
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Gelombang protes atas tunjangan hunian DPR kembali membongkar rapuhnya kontrak sosial kita. Sejak 25–30 Agustus 2025, demonstrasi di Jakarta dan berbagai daerah berubah menjadi bentrok, termasuk pembakaran gedung parlemen daerah di Makassar yang menewaskan tiga orang dan memicu rangkaian kemarahan terhadap elite politik.
Dalam arus peristiwa ini, rumah beberapa anggota DPR diserbu dan dijarah. Sebuah sinyal bahwa amarah publik telah menyeberang dari ruang simbolik negara ke ranah privat elite.
Advertisement
Fakta-fakta kunci yang terverifikasi menunjukkan bahwa demonstrasi dipicu laporan tunjangan perumahan sekitar Rp50 juta per bulan sejak 2024, serta tragedi wafatnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring, yang mempercepat eskalasi kemarahan kolektif.
Dari kacamata sosiologi, ini adalah kombinasi meledaknya “deprivasi relatif” dan runtuhnya legitimasi prosedural. Tunjangan yang kontras tajam dengan upah minimum dan tekanan ekonomi memperbesar jarak persepsi antara “kita” dan “mereka”.
Merton menyebutnya strain: tujuan sosial (kesejahteraan, keadilan) diakui, namun sarana mencapai tujuan dirasakan tersumbat bagi warga biasa, sementara elite tampak mendapat jalur ekspres.
Ketika simbol ketidakadilan seperti; angka tunjangan terpampang di ruang publik, ia menjadi jangkar emosi kolektif: mudah diingat, mudah dibagikan, dan sulit dibenarkan.
Di titik ini, moral economy a la E. P. Thompson berbenturan dengan kalkulus rasional elite; kebijakan yang mungkin rasional secara birokratis terasa tidak sah secara moral karena melukai rasa keadilan distributif.
Pemantik situasional mempercepat transisi dari protes ke kerusuhan. Video dan kesaksian tentang kematian Affan Kurniawan memberi wajah pada ketidakadilan, mengubah keluhan abstrak menjadi trauma bersama.
Protes kemudian meluas, fasilitas publik diserang, dan korban jiwa jatuh saat gedung parlemen daerah dibakar. Ketika kerumunan memaknai tindakan aparat sebagai bentuk represi, model identitas sosial kerumunan (ESIM: Reicher & Stott) memprediksi eskalasi: definisi diri berubah dari “warga marah” menjadi “komunitas tertindas yang harus melawan”.
Ini menantang teori kerumunan klasik (Le Bon) yang melihat massa sebagai irasional; justru, perilaku kolektif kerap terstruktur oleh dinamika legitimasi dan relasi kuasa situasional.
Di sisi komunikasi, kita menyaksikan terbentuknya “affective publics”: emosi (marah, terhina) menjadi lem perekat jaringan digital. Algoritme mengangkat konten yang memicu afek, mempercepat siklus perhatian, memadatkan keraguan, dan menyederhanakan narasi menjadi dikotomi moral.
Video yang viral bukan hanya informasi, ia adalah ajakan, isyarat normatif, dan validasi sosial untuk bertindak. Begitu spiral emosi terkunci, ruang untuk nuansa dan deliberasi micu runtuh; memperbesar probabilitas taktik “naming and shaming” bergeser menjadi “seeking and taking” di lapangan.
Kenapa sasaran lalu bergeser ke rumah pribadi anggota DPR? Secara sosiologis, ini adalah pergeseran arena: dari institusi ke simbol-simbol kedekatan kekuasaan. Rumah menjadi representasi “privilege yang tak tersentuh” menyerangnya adalah upaya folklorik untuk membatalkan jarak, menegaskan bahwa kekuasaan itu “dapat dijangkau”.
Namun di sini terjadi lompatan norma: moral outrage beralih ke vigilantisme dan penjarahan; yang pada gilirannya merusak klaim moral gerakan dan memberi bahan bakar justifikasi represif dari negara. Kasus rumah Eko Patrio yang diserbu massa menjadi ilustrasi paling telanjang dari pergeseran batas ini.
Dalam kerangka teori gerakan sosial, ada benturan menarik antara Resource Mobilization dan Political Opportunity Structure. Dari sisi mobilisasi, narasi “tunjangan 50 juta” adalah frame sederhana, tajam, dan ekonomis mudah dikapitalisasi jejaring buruh/mahasiswa.
Dari sisi peluang politik, ada jendela: krisis biaya hidup, rasa sinis terhadap antikorupsi yang mandek, serta respons aparat yang dilihat tidak proporsional. Ketika jendela ini terbuka bersamaan, potensi eskalasi meningkat, terutama jika kanal partisipasi formal (dengar pendapat, audit terbuka) lambat merespons.
Kronologi lapangan menunjukkan intensitas bentrok dan penyekatan jalan, serta penggunaan gas air mata; pola ini konsisten dengan dinamika aksi–reaksi yang sering mendorong spiral kekerasan. Apa yang seharusnya diperbaiki?
Pertama, pulihkan legitimasi prosedural. Bentuk komisi remunerasi independen lintas unsur (BPK, KPK, akademisi kebijakan publik, serikat pekerja, asosiasi profesi) untuk mengaudit dan merasionalisasi seluruh paket remunerasi pejabat (bukan hanya DPR) dengan metodologi keterbandingan regional dan keterjangkauan fiskal.
Hasilnya wajib: ringkas, visual, dan dapat diverifikasi publik lewat situs resmi atau media gaji-tunjangan yang real-time. Bekukan implementasi kenaikan atau penyesuaian tunjangan sampai audit selesai, dan berlakukan klausul “sunset” aturan bahwa suatu kebijakan.
Misalnya tunjangan DPR hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu otomatis berakhir kecuali diperbarui atau disahkan kembali lewat evaluasi) agar setiap kebijakan remunerasi otomatis dievaluasi periodik. Sinyal ini merespons rasa keadilan distributif yang terluka, bukan sekadar berdebat di tataran legal-formal.
Kedua, investigasi independen dan transparan atas kematian Affan Kurniawan dengan tenggat dan pembaruan rutin; keterbukaan ini; disertai akuntabilitas aparat, adalah prasyarat etika untuk menurunkan suhu emosi.
Terapkan model policing berbasis “procedural justice” (Tyler): de-eskalasi, komunikasi dua arah, dan unit liaison protes yang terlatih, ketimbang pola pukat gas air mata yang cenderung memicu reaktansi. Publikasikan protokol keterlibatan aparat dan data akuntabilitas (penahanan, luka, aduan) pasca-aksi agar publik punya rujukan fakta, bukan sekadar testimoni viral.
Ketiga, intervensi komunikasi publik yang presisi. Luncurkan prebunking narasi: sebelum rumor meledak, siapkan paket klarifikasi satu halaman yang menjawab tiga hal; angka, alasan, dan alternatif, terhadap isu remunerasi.
Bangun kanal WhatsApp/Telegram resmi ber-verifikasi untuk siaran ringkas, serta “war room” hoaks lintas Kemenkominfo–platform–LSM untuk respon dalam hitungan jam.
Gandeng pemimpin komunitas dan serikat untuk co-signing pesan, karena legitimasi sering datang dari juru bicara yang dipercaya, bukan dari institusi semata.
Keempat, garis merah normatif harus jelas. Negara wajib melindungi rumah dan keluarga siapa pun dari persekusi dan doxxing; pelaku penjarahan diproses dengan prinsip due process.
Namun di saat yang sama, amnesti selektif bagi peserta aksi damai tanpa kekerasan perlu dipertimbangkan untuk merangkul kembali warga ke dalam ruang politik formal. Korban kerusuhan; baik warga, pelaku usaha kecil, maupun pegawai publik, harus mendapatkan skema pemulihan cepat berbasis dana kontinjensi bencana sosial.
Kelima, kembalikan kanal musyawarah yang bermakna. Gelar forum kebijakan periodik antara DPR dan koalisi sipil dengan agenda tunggal, misalnya “Prioritas Penghematan Negara 2025–2026”, lengkap dengan opsi trade-off yang dapat dipilih publik melalui jajak pendapat terstruktur. Ketika warga melihat ruang deliberasi nyata, insentif untuk “memindahkan perdebatan ke jalan” berkurang.
Krisis ini bukan hanya soal angka tunjangan; ia cermin kepercayaan yang retak. Memulihkannya menuntut lebih dari sekadar konferensi pers, perlu arsitektur kebijakan yang adil, proses yang transparan, dan komunikasi yang memanusiakan kemarahan warganya.
***
*) Oleh : Dr. Fajar Dwi Putra, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |