
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Ketika wartawan kehilangan kartu persnya di Istana, publik justru membacanya seperti sedang mengikuti AU di X. Potongan scrrenshot WhatsApp lebih kuat mengguncang opini ketimbang rilis resmi, memperlihatkan bagaimana realitas politik kini dikonsumsi dengan logika fiksi.
Fenomena pencabutan kartu pers wartawan CNN, Diana Valenncia di media sosial menunjukkan pola yang mirip dengan kultur Alternate Universe (AU) di X. Alih-alih pernyataan resmi atau konferensi pers, narasi awal justru lahir dari tangkapan layar pesan WhatsApp yang beredar luas.
Advertisement
Publik membacanya tidak hanya sebagai informasi teknis, tetapi sebagai kisah dramatis tentang seorang jurnalis yang ‘dikeluarkan’ dari lingkaran Istana. AU lahir dari kontrol penuh kreatornya, alur-dramatisasi-klimaks yang dirancang untuk menghibur.
Kasus Diana berbeda, narasinya muncul tanpa rencana, hanya dari potongan pesan pribadi yang bocor ke ruang publik. Publik tetap membacanya seperti cerita fiksi, padahal ia adalah fragmen realitas yang belum tentu utuh. Perbedaan ini penting karena menunjukkan bagaimana logika fiksi bisa menyusup ke cara kita membaca fakta.
Pola konsumsi kasus ini dekat dengan cara kerja AU di X. Dalam AU, cerita fiksi sering dibentuk lewat tangkapan layar percakapan WhatssApp atau Line. Pembaca terbiasa membaca potongan teks privat seolah sedang mengintip kehidupan orang lain. Daya tarik utamanya terletak pada kedekatan emosional, bukan pada validitas data.
Hal serupa terjadi pada kasus Diana, tangkapan layar pamitnya dibaca dengan intensitas emosional, sehingga cepat menyebar dan menimbulkan simpati. Bentuk tangkapan layar itu melahirkan resonansi emosional pembaca, pembaca merasa sedang ‘ikut nimbrung’ percakapan yang sebenarnya bersifat personal.
Fenomena ini mirip pembaca AU yang merasa menjadi saksi cerita secara intim. Tangkapan layar menjadi ‘artefak’ yang menggerakkan narasi, bukan artikel panjang. Ini gaya konsumsi cepat khas timeline X.
Pola penyebaran kasus wartawan ini membuat publik memperlakukan real event dengan pola ‘konsumsi cerita fiksi’. Karena bentuk berita yang beredar mirip AU atau chat-fic, dampaknya bukan hiburan tapi legitimasi wacana publik. Hal ini menjadi lebih dramatis karena konteks sosial-politik yang melekat, bukan karena niat estetik seperti di AU.
Bisa disebut, publik membaca kasus ini dengan kultur X, jadi efeknya lebih mengguncang. Kedekatan emosional memang membuat tangkapan layar itu cepat menyebar, ettapi ada resiko yang muncul kesalahan tafsir atau justru dibaca di luar konteks.
Publik terjebak pada drama pamitan tanpa mendalami detil faktual atau klasifikasi resmi. Di sinilah kekuatan sekaligus kerentanan, mampu memunculkan resonansi emosional tinggi untuk pembaca tapi mudah mengaburkan batas antara empati dan verifikasi.
AU memang sengaja dibuat dramatis, sementara kasus ini menjadi dramatis karena konteks sosial-politiknya. Namun, publik merespon keduanya dengan cara yang sama, yaitu mengikuti alur cerita, mencari makna di balik potongan teks, dan merasakan ‘plot twist’ ketika seorang wartawan tiba-tiba kehilangan akses.
Akibatnya, berita politik serius ikut ter-AU-kan. Publik lebih mudah terhubung lewat format tangkapan layar yang singkat dan personal ketimbang rilisan resmi yang panjang dan kaku. Otoritas narasi pun bergeser, dari media mainstream sebagai institusi ke individu yang membagikan potongan pesan probadi.
Menariknya, media arus utama juga ikut mengutip tangkapan layar tersebut sebagai sumber data. Alih-alih menegaskan jarak, media justru memproduksi gaya konsumsi ala AU yang berbasis potongan teks visual.
Artinya, bukan hanya publik yang membaca dengan logika fiksi, tetapi istitusli media pun ikut terseret ke dalam pola yang sama. Media tak lagi sepenuhnya menjadi penjaga fakta, tapi ikut bermain dalam estetika narasi timeline.
Kasus Diana memperlihatkan bahwa kultur AU di Twitter kini membentuk cara publik memahami realitas politik: cepat, emosional, berbasis potongan teks visual. Fenomena ini mengaburkan batas antara fiksi dan fakta, tapi sekaligus memperkuat resonansi isu kebebasan pers. Simpati publik memperkuat kesadaran soal kebebasan pers, tetapi juga beresiko menjadikan isu politik sekadar drama viral.
***
*) Oleh : Jiphie Gilia Indriyani, Dosen Prodi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |