Forum Mahasiswa

Memilih Profesi Guru, Hidup Miskin?

Selasa, 09 September 2025 - 19:15 | 4.12k
Isa Ismail, Mahasiswa Magister UIN IB, Formateur Pemuda PERTI Cabang Bungus Teluk Kabung.
Isa Ismail, Mahasiswa Magister UIN IB, Formateur Pemuda PERTI Cabang Bungus Teluk Kabung.

TIMESINDONESIA, PADANG – “Pendidikan ialah jantung negara, layaknya jantung pada tubuh manusia, tanpa jantung yang bekerja tubuh hanyalah seonggok daging yang tak berguna yang berangsur-angsur membusuk. Begitu juga pendidikan dalam suatu negara, jika pendidikan itu tidak berjalan, maka negara ialah sebuah nama yang akan berangsur-angsur punah”.

Belakangan ini, potret-potret yang disuguhkan oleh media sosial begitu ironis dan membingungkan. Mengapa tidak? Potret yang disuguhkan ialah permasalahan bangsa yang begitu kompleks, mulai dari ugal-ugalan dewan perwakilan dalam berargumen, pihak pengamanan melakukan tugasnya dengan brutal serta aksi unjuk rasa masyarakat yang sudah tidak lagi dalam koridor yang semestinya. Gila-gilaan dan sudah antah- berantah.

Advertisement

Lantas, siapa yang salah? Kita terus menunjuk pihak berkuasa, menuding aparat, bahkan menyalahkan masyarakat yang teriak-teriak di jalan-jalan. Padahal, akar dari kekacauan ini bukan hanya sekadar kebijakan politik yang timpang atau aparat yang salah bertindak. 

Namun, ada persoalan yang jauh lebih dalam, yang justru bersemayam di ruang-ruang kelas, di bangku-bangku sekolah, dan di hadapan para guru yang setiap hari berjuang. Ya, pendidikanlah yang mestinya menjadi fondasi kokoh bangsa, namun kini kerap terabaikan.

Sebetulnya, saya sendiri sudah muak membahas sengkarut permasalahan pendidikan ini, seperti tidak ada habis dan tidak ada ujungnya selain berharap kepada Tuhan saja. Belakangan ini, kian masif ucapan duka dan ikut-ikutan merasa sakit atas penindasan terhadap para guru. Kini, guru tidak hanya tidak dihormati oleh murid, orang tua murid, melainkan juga dikhianati dan dilacurkan oleh negara yang dibesarkannya. 

Memilih Hidup Miskin 

Sejak lama, Profesi guru kerap dipandang sebagai profesi yang penuh pengabdian dan keikhlasan. Selalu saja disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, sebuah penghargaan simbolik yang tampak indah dalam kata-kata. 

Namun, dibalik kemuliaan yang melekat pada predikat itu, terdapat realitas getir yang kerap menjerat kehidupan para guru: rendahnya kesejahteraan, terbatasnya penghargaan, dan pandangan miring bahwa guru hanya membebani negara. Pertanyaannya, apakah menjadi guru berarti memilih hidup miskin?

Jika lebih dalam lagi, “Guru Kaya” merupakan dua kata lucu, juga tak terbantahkan, memilih menjadi guru berarti memilih hidup miskin. Dalam banyak budaya, guru menempati posisi istimewa. Mereka dianggap sebagai penggerak peradaban, penjaga ilmu, dan pendidik yang menanamkan nilai pada generasi penerus. 

Bahkan, jika setiap manusia harus mencerminkan sifat kenabian pada dirinya seperempat sifat, maka orang-orang yang memilih menjadi guru harus mencerminkan setengahnya, mengingat perannya dalam kehidupan bermasyarakat. Tentu, itu bukan tuntutan yang mudah. 

Tak heran jika hampir semua pidato pejabat atau narasi pembangunan selalu menyinggung pentingnya peran guru. Akan tetapi, sering kali penghargaan itu hanya berhenti pada tataran retorika. Guru dimuliakan dalam kata, tetapi diabaikan dalam kebijakan nyata.

Ada ungkapan bahwa guru harus hidup sederhana, agar dapat menjadi teladan bagi muridnya. Sederhana disini diartikan sebagai hidup tanpa berlebihan, penuh ketulusan, dan berorientasi pada pengabdian. 

Namun, ketika kesederhanaan itu dipaksa menjadi keterbatasan yang memiskinkan, maka profesi guru terjebak dalam stigma baru: pekerjaan mulia yang tidak menjanjikan masa depan. Sejatinya, sebelum orang-orang memilih untuk menjadi guru, mereka tau bahwa mereka memilih untuk tidak kaya. 

Namun, bukan berarti mereka memilih untuk hidup melarat, mereka pantas untuk kaya secara spiritual juga secara ekonomi, sekali lagi, kaya secara ekonomi. Dalam artian, terpenuhi kebutuhan dasarnya. Akhirnya, banyak guru mengaku merasa menyesal, bukan karena profesinya, tetapi karena perlakuan negara dan masyarakat yang tidak menempatkan mereka secara proporsional.

Dibeberapa waktu, ada yang membantah pernyataan saya tersebut, mereka bilang bahwa “biarkan saja, yang melarat hanya guru-guru honorer, yang guru-guru ASN kan tidak” disatu sisi memang bisa disepakati. Namun, terlalu naif dan zholim rasanya membiarkan guru-guru berstatus honorer tersebut melarat dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. 

Sedangkan, tuntutan mengajar dan sulitnya administrasi hampir sama saja. Bahkan, bisa saja lebih tinggi tuntutan pekerjaannya. Tidak hanya itu, tidak sedikit juga guru honorer yang rela disuruh-suruh oleh guru berstatus ASN karena berharap imbalan, ironis bukan? 

Selanjutnya, anak-anak guru honorer tumbuh dalam keterbatasan ekonomi, sehingga pendidikan yang seharusnya menjadi tangga mobilitas sosial justru menjadi lingkaran nasib yang berulang. 

Fenomena ini menggambarkan betapa bobroknya kebijakan terhadap profesi guru, kenapa masih ada mereka bergaji 300an ribu? Bahkan tanpa mengurasi rasa hormat, jika mereka alih pekerjaan saja menjadi pengemis di jalan-jalan, barangkali mereka bisa hidup dengan layak. 

Bisa menghasilkan 20x lipat dari gajinya. Kemudian, jika lebih dalam lagi, mengapa UMP, UMR atau apapun istilahnya tidak diberlakukan juga pada mereka yang berprofesi guru? Ahhh, sialaan memang.

Mendesak Regulasi bagi Guru

Secara hukum, pekerja formal dilindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pemberian upah minimum. Namun, guru khususnya honorer diatur oleh Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) serta kebijakan internal pendidikan. 

Celah regulasi inilah yang membuat guru terjebak dalam limbo: mereka bekerja penuh waktu, tapi tidak dianggap buruh; mereka profesional, tapi tidak diberi standar gaji minimum. Ketidakjelasan ini disengaja atau tidak, telah melanggengkan praktik perbudakan modern dalam dunia pendidikan. Guru bekerja keras, tapi penghasilan mereka jauh di bawah standar kemanusiaan.

Pada akhirnya, melalui tulisan ini saya menuntut dan menantang pemerintahan pusat secara keseluruhan (legislatif dan eksekutif). Jika memang benar ingin memperbaiki kualitas pendidikan dan betul-betul peduli terhadap pendidikan. Bagaimana jikalau kita mulai dengan merumuskan undang-undang tertentu dan terkait yang akan mengatur upah minimum para guru? 

Barangkali kita bisa merevisi aturan agar guru honorer masuk kategori pekerja yang dilindungi Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga otomatis berhak atas UMP, UMR atau apapun itu. Sehingga, bermuaralah tantangan ini atas kesejahteraan guru, dan sebagai bentuk kepedulian kita terhadap pendidikan, agar tidak terkesan omong kosong yang diteriak-teriakan digedung pemerintahan sana.

Menjadi guru memang identik dengan pengabdian. Tetapi pengabdian tidak boleh selalu disandingkan dengan penderitaan. Jika profesi guru dibiarkan identik dengan kemiskinan, maka lambat laun minat generasi muda untuk menjadi guru akan berkurang. Hal ini berbahaya, sebab bangsa tanpa guru yang berkualitas akan kehilangan arah dalam membangun peradaban.

Menjadi guru seharusnya bisa menjadi pilihan hidup sederhana yang terhormat, bukan kemiskinan yang diwariskan. Untuk itu, negara harus hadir lebih konkret, bukan hanya dalam bentuk slogan, tetapi dalam kebijakan yang benar-benar menyejahterakan. 

Guru tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri di jalan sunyi pengabdian. Mereka harus didampingi oleh komitmen politik dan dukungan masyarakat yang nyata.

***

*) Oleh : Isa Ismail, Mahasiswa Magister UIN IB, Formateur Pemuda PERTI Cabang Bungus Teluk Kabung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES