TIMESINDONESIA, MALANG – Setelah badai virus, datanglah badai imun
Pandemi COVID-19 memang telah berlalu, tapi ternyata belum benar-benar usai. Dunia kini menghadapi gelombang baru yang lebih halus, lebih senyap, namun sama berbahayanya — pandemi autoimun. Orang-orang yang dulu sembuh dari COVID-19 mulai menghadapi gejala-gejala aneh: nyeri sendi, kulit gatal tak kunjung sembuh, mudah lelah, peradangan paru, bahkan gangguan pencernaan kronis. Dokter pun mulai menemukan pola baru: meningkatnya kasus rheumatoid arthritis, Sjögren’s syndrome, IBD (inflammatory bowel disease), dan pneumonitis autoimun.
Advertisement
”Apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena ini”?
Jejak senyap virus yang tak sepenuhnya pergi
Walaupun hasil tes PCR sudah negatif, penelitian menunjukkan bahwa jejak virus SARS-CoV-2 masih bisa bertahan di jaringan tubuh — terutama di usus, otak, dan endotel pembuluh darah. Virus ini tidak seperti flu biasa. Ia memiliki “kunci” berupa reseptor ACE2, yang terdapat hampir di semua organ. Artinya, virus bisa menyusup ke berbagai sel tubuh dan berdiam di sana dalam kadar sangat rendah (low viral load), tidak terdeteksi, tapi cukup untuk mengacaukan sistem imun.
Saat sistem imun salah sasaran
Awalnya, sistem kekebalan tubuh bereaksi dengan baik. Sel T muda (naïve T cell) berubah menjadi Th1 untuk melawan virus. Namun, pada sebagian orang, perlawanan ini tak pernah benar-benar berhenti.
Inflamasi terus menyala — diam-diam, perlahan, tapi kronis.
Yang lebih berbahaya lagi adalah ketika Th1 “berduet” dengan Th17, pasukan imun yang dikenal paling agresif dan sering menjadi biang keladi penyakit autoimun.
Begitu Th17 aktif, ia bisa menyerang jaringan tubuh sendiri: sendi, paru, usus, bahkan kelenjar ludah. Terjadilah apa yang kita kenal sebagai penyakit autoimun.
Usus: panggung utama di balik drama autoimun
Tahukah Anda? Sekitar 70% sistem imun manusia berada di usus.
Dan di sinilah masalah besar bermula. Setelah infeksi COVID-19, banyak orang mengalami gangguan mikrobiota usus (gut dysbiosis) — keseimbangan antara bakteri baik dan jahat menjadi rusak.
Bakteri baik seperti Bifidobacterium dan Faecalibacterium menurun, sementara bakteri proinflamasi seperti Prevotella dan Ruminococcus meningkat. Akibatnya, produksi short-chain fatty acids (SCFA) yang bersifat antiinflamasi ikut berkurang.
Kondisi ini memicu lahirnya banyak sel Th17 dari jaringan limfoid usus. Mereka kemudian bermigrasi ke organ lain — membawa misi keliru: menyerang tubuh sendiri.
Dari sinilah, peradangan usus bisa menjalar menjadi autoimun sistemik.
Long COVID dan lahirnya “pandemi diam”
Banyak pasien long-COVID sebenarnya sedang mengalami bentuk halus dari autoimun: tubuh mereka memproduksi autoantibodi terhadap jaringan sendiri — terhadap DNA, fosfolipid, bahkan interferon yang seharusnya melindungi. Inilah yang menjelaskan kenapa gejala long-COVID bisa bertahan berbulan-bulan: kelelahan ekstrem, nyeri otot, gangguan tidur, kabut otak, atau bahkan depresi. Maka, istilah baru pun muncul di kalangan ilmuwan: “The Post-COVID Autoimmune Pandemic” — pandemi kedua setelah COVID-19, tapi berlangsung dalam diam.
Harapan datang dari usus
Berita baiknya: jalan pemulihan bisa dimulai dari tempat yang sama di mana masalahnya bermula — usus. Menyeimbangkan kembali mikrobiota lewat probiotik multistrain, prebiotik alami, dan pola makan tinggi serat telah terbukti menekan produksi IL-17 (sinyal inflamasi Th17) dan meningkatkan Treg (sinyal “damai” imun).
Kombinasi diet sehat, istirahat cukup, dan manajemen stres membantu tubuh kembali pada mode keseimbangan — bukan perlawanan.
Refleksi: pandemi telah mengubah cara kita melihat kesehatan
Pandemi COVID-19 mengajarkan satu hal penting: kesehatan bukan hanya soal bebas dari virus, tapi juga soal keseimbangan sistemik — antara tubuh, imun, dan mikrobiota kita.
Ketika keseimbangan itu rusak, penyakit kronis akan lahir dari dalam diri sendiri.
Kini saatnya dunia medis beralih dari sekadar menekan gejala menuju memulihkan akar masalah.
Dan akar itu — seperti kata Hippocrates dua ribu tahun lalu — bermula dari usus.
Penutup
Pandemi autoimun bukan sekadar isu medis, melainkan panggilan untuk merevolusi paradigma kesehatan global: dari “mengobati penyakit” menuju “memulihkan keseimbangan biologis”.
Bila tubuh kita ibarat ekosistem, maka kesehatan sejati bukan sekadar bebas dari virus, melainkan hidup harmonis bersama triliunan mikroba yang menjadi bagian dari kita.
*) Ditulis oleh: Ge Recta Geson.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Deasy Mayasari |
| Publisher | : Rochmat Shobirin |