Forum Dosen

Ketika DPR Malu Menyebut Asal Sekolah

Jumat, 26 September 2025 - 16:01 | 7.96k
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMESINDONESIA, PADANG – Di tengah perdebatan publik soal representasi dan kapasitas wakil rakyat, data mengejutkan muncul dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari 580 kursi DPR periode 2024–2029, 63 anggota hanya berpendidikan SMA, sementara 211 orang sama sekali tidak mencantumkan latar pendidikan terakhirnya. Angka itu berarti lebih dari sepertiga wakil rakyat enggan membuka jejak akademiknya kepada publik.

Sisanya, mayoritas memang berasal dari perguruan tinggi. Ada 155 orang lulusan S1, 119 orang lulusan S2, dan 29 orang bergelar doktor. Namun, fokus publik bukan pada mereka yang terang-terangan menyebutkan ijazah, melainkan pada ratusan nama yang memilih bungkam. Mengapa?

Advertisement

Publik pantas bertanya: mengapa pendidikan yang seharusnya jadi modal utama membangun kredibilitas justru dirahasiakan? Apakah itu sekadar kelemahan administratif, strategi politik, atau ada alasan yang lebih problematis?

Kemungkinan terakhir ini kerap jadi bahan bisik-bisik. Sebagian pengamat menduga, sebagian dari mereka yang tidak mencantumkan pendidikan bisa saja memiliki riwayat akademik bermasalah. 

Di era digital, ijazah aspal atau gelar palsu bukan lagi gosip. Netizen dengan cepat bisa mengusut jejak pendidikan para wakil rakyat, melacak universitasnya, memeriksa akreditasi, hingga mencari dokumen daring. Begitu terbongkar, kasus itu akan menjadi berita viral yang mempermalukan pemiliknya, sekaligus mencoreng wajah parlemen.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Dalam dua dekade terakhir, publik sudah beberapa kali disuguhi drama politisi yang tersandung ijazah palsu. Ada yang sekadar tamat SMA tapi mengaku sarjana, ada pula yang membeli gelar magister dari kampus abal-abal. Di zaman media sosial, kasus semacam itu lebih cepat meledak ketimbang klarifikasi resminya.

Secara hukum, syarat minimal menjadi caleg DPR hanyalah lulusan SMA atau sederajat. Dengan demikian, 63 anggota yang terang-terangan hanya SMA sudah memenuhi syarat. 

Namun, publik tentu berharap lebih. Seorang legislator bukan hanya simbol representasi, tetapi juga aktor yang harus menguasai bahasa regulasi, data ekonomi, hingga politik global.

Di sinilah paradoks demokrasi kita: legitimasi diperoleh dari suara rakyat, tetapi kapasitas intelektual sering diragukan. Di ruang rapat komisi, anggota dengan gelar magister atau doktor cenderung mendominasi pembahasan teknis. Yang lain terancam hanya menjadi pengikut, sekadar mengangkat tangan saat ketok palu.

Namun, pendidikan tinggi pun bukan jaminan. Ada politisi dengan gelar akademik mentereng tapi tersangkut kasus korupsi atau tak hadir di sidang. Sebaliknya, ada pula lulusan SMA yang rajin turun ke dapil, membangun komunikasi, dan lebih memahami kebutuhan masyarakat.

Gelombang Kritik dan Netizen yang Cerewet

Fenomena 211 nama tanpa data pendidikan menyalakan kritik dari berbagai arah. Akademisi menilai DPR sedang menghadapi krisis transparansi. Organisasi masyarakat sipil menuntut KPU lebih ketat dalam verifikasi dokumen. Sementara itu, netizen yang cerewet menjadikan ini bahan olok-olok sekaligus investigasi kolektif.

Di platform media sosial, percakapan soal ijazah anggota DPR menjadi topik hangat. Ada akun yang khusus membongkar rekam jejak akademik politisi, lengkap dengan foto wisuda dan daftar alumni. Publik seolah ingin membuktikan bahwa gelar akademik tak bisa disembunyikan di era keterbukaan informasi.

Meski data ini buram, sisi terang tetap ada. Mayoritas anggota DPR masih lulusan perguruan tinggi. Dari 155 sarjana, 119 magister, dan 29 doktor, banyak di antaranya yang memiliki kapasitas akademik mumpuni untuk merumuskan kebijakan. Mereka bisa menjadi motor intelektual parlemen.

Sementara itu, anggota dengan latar pendidikan sederhana berpotensi menjadi jembatan dengan rakyat kecil. Mereka tahu persis tantangan anak putus sekolah, biaya kuliah yang mahal, atau akses pendidikan di desa terpencil. Jika mereka mau belajar cepat dan menggandeng tenaga ahli, kehadiran mereka bisa memperkaya perspektif parlemen.

Namun, semua potensi itu akan terkikis bila transparansi tetap diabaikan. Warga berhak mengetahui siapa yang mewakili mereka, dari mana asal akademiknya, dan bagaimana kapasitasnya. KPU, Bawaslu, hingga partai politik seharusnya menjadikan keterbukaan data pendidikan sebagai syarat mutlak, bukan pilihan.

Masih terbuka pula bagi lembaga yang berkompeten untuk memerintahkan, atau setidak-tidaknya menghimbau, agar para wakil rakyat yang terhormat ini melengkapi informasi tentang pendidikannya. 

Langkah sederhana itu bisa mengembalikan kepercayaan publik, sekaligus menutup ruang spekulasi tentang ijazah palsu yang bisa mencoreng citra parlemen.

Data BPS dan KPU memberi potret wajah parlemen kita: tajam sekaligus buram. Tajam karena menunjukkan ada banyak legislator dengan pendidikan tinggi. Buram karena ratusan nama memilih menyembunyikan latar akademiknya.

Transparansi bukan soal gengsi, tapi soal tanggung jawab. Jika benar ada ijazah aspal, cepat atau lambat publik akan membongkarnya. Dan ketika itu terjadi, yang dipermalukan bukan hanya pemilik gelar palsu, tetapi juga institusi DPR secara keseluruhan.

Demokrasi memberi hak kepada siapa pun untuk dipilih, tetapi demokrasi juga memberi hak kepada rakyat untuk tahu siapa yang mereka pilih. Tanpa keterbukaan itu, kita hanya akan terus menatap gedung parlemen sebagai rumah kaca yang penuh kabut.

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES