Forum Mahasiswa

Ritual Baru Demokrasi Tanpa Substansi

Minggu, 28 September 2025 - 16:31 | 4.69k
Suryadik, Mahasiswa Bimbingan Konseling, Universitas PGRI Sumenep.
Suryadik, Mahasiswa Bimbingan Konseling, Universitas PGRI Sumenep.

TIMESINDONESIA, SUMENEP – Indonesia hari ini adalah bangsa yang luar biasa cakap dalam membantah. Di media sosial, ruang publik, hingga di ruang-ruang kecil perdebatan kampung, energi bangsa ini tersalurkan begitu deras dalam bentuk kontra, sanggahan, dan “sub-konter”. 

Namun, di tengah gegap gempita membantah, kita justru miskin dalam membangun gagasan tandingan yang bermakna. Membantah menjadi olahraga nasional, namun membangun gagasan menjadi aktivitas langka.

Advertisement

Fenomena ini semakin menonjol di era digital, di mana fitur-fitur “balasan” seperti sub-konter di TikTok, Twitter (X), dan media sosial lainnya, menjadi alat ekspresi yang instan dan sering kali dangkal. Membantah kini tidak memerlukan riset, analisis, apalagi kerangka berpikir yang utuh. Cukup dengan potongan video, komentar sarkas, atau bahkan meme, seseorang bisa menjadi “pahlawan kontra” di jagat maya.

Namun, di balik kemeriahan ini, kita dihadapkan pada ironi besar: bangsa ini jago membantah, tetapi gagap ketika diminta merancang ide alternatif. Kegagapan ini bukan hanya terjadi di ruang digital, tetapi merembes hingga ke ruang kebijakan publik, pendidikan, bahkan diskursus ilmiah.

Akar Budaya Membantah 

Mengapa bangsa ini begitu lihai dalam membantah, namun miskin dalam membangun? Salah satu akar masalahnya adalah pola pendidikan yang lebih menekankan pada “siapa yang salah”, bukan “apa solusi yang lebih baik”. Sejak di bangku sekolah, kita dididik untuk mencari jawaban benar atau salah, bukan untuk membangun argumentasi kritis.

Kita terbiasa dengan sistem ujian pilihan ganda, di mana kebenaran hanya ada satu, dan siapa yang memilih jawaban lain dianggap keliru. Tidak ada ruang untuk perdebatan, apalagi dialog kritis yang membangun sintesis. Kebiasaan ini menjadikan kita sebagai generasi yang cepat dalam menunjukkan kesalahan orang lain, namun lemah dalam menawarkan solusi yang konstruktif.

Di ruang publik, budaya ini berlanjut dengan lebih parah. Perdebatan di media massa, forum-forum diskusi, bahkan dalam sidang-sidang parlemen, seringkali lebih menyerupai adu serangan personal ketimbang ajang penyusunan gagasan. Kritik menjadi ajang “siapa yang lebih tajam menusuk”, bukan “siapa yang mampu merumuskan alternatif lebih baik”.

Era demokrasi digital memberi ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bersuara. Ini seharusnya menjadi momen emas untuk membangun peradaban dialog yang sehat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Media sosial menjadi ruang gema (echo chamber) yang penuh kebisingan, di mana membantah adalah tujuan itu sendiri, bukan jalan menuju dialog.

Lebih ironis lagi, di banyak kasus, sub-konter digunakan sebagai alat buzzer untuk membungkam kritik substantif. Alih-alih membuka ruang diskusi sehat, sub-konter digunakan sebagai senjata untuk mengalihkan isu dan membanjiri ruang diskursus dengan noise. Fenomena ini terjadi di hampir semua isu strategis: dari korupsi, lingkungan, pendidikan, hingga HAM.

Kita menyaksikan bagaimana ruang-ruang diskusi soal RUU Perampasan Aset, krisis lingkungan Raja Ampat, atau kampus yang dibungkam, tenggelam dalam lautan sub-konter yang memutarbalikkan fokus isu. 

Alih-alih membahas substansi, perdebatan publik lebih sibuk mempersoalkan siapa yang bicara, latar belakangnya, atau kesalahan kecil dalam penyampaian. Esensi isu terpinggirkan.

Krisis Literasi Argumentasi

Fenomena ini juga menunjukkan krisis literasi argumentasi di Indonesia. Literasi kita cenderung berhenti pada konsumsi informasi, bukan pada kemampuan mengolah, mengkritisi, dan membangun ide. 

Data dari UNESCO dan berbagai survei literasi menunjukkan bahwa tingkat membaca masyarakat Indonesia memang rendah, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah rendahnya kemampuan berpikir kritis berbasis bacaan.

Membantah itu mudah karena hanya butuh reaksi emosional. Tetapi membangun gagasan membutuhkan kerja intelektual yang tidak instan. Perlu waktu, riset, dan kesabaran untuk merangkai premis, argumentasi, hingga solusi yang masuk akal. Ini yang jarang dilakukan, karena di ruang digital, kecepatan dan viralitas lebih dihargai ketimbang kedalaman.

Budaya media sosial yang mengedepankan engagement metrics (like, share, comment) secara tidak langsung memicu budaya sub-konter tanpa gagasan. Kita lebih memilih menjadi viral karena komentar pedas, ketimbang viral karena gagasan solutif.

Sub-Konter dalam Politik dan Birokrasi

Budaya sub-konter tidak hanya terjadi di dunia maya. Di dunia nyata, terutama di arena politik dan birokrasi, budaya ini bertransformasi menjadi sikap reaktif yang mengabaikan substansi. Banyak pejabat publik lebih sibuk membantah kritik dengan retorika defensif, ketimbang menunjukkan langkah korektif.

Setiap ada kritik terhadap kebijakan pemerintah misalnya terkait korupsi, digitalisasi pendidikan yang tidak merata, atau krisis lingkungan respon yang muncul seringkali berupa bantahan singkat, konferensi pers defensif, atau pernyataan bahwa “semua sudah sesuai prosedur”. Nyaris tidak ada narasi tandingan yang benar-benar menyentuh akar masalah, apalagi menawarkan perbaikan konkret.

Budaya membantah ini juga merambah ke dunia birokrasi. Alih-alih fokus pada implementasi program, banyak institusi justru sibuk membuat laporan, klarifikasi, atau narasi pembelaan di media. Birokrasi lebih sibuk menjaga citra ketimbang bekerja membenahi realitas. Akibatnya, Indonesia menjadi negara dengan seribu laporan, namun minim tindakan.

Dampak jangka panjang dari budaya sub-konter adalah degradasi kualitas demokrasi. Demokrasi membutuhkan ruang dialog di mana ide-ide diuji, disintesis, dan dipertajam. Namun, jika ruang publik dipenuhi kebisingan bantah-membantah yang dangkal, demokrasi hanya menjadi arus deras kebisingan tanpa kebijaksanaan.

Kita menyaksikan betapa banyak isu penting di Indonesia yang gagal berkembang menjadi gerakan perubahan, karena tenggelam dalam sub-konter kosong. Perdebatan soal pendidikan yang timpang, kerusakan lingkungan, atau penegakan hukum yang lemah, kerap terhenti pada level “perang kontra” tanpa narasi perbaikan yang jelas.

Budaya ini juga berbahaya bagi proses pembelajaran sosial. Masyarakat lebih sibuk mencari siapa yang salah, ketimbang memahami sistem yang perlu diperbaiki. Akibatnya, setiap isu strategis selalu berujung pada polarisasi personal, bukan transformasi kebijakan.

Membangun Budaya Kontra yang Konstruktif

Membantah sejatinya adalah bagian penting dari nalar sehat. Namun, membantah harus diposisikan sebagai awal dari proses membangun, bukan tujuan akhir. Kita harus menanamkan budaya kontra yang konstruktif: kontra yang melahirkan alternatif, bukan sekadar kontra demi eksistensi.

Ini harus dimulai dari reformasi budaya diskusi di tingkat paling dasar: keluarga, sekolah, kampus, hingga ruang media. Di ruang pendidikan, kita perlu mendesain ulang metode pembelajaran yang melatih siswa berdebat secara sehat, menyusun argumen, dan merancang solusi.

Media massa juga memiliki peran penting dalam membangun ekosistem diskursus yang sehat. Media harus lebih selektif dalam memoderasi perdebatan publik agar tidak terjebak dalam polarisasi kosong. Tidak semua kontra harus diberi panggung, apalagi yang tidak membawa nilai tambah bagi diskursus.

Pemerintah sebagai fasilitator ruang publik juga harus berani membangun kanal komunikasi yang membuka ruang dialog substantif. Bukan sekadar membuat klarifikasi sepihak, tetapi menyediakan forum di mana masyarakat bisa menyampaikan kritik dan merumuskan solusi bersama.

Membudayakan Literasi Argumentasi

Lebih dari sekadar kampanye membaca, Indonesia membutuhkan gerakan nasional literasi argumentasi. Gerakan ini tidak hanya mendorong masyarakat untuk membaca, tetapi juga mengolah bacaan menjadi argumentasi yang tajam dan solutif.

Kampanye literasi argumentasi ini harus menjangkau berbagai lapisan: dari pelajar, mahasiswa, pekerja, hingga pejabat publik. Di era digital, di mana arus informasi begitu deras, kemampuan menyaring, menganalisis, dan membangun argumentasi adalah benteng terakhir agar bangsa ini tidak terhanyut dalam banjir kebisingan tanpa makna.

Program-program pelatihan debat, diskusi publik, hingga forum kajian ilmiah harus diperluas dan difasilitasi negara. Tidak cukup dengan lomba debat antar pelajar, tapi harus ada ruang-ruang diskusi komunitas yang membangun tradisi berpikir kritis di tengah masyarakat.

Indonesia bukan kekurangan orang cerdas untuk membantah. Yang kita butuhkan adalah lebih banyak orang yang mau bersusah payah membangun gagasan, meski tidak sepopuler para pembantah di lini masa. Membantah memang memuaskan hasrat emosional, namun membangun ide jauh lebih bermakna bagi masa depan bangsa.

Bangsa ini tak akan maju jika terus menjadi Negara Sub-Konter yang puas membantah, tapi takut merumuskan perubahan. Saatnya kita keluar dari jebakan euforia kontra, dan mulai membangun peradaban argumentasi yang sehat, kritis, dan konstruktif.

Di era di mana membantah hanya butuh jempol, membangun gagasan menjadi bentuk ibadah intelektual yang harus kita perjuangkan bersama. (*)

***

*) Oleh : Suryadik, Mahasiswa Bimbingan Konseling, Universitas PGRI Sumenep.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES