
TIMESINDONESIA, BOJONEGORO – Sekolah rakyat lahir dari semangat sederhana: membuka pintu pendidikan bagi anak-anak yang tak mampu mengakses sekolah formal. Mereka hadir di gang-gang sempit kota, di desa pelosok, hingga di ruang-ruang kecil yang disulap menjadi kelas belajar.
Ada yang digerakkan relawan, ada yang diinisiasi komunitas, ada pula yang lahir dari keresahan mahasiswa. Tujuannya satu: jangan sampai ada anak bangsa yang tidak bisa belajar hanya karena tak punya biaya atau akses.
Advertisement
Namun kini, sekolah rakyat berada di persimpangan yang membingungkan. Di satu sisi, mereka mendapat simpati publik karena mengisi celah yang tak bisa ditangani negara. Tetapi di sisi lain, keberlangsungan mereka sering digelayuti ketidakpastian. Fasilitas terbatas, kualitas peserta didik yang tidak merata, hingga distribusi lulusan yang tidak jelas arah, menjadi persoalan besar yang terus membayangi.
Fasilitas adalah masalah paling nyata. Banyak sekolah rakyat hanya punya papan tulis seadanya, bangku sumbangan, bahkan atap bocor yang harus ditambal dengan terpal. Di tengah gembar-gembor pembangunan sekolah negeri megah dengan anggaran miliaran, sekolah rakyat sering berjuang dengan donasi sukarela.
Anak-anak belajar dengan semangat, tapi sarana yang minim membuat proses belajar tak maksimal. Pertanyaannya, sampai kapan pendidikan untuk kaum marginal hanya mengandalkan belas kasihan publik, bukan tanggung jawab negara?
Kualitas peserta didik pun menjadi tantangan tersendiri. Sebagian anak yang belajar di sekolah rakyat datang dengan latar belakang keluarga miskin, bekerja sambil sekolah, atau sudah sempat putus sekolah.
Kondisi ini membuat mereka sering tertinggal dalam hal kemampuan dasar seperti membaca dan berhitung. Relawan pengajar berusaha keras mengejar ketertinggalan itu, tetapi tanpa kurikulum yang jelas dan dukungan sistematis, hasilnya kerap tak merata.
Lebih jauh, distribusi lulusan sekolah rakyat juga menjadi persoalan serius. Banyak yang akhirnya kembali bekerja serabutan atau bahkan tidak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan ekonomi. Dengan kata lain, sekolah rakyat memang memberi harapan, tetapi jalan setelah itu tetap penuh kabut.
Inilah paradoks yang membuat kita bertanya: apakah sekolah rakyat benar-benar solusi jangka panjang, atau sekadar tambalan atas kegagalan negara memenuhi hak pendidikan warganya?
Di sinilah letak dilema besar pendidikan Indonesia. Konstitusi jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak. Namun kenyataannya, ada ribuan anak yang hanya bisa belajar di sekolah rakyat.
Sementara sekolah formal masih mahal, birokratis, dan kadang diskriminatif. Kita seperti hidup dalam dua dunia: satu dunia dengan sekolah unggulan berfasilitas lengkap, dan dunia lain dengan sekolah rakyat yang berjuang bertahan hidup.
Tentu, tidak adil jika hanya menyalahkan sekolah rakyat. Mereka sudah berbuat lebih dari yang seharusnya, mengambil peran yang seharusnya dipegang negara. Tetapi jika kita ingin bicara solusi, maka ada beberapa hal yang harus segera dilakukan.
Pertama, pemerintah tidak boleh menutup mata. Sekolah rakyat perlu diakui sebagai bagian dari ekosistem pendidikan nasional. Dukungan anggaran, fasilitas, hingga pelatihan guru harus diberikan, bukan hanya kepada sekolah negeri atau swasta elite.
Kedua, sekolah rakyat butuh kurikulum adaptif. Bukan berarti harus sama persis dengan sekolah formal, tetapi setidaknya ada standar minimum agar peserta didik tidak tertinggal jauh. Kurikulum ini bisa dirancang fleksibel, sesuai kebutuhan lokal, tetapi tetap mengacu pada kompetensi dasar nasional. Dengan begitu, anak-anak lulusan sekolah rakyat punya pijakan yang jelas untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Ketiga, perlu ada jembatan distribusi lulusan. Artinya, setelah anak-anak lulus, mereka tidak boleh dibiarkan melangkah sendirian di jalan terjal. Ada mekanisme beasiswa, pelatihan keterampilan, atau akses ke sekolah formal agar mereka bisa melanjutkan perjalanan. Tanpa itu semua, sekolah rakyat hanya menjadi ruang transit sementara, bukan jalan menuju masa depan.
Namun di luar itu, ada hal yang lebih penting: mengubah cara pandang kita. Selama ini, pendidikan sering dianggap sebagai investasi personal urusan orang tua masing-masing. Padahal, pendidikan adalah urusan publik. Negara tidak boleh sekadar memberi ruang bagi sekolah rakyat, lalu berlepas tangan. Negara harus hadir, memastikan setiap anak, dari Sabang sampai Merauke, dari keluarga kaya hingga miskin, punya kesempatan yang sama untuk belajar dan bermimpi.
Sekolah rakyat memang lahir dari rasa gotong royong dan solidaritas sosial. Tetapi kita tidak boleh membiarkan solidaritas ini menjadi dalih bagi negara untuk absen. Justru, sekolah rakyat harus dijadikan alarm: ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan kita. Jika hak pendidikan benar-benar dijalankan sesuai konstitusi, maka sekolah rakyat seharusnya tidak perlu lagi ada.
Kita tentu berhutang pada para relawan dan komunitas yang menjaga nyala api sekolah rakyat. Tetapi hutang yang lebih besar adalah tanggung jawab negara untuk menutup kesenjangan pendidikan. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal siapa yang mampu bayar, tetapi soal hak asasi yang tak boleh ditawar.
Sekolah rakyat kini berdiri di persimpangan. Mereka bisa terus berjalan dengan segala keterbatasan, atau perlahan ditinggalkan jika negara akhirnya hadir dengan sungguh-sungguh.
Pilihan ada di tangan kita semua. Apakah kita membiarkan anak-anak bangsa tumbuh dalam ketidakpastian, atau kita bersama-sama memastikan mereka mendapat pendidikan yang layak, bermutu, dan menjanjikan masa depan.
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |