Forum Mahasiswa

Santri dan Sumpah Pemuda untuk Negeri

Selasa, 28 Oktober 2025 - 19:02 | 866
Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.
Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan negara. Dalam perjalanan sejarah tersebut, terdapat satu kelompok yang memiliki peran besar namun sering kali kurang mendapat perhatian yang semestinya, yaitu kaum santri dan kalangan pesantren. 

Santri bukan hanya bagian dari masyarakat religius, melainkan juga bagian integral dari perjuangan bangsa. Mereka tidak hanya mengaji dan mendalami ilmu agama, tetapi juga ikut menegakkan nilai-nilai kebangsaan, keadilan, dan kemerdekaan. 

Advertisement

Momentum Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober merupakan pengakuan negara terhadap peran besar para santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tanggal tersebut merujuk pada peristiwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1945 di Surabaya. 

Resolusi tersebut menyerukan kepada seluruh umat Islam, khususnya para santri, untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajahan kembali. Seruan jihad itu menjadi pemicu semangat perlawanan rakyat, yang kemudian melahirkan peristiwa heroik 10 November 1945. 

Di sisi lain, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah momentum bersejarah yang menunjukkan kesadaran nasional dan semangat persatuan kaum muda Indonesia. Sumpah ini menyatukan berbagai suku, agama, dan daerah di bawah satu identitas: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia. 

Dalam konteks itu, santri dan pemuda pesantren juga menjadi bagian dari semangat Sumpah Pemuda, karena nilai-nilai yang diajarkan di pesantren seperti cinta tanah air (hubbul wathan minal iman), persaudaraan, dan keikhlasan sejalan dengan cita-cita persatuan bangsa.

Santri dan Pesantren dalam Sejarah Kemerdekaan 

Peran santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia bukanlah hal yang lahir tiba-tiba. Sejak abad ke-19, pesantren telah menjadi pusat pembentukan karakter bangsa dan perlawanan terhadap penjajahan. 

Tokoh-tokoh ulama seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Zainul Arifin merupakan figur yang tidak hanya ahli dalam bidang agama, tetapi juga memiliki visi kebangsaan yang kuat. 

Pesantren di masa kolonial menjadi tempat persemaian semangat nasionalisme dan kemandirian. Santri dididik untuk hidup sederhana, jujur, dan disiplin, namun juga diajarkan untuk mencintai tanah air sebagai bagian dari iman. 

Ketika bangsa ini belum memiliki sistem pendidikan formal yang merata, pesantren telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan rakyat yang mencerdaskan umat.

Puncak keterlibatan santri dalam perjuangan kemerdekaan ditandai dengan lahirnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama pada tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi ini menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan adalah bagian dari kewajiban agama. 

Seruan itu tidak hanya menggugah hati para santri dan ulama, tetapi juga menggerakkan masyarakat luas untuk bangkit melawan pasukan kolonial. Dari situlah muncul pertempuran besar di Surabaya yang dikenal sebagai “Pertempuran 10 November,” yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. 

Selain di medan perang, santri juga berperan penting dalam bidang diplomasi, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan. Banyak tokoh dari kalangan pesantren yang turut berperan dalam perumusan dasar negara dan konstitusi. 

KH. Wahid Hasyim, misalnya, menjadi salah satu anggota BPUPKI dan PPKI yang ikut merumuskan sila-sila dalam Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa santri bukan hanya pejuang fisik, tetapi juga pejuang pemikiran dan nilai.

Santri sebagai Agen Perubahan Sosial 

Dalam era modern dan globalisasi saat ini, peran santri tidak berhenti pada sejarah perjuangan fisik semata. Santri diharapkan menjadi agen perubahan sosial (social agent of change) yang mampu memberikan kontribusi positif di berbagai bidang kehidupan. Pesantren kini tidak hanya berorientasi pada pendidikan agama, tetapi juga pada pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kewirausahaan. 

Santri masa kini harus adaptif terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya sebagai penjaga moral bangsa. Dengan semangat al-muhafazhah ‘ala al-qadim as-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah (memelihara nilai lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik), santri dapat menjadi pionir dalam membangun masyarakat yang beradab, cerdas, dan berkarakter. 

Dalam konteks sosial, santri memiliki peran penting dalam menanamkan nilai toleransi dan moderasi beragama di tengah masyarakat yang majemuk. Nilai-nilai seperti gotong royong, ukhuwah, dan keadilan sosial yang diajarkan di pesantren dapat menjadi dasar untuk memperkuat kohesi sosial bangsa. 

Santri juga dapat menjadi pelopor dalam gerakan sosial, pendidikan masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi umat melalui koperasi dan usaha mikro. 

Kiprah santri kini telah merambah ke berbagai sektor: dari akademisi, birokrat, wirausahawan, hingga politisi. Mereka membawa nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan integritas ke dalam ruang publik. Santri bukan lagi simbol keterbelakangan, melainkan representasi moral dan intelektual bangsa.

Santri sebagai Generasi Berintegritas dan Pembela Negara 

Salah satu keunggulan utama santri adalah integritas moral yang kuat. Pendidikan pesantren menanamkan nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, serta tanggung jawab. Nilai-nilai ini membentuk karakter santri yang teguh pendirian, jujur dalam tindakan, dan tidak mudah tergoda oleh kepentingan pribadi atau material. 

Dalam konteks kebangsaan, integritas santri menjadi modal penting untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara. Di tengah tantangan global seperti korupsi, krisis moral, dan konflik sosial, santri hadir sebagai penjaga moralitas publik. Mereka menjadi teladan dalam mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dan menegakkan hukum serta keadilan. 

Sebagai generasi penerus bangsa, santri harus memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi. Nilai cinta tanah air (hubbul wathan) yang diajarkan di pesantren harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan nyata, seperti berkontribusi dalam pembangunan, menolak paham radikalisme, serta menegakkan semangat toleransi dan persatuan. 

Santri juga diharapkan mampu mengembangkan literasi digital dan intelektual agar dapat menghadapi tantangan zaman. Dunia modern menuntut santri untuk melek teknologi, berpikir kritis, dan kreatif, tanpa kehilangan nilai-nilai spiritualnya. 

Santri masa depan harus menjadi pembela negara dalam arti luas, yakni dengan berjuang melalui pendidikan, penelitian, kewirausahaan, dan pengabdian kepada masyarakat.

Sinergi Nilai Santri dan Semangat Sumpah Pemuda 

Sumpah Pemuda dan Hari Santri memiliki semangat yang sejalan: keduanya menekankan persatuan, keikhlasan, dan pengabdian kepada bangsa. Jika para pemuda 1928 bersatu menyatakan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, maka para santri sejak dulu telah mempraktikkan semangat itu dalam kehidupan sehari-hari melalui ukhuwah islamiyah dan nasionalisme religius. 

Santri adalah wujud dari pemuda ideal dalam konteks keindonesiaan: religius tetapi terbuka, cinta damai tetapi tegas membela kebenaran, dan berakar kuat pada nilai-nilai tradisi sambil menatap masa depan dengan optimisme. 

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia memiliki potensi besar untuk terus melahirkan generasi muda yang berkarakter, berakhlak, dan berdaya saing tinggi. 

Dengan demikian, momentum peringatan Hari Santri dan Sumpah Pemuda seharusnya menjadi refleksi bersama bagi seluruh komponen bangsa, bahwa kemerdekaan dan persatuan Indonesia lahir dari semangat kolektif para pejuang, termasuk santri dan ulama. 

Sudah sepatutnya generasi masa kini meneladani semangat juang dan keikhlasan mereka dengan cara berkontribusi nyata sesuai bidang dan profesi masing-masing.

Santri bukan hanya pewaris tradisi pesantren, tetapi juga pewaris perjuangan bangsa. Dari masa ke masa, mereka menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap agama, bangsa, dan negara. Dalam setiap detak sejarah Indonesia, ada jejak santri yang mengalir dalam denyut perjuangan kemerdekaan, pendidikan, dan pembangunan sosial. 

Di era globalisasi yang penuh tantangan, santri dituntut untuk terus memperkuat perannya sebagai agen perubahan sosial, penjaga moral bangsa, dan pembela negara. 

Dengan bekal ilmu yang mendalam dan akhlak yang luhur, santri diharapkan mampu menjaga warisan nilai-nilai luhur bangsa, serta mengisi kemerdekaan dengan karya dan pengabdian yang nyata. 

Semangat Sumpah Pemuda dan Hari Santri harus menjadi energi moral bagi seluruh generasi muda Indonesia. Bahwa menjadi santri bukan berarti terkungkung oleh masa lalu, tetapi menjadi bagian dari masa depan yang beradab, berilmu, dan berintegritas. Karena sejatinya, santri adalah pelita bangsa, penjaga nilai, dan penggerak kemajuan negeri.

***

*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES