
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Ekonomi syariah bukan sekadar sistem finansial bebas riba, melainkan kerangka nilai dan praksis yang menjunjung tinggi keadilan, keberkahan, dan pemberdayaan komunitas. Dalam beberapa tahun terakhir, geliat ekonomi syariah semakin terasa, tidak hanya dalam sektor perbankan, tetapi juga di akar rumput.
Inisiatif One Pesantren One Product (OPOP) yang digagas oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, serta pendirian bank syariah milik Muhammadiyah, menjadi penanda kuat bahwa ekonomi umat tengah bergerak menuju fase institusional dan komunal yang lebih serius.
Advertisement
Namun, untuk memastikan keberlanjutan gerakan ini, dibutuhkan peran aktor pengetahuan: pendidikan tinggi. Sudah saatnya perguruan tinggi, khususnya yang berbasis Islam dan memiliki program studi ekonomi syariah, tidak hanya menjadi pabrik gelar, melainkan pendorong transformasi ekonomi berbasis nilai.
Sejak diluncurkan pada tahun 2018, program OPOP berhasil menghubungkan ratusan pesantren dengan potensi ekonomi lokal. Di balik setiap produk unggulan santri, mulai dari kopi, herbal, hingga fesyen muslim, tersimpan spirit kemandirian ekonomi yang lahir dari akar tradisi.
Namun, tantangan yang dihadapi tidak sederhana. Banyak pesantren memiliki semangat tinggi, tetapi minim dukungan teknis dan manajerial. Ini sejalan dengan analisis Joseph Schumpeter tentang pentingnya entrepreneurial innovation sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks ini, pesantren punya potensi sebagai entrepreneurial community, namun belum terhubung secara optimal dengan sumber daya profesional.
Perguruan tinggi harus hadir sebagai jembatan: mengisi celah pengetahuan, teknologi, dan jejaring pasar. Teori community-based development (CBD) menyatakan bahwa penguatan komunitas harus dimulai dari partisipasi lokal dan didukung oleh aktor eksternal yang berkompeten; di sinilah posisi kampus menjadi sangat strategis.
Langkah Muhammadiyah mendirikan bank syariah adalah realisasi konkret dari pendekatan institutional economics ala Douglass C. North, yang menekankan pentingnya lembaga dalam membentuk perilaku ekonomi masyarakat.
BSM bukan hanya bank, melainkan representasi kemandirian ormas dalam mengelola sumber daya keuangan umat secara profesional dan berbasis nilai.
Yang menarik, pendirian Bank Syariah Matahari (BSM) bukanlah inisiatif insidental, melainkan merupakan realisasi atas amanat dua Muktamar Muhammadiyah, pertama kali dirumuskan dalam Muktamar ke-47 di Makassar (2015), kemudian ditegaskan kembali pada Muktamar ke-48 di Surakarta (2022).
Dalam kerangka implementasi mandat tersebut, Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata Pimpinan Pusat Muhammadiyah, melalui Wakil Ketuanya Mukhaer Pakkanna, turut mendorong proses transformasi ini sebagai bagian dari strategi kemandirian ekonomi umat.
Pendekatan yang ditempuh bukan melalui skema merger, melainkan konversi kelembagaan: mentransformasikan BPRS Matahari Artadaya milik Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (Uhamka) menjadi entitas baru bernama Bank Syariah Matahari (BSM), yang kini telah mengantongi izin operasional resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun, untuk tumbuh secara berkelanjutan, BSM membutuhkan ekosistem: SDM unggul, riset inovatif, dan jejaring komunitas produktif. Kampus Muhammadiyah dan kampus Islam lainnya bisa menjadi mitra penting: melalui pengembangan produk keuangan mikro, zakat produktif, dan wakaf tunai, serta membangun literasi keuangan syariah berbasis teknologi.
Peran pendidikan tinggi dalam ekonomi syariah sangat relevan dengan teori knowledge-based economy (Peter Drucker), yang menekankan bahwa pengetahuan kini menjadi aset utama dalam pembangunan ekonomi.
Kampus tidak cukup hanya meneliti teori murabahah dan mudharabah, tetapi harus menghadirkan solusi aplikatif bagi pelaku ekonomi di komunitas.
Model quadruple helix (Carayannis & Campbell, 2009) yang melibatkan kampus, pemerintah, sektor usaha, dan komunitas menjadi pendekatan ideal. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi perlu membuka diri menjadi community university; membangun inkubator halalpreneur, laboratorium produk halal, hingga klinik digitalisasi UMKM pesantren.
Sudah saatnya mahasiswa ekonomi syariah tidak hanya magang di bank, tetapi juga di koperasi pesantren. Dosen tidak hanya menulis jurnal, tetapi juga menjadi mentor kewirausahaan santri. Kampus perlu hadir di tengah masyarakat, menjembatani potensi lokal dengan tuntutan global.
Sejarah Islam mencatat bahwa ekonomi syariah yang sejati dibangun oleh pribadi-pribadi luhur. Sahabat Abdurrahman bin Auf adalah contoh nyata pebisnis sukses yang tetap bersahaja. Ia membangun kekayaan melalui kerja keras, namun tidak segan menginfakkannya di jalan Allah; membiayai perang dan membantu ribuan fakir miskin.
Di sisi lain, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa harta adalah amanah, bukan tujuan. Baginya, keberkahan adalah inti dari ekonomi Islam; bukan sekadar akumulasi kekayaan, tetapi kebermanfaatan sosial.
Ia menekankan pentingnya etika dalam muamalah; bahwa jual beli, produksi, hingga investasi harus dijalankan dengan akhlak dan kesadaran spiritual.
Menghadirkan spirit Abdurrahman bin Auf dan hikmah Al-Ghazali dalam konteks hari ini berarti membangun ekonomi syariah yang tidak hanya patuh aturan, tetapi juga sarat nilai dan keadilan.
Hari ini, semua fondasi telah tersedia. OPOP hadir di pesantren, BSM hadir sebagai kekuatan finansial umat, dan pendidikan tinggi memiliki sumber daya pengetahuan. Yang belum optimal adalah orkestrasi kolaborasi strategis di antara ketiganya.
Sudah waktunya kampus turun gunung; dari ruang kelas ke lapangan, dari teori ke transformasi. Tidak cukup hanya mencetak lulusan, tetapi harus memimpin perubahan.
Ekonomi syariah hanya akan tumbuh berkelanjutan jika ruh spiritualnya terjaga, aktor pengetahuannya aktif, dan jaringannya saling menguatkan. Inilah misi kolaboratif yang tidak hanya ekonomis, tetapi juga profetik. (*)
***
*) Oleh : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya, dan Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |