Koperasi Desa Merah Putih: Untuk Siapa?

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah gejolak ekonomi global dan meningkatnya ketimpangan sosial di tingkat lokal, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM, kembali menggulirkan program ambisius bernama Koperasi Desa Merah Putih pada pertengahan 2025.
Inisiatif ini diklaim sebagai langkah strategis untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan berbasis desa melalui penguatan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional. Dalam kerangka besar pembangunan inklusif, koperasi diharapkan menjadi motor penggerak aktivitas ekonomi warga desa secara kolektif, adil, dan berkelanjutan.
Advertisement
Secara konseptual, gagasan koperasi desa ini memang tidak keliru. Dalam sejarah ekonomi Indonesia, koperasi pernah memainkan peran penting sebagai wadah produksi, distribusi, hingga simpan pinjam yang menjangkau lapisan masyarakat terbawah. Bung Hatta Bapak Koperasi Indonesia pernah menegaskan bahwa koperasi adalah jalan tengah antara kapitalisme individualis dan sosialisme otoriter. Ia menempatkan nilai gotong royong dan solidaritas sosial sebagai jantung ekonomi bangsa.
Namun, pertanyaannya kini: Koperasi Desa Merah Putih ini sebenarnya untuk siapa?
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Secara formal, pemerintah menyebut bahwa program ini menyasar petani, nelayan, pelaku UMKM, dan komunitas desa lainnya. Namun dalam praktiknya, problem klasik kembali muncul: koperasi dikelola secara semu, formalistik, bahkan kerap menjadi alat proyek para elit lokal. Alih-alih menjadi lembaga milik bersama, banyak koperasi desa yang justru menjadi koperasi elite, dimonopoli segelintir pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan dana hibah. Keanggotaan hanya bersifat administratif, bukan partisipatif. Warga desa menjadi objek, bukan subjek.
Lebih jauh, pembentukan koperasi baru kerap tidak disertai dengan penguatan kapasitas manajerial, literasi keuangan, maupun kelembagaan organisasi. Dalam kondisi tersebut, koperasi sering kali bergantung pada aliran dana bantuan ketimbang mengembangkan basis produktivitas ekonomi yang mandiri. Ketika dukungan eksternal tersebut berhenti, keberlanjutan operasional koperasi menjadi stagnan atau bahkan terhenti sama sekali. Tidak jarang pula, koperasi desa dimanfaatkan sebagai saluran pencairan dana fiktif, sarana praktik mark-up anggaran, serta menjadi ruang kolusi antara pengurus koperasi dan aparat pemerintahan desa.
Dalam konteks ini, program Koperasi Desa Merah Putih justru berisiko memperbesar ketimpangan dan menambah daftar koperasi yang mati prematur jika tidak disertai dengan reformasi struktural. Tanpa pengawasan ketat, pendampingan serius, dan pelibatan aktif warga desa sebagai pemilik sah koperasi, maka program ini hanya akan menjadi simbol tanpa substansi. Ia menjadi jargon populis yang kehilangan ruh koperasi sejati.
Solusi jangka panjang tentu memerlukan pendekatan yang lebih mendasar. Pertama, negara harus berhenti memaknai koperasi hanya sebagai alat distribusi bantuan. Koperasi harus didorong menjadi entitas bisnis sosial yang menghasilkan keuntungan sekaligus memperkuat solidaritas sosial. Ini mensyaratkan adanya pelatihan berkala, transparansi laporan keuangan, dan akuntabilitas kelembagaan.
Kedua, perlu regulasi yang mencegah dominasi politik lokal dalam pengelolaan koperasi. Koperasi sejatinya adalah milik anggota, bukan milik kepala desa, tokoh partai, atau pemilik modal tunggal. Pemilihan pengurus harus dilakukan secara demokratis dan bebas dari tekanan. Pemerintah pusat dan daerah harus membentuk badan pengawasan independen yang bekerja bersama masyarakat sipil di tingkat lokal.
Ketiga, koperasi desa harus terkoneksi dengan ekosistem ekonomi digital dan rantai pasok nasional. Pemerintah harus memfasilitasi akses teknologi, pasar, dan modal yang tidak hanya berbasis pada program sesaat, tetapi juga bersifat berkelanjutan. Misalnya, membangun platform digital koperasi yang terhubung dengan pelaku usaha kota, BUMN, hingga pasar ekspor.
Pada akhirnya, keberhasilan Koperasi Desa Merah Putih tidak ditentukan oleh seberapa banyak koperasi dibentuk, tetapi sejauh mana koperasi itu hidup, tumbuh, dan dimiliki secara kolektif oleh rakyat desa sendiri. Tanpa keberpihakan nyata, koperasi hanya akan menjadi proyek anggaran tahunan yang penuh seremoni, tetapi miskin dampak.
Masyarakat desa tidak butuh koperasi sebagai slogan mereka butuh koperasi yang benar-benar menjawab kebutuhan mereka: dari harga pupuk yang terjangkau, akses permodalan yang adil, hingga pemasaran hasil tani yang layak. Maka, sebelum bertanya berapa koperasi yang sudah dibentuk, lebih baik kita tanyakan dulu: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari koperasi ini?
Jika jawabannya bukan rakyat desa, maka Koperasi Merah Putih hanya akan menjadi bendera yang dikibarkan setinggi langit, tetapi akarnya tak pernah menjejak tanah tempat rakyat berdiri. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |