
TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Gelombang demonstrasi yang terjadi di Indonesia sepanjang Agustus 2025 mencerminkan akumulasi ketersinggungan rakyat terhadap kebijakan politik dan ekonomi pemerintah yang dinilai tidak responsif, tidak empati terhadap kondisi masyarakat.
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bersamaan dengan keputusan menaikkan gaji anggota DPR RI secara signifikan menjadi pemicu utama ledakan protes, yang dianggap mencerminkan jurang ketidakadilan antara elite politik dan rakyat.
Advertisement
Dari Pati hingga Medan, dan mencapai puncaknya di Jakarta pada 28 Agustus, demonstrasi berubah menjadi rentetan kerusuhan yang menelan korban jiwa, membakar fasilitas publik, serta menyingkap krisis kepercayaan rakyat terhadap lembaga negara.
Fenomena demonstrasi yang marak terjadi tidak bisa semata-mata dipahami sebagai ekspresi spontan masyarakat atau dituding sebagai gerakan yang ditunggangi pihak tertentu. Lebih jauh, hal ini justru mengajukan pertanyaan mendasar: di mana peran partai politik?
Gelombang protes jalanan yang mempertanyakan legitimasi arah kebijakan publik menunjukkan adanya disorientasi partai politik. Mereka gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai penyalur aspirasi rakyat sekaligus refleksi kritis bagi demokrasi.
Padahal, secara normatif Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (yang diperbarui dengan UU No. 2 Tahun 2011) telah menegaskan peran strategis partai politik, mulai dari pendidikan politik, menciptakan iklim demokrasi, artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, rekrutmen politik, hingga wadah partisipasi dalam pemilu.
Dengan kerangka hukum tersebut, seharusnya orientasi partai tidak hanya berfokus pada perebutan kursi kekuasaan, melainkan membangun demokrasi yang berkelanjutan melalui representasi, pendidikan politik, dan pelayanan publik.
Partai politik merupakan fenomena kekuasaan yang relatif baru dalam sejarah, berkembang pesat dalam seratus tahun terakhir. Kehadirannya dipicu oleh runtuhnya monarki, berkembangnya ide-ide politik modern, dan pergeseran legitimasi dari agama menuju rakyat.
Di Eropa Barat, partai politik lahir ketika kelas borjuis mulai menguasai parlemen dan menggantikan dominasi kerajaan, seiring perubahan sistem produksi ekonomi (Tanilli, 2007).
Hak pilih universal membuat massa pemilih sadar akan kekuatan politiknya, sehingga kekuasaan yang sebelumnya terkonsentrasi pada segelintir elit beralih menjadi arena partai politik (Weber; Tezic, 2004).
Pada dasarnya partai politik lahir dari kebutuhan untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat dan menyalurkan aspirasi mereka dalam wadah yang terorganisir. Sekaligus instrumen demokrasi untuk menghubungkan suara masyarakat dengan kekuasaan negara.
Namun yang kita saksikan hari ini, fungsi itu terdistorsi. Partai politik seolah hanya menjadi mesin kekuasaan untuk mendistribusikan jabatan, sumber daya, dan keuntungan bagi kader serta elitnya, bukan lagi sarana memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dalam perspektif sejarah, Daalder (2002) mengingatkan bahwa partai politik pada awal kemunculannya lahir dari kebutuhan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan memperkuat representasi politik.
Sementara itu, Montero & Gunther (2002: 2) menekankan bahwa partai tidak hanya sekadar organisasi elektoral, melainkan instrumen fundamental demokrasi modern yang berfungsi sebagai penghubung antara negara dan masyarakat.
Kritik Max Weber maupun Duverger menekankan bahwa partai politik tumbuh sebagai konsekuensi logis demokrasi modern, tetapi di Indonesia, partai politik lebih sering dipersepsi sebagai alat transaksi politik.
Konflik kelas dan kepentingan ekonomi, yang dulu melahirkan partai politik modern di Eropa, kini juga terasa di Indonesia tetapi dalam wujud yang lebih buruk, relasi kuasa dan uang antara oligarki politik, pengusaha besar, dan elit partai yang menentukan arah kebijakan.
Kasus kebijakan pajak dan kenaikan gaji DPRD yang memicu kerusuhan ini menunjukkan bahwa partai politik gagal menjalankan mandat representasi. Mereka lebih menampilkan perilaku “kelas penguasa baru” yang berjarak dari rakyat.
Apa yang Tanilli sebut sebagai “konflik kelas” kini tampak nyata: rakyat sebagai kelas bawah menghadapi elit politik yang justru memanfaatkan legitimasi demokrasi untuk melanggengkan privilese mereka.
Dalam konteks ini, pertanyaan yang sangat relevan adalah, apakah partai politik Indonesia benar-benar masih berfungsi sebagai instrumen demokrasi? ataukah mereka telah berubah menjadi sekadar kendaraan politik bagi segelintir elit yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik?
Sejarah partai politik mengajarkan bahwa kekuatan rakyatlah yang melahirkan partai sebagai bentuk representasi. Namun kenyataan politik hari ini justru menunjukkan bahwa rakyat sering hanya dijadikan legitimasi elektoral setiap lima tahun sekali, lalu dilupakan begitu saja ketika elit politik telah menguasai parlemen dan pemerintahan.
Selaras dengan pandangan Ostrogorski yang menilai partai cenderung terjebak dalam praktik oligarkis, lebih sibuk mempertahankan struktur internal ketimbang menyuarakan aspirasi basis.
Kritik lebih tajam disampaikan oleh Michels melalui “iron law of oligarchy”, bahwa setiap organisasi politik, betapapun demokratis pada awalnya, akan cenderung didominasi segelintir elite. Fenomena ini dapat menjelaskan mengapa demo menjadi ruang alternatif bagi rakyat untuk menyuarakan kehendak yang tidak lagi tersalurkan melalui mekanisme formal partai.
Refleksi kritis ini membawa kita pada tantangan bahwa partai politik seharusnya tidak semata menjadi kendaraan elektoral, melainkan penjaga utama nilai-nilai demokrasi. Demonstrasi yang berulang justru dapat menjadi alarm demokrasi bahwa partai belum optimal menjalankan misi historis dan normatifnya sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Bagaimana partai kembali ke khittahnya: memperjuangkan kepentingan rakyat, menjaga integrasi bangsa, serta mengartikulasikan aspirasi masyarakat ke dalam kebijakan yang adil dan berkelanjutan.
Demonstrasi dan disorientasi partai politik pada akhirnya mencerminkan paradoks demokrasi Indonesia, regulasi menggariskan partai sebagai penguat sistem politik, sementara realitas menunjukkan keterjebakan pada pragmatisme.
Sejarah pendirian partai di Indonesia selalu berangkat dari cita-cita besar rakyat, meski dalam khidmatnya justru memperlihatkan kecenderungan menjauh dari akar kerakyatan.
***
*) Oleh : Dr. Emi Hidayati, S.Pd, M.Si., Ketua Yayasan Pendidikam Muslimat NU Banyuwangi, dan Dosen Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |