman yang setimpal dan bukan hanya menghukum pelanggaran administrasi berupa pencopotan jabatan dan/atau penghentian fungsi jaksa pada Kejaksaan RI. Sedangkan Komisi Kejaksaan agar melakukan pengawasan secara menyeluruh penanganan terhadap kasus ini,” tandasnya.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES