Kopi TIMES

Menata Ulang Sistem Pemilu Pasca Putusan MK

Sabtu, 19 Juli 2025 - 21:26 | 22.14k
Mushafi Miftah, Pengajar Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan Universitas Nurul Jadid, Paiton.
Mushafi Miftah, Pengajar Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan Universitas Nurul Jadid, Paiton.

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kembali meramaikan jagat Indonesia. Pasalnya, putusan Nomor MK 135/PUU-XXII/2024, yang memerintahkan agar pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dilaksanakan secara terpisah antara nasional dan daerah. 

Putusan MK ini menimbulkan pro kontra di kalangan elit politik bangsa ini terutama bagi anggota DPR RI. Mereka menilai MK telah melampaui kewenangannya sebagai negative legislator, sehingga tidak seharusnya ikut serta membuat norma hukum terkait dengan pemilu.

Advertisement

Meski demikian, apapun persepsi publik, MK punya kewenangan menafsirkan norma-norma hukum yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Secara konstitusional, tidak secara eksplisit menentukan apakah pemilu harus serentak atau terpisah. 

Artinya, baik pemilu serentak maupun terpisah bisa dianggap sah sejauh tetap berada dalam bingkai prinsip-prinsip pemilu yang demokratis. MK dalam hal ini menjalankan fungsi interpretatif terhadap konstitusi, sebagaimana mandatnya sebagai pengawal konstitusi.

Jika kita lihat pertimbangan MK dalam putusan tersebut, bahwa pemilu serentak telah menimbulkan dampak buruk yang antara lain merusak otentisitas pelaksanaan paham kedaulatan rakyat, menciptakan pemerintahan tidak efektif, mendorong politik transaksional, membuat penyelenggara jadi korban dan lain sebagainya. 

Sehingga bagi MK, Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pertimbangan lain yang dikemukakan MK, bahwa penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif yang relatif dekat waktunya  dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) membuat tidak ada minim kesempatan bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif.

Rentang waktu yang dekat ini, dan disertai penggabungan pemilihan anggota DPRD dalam keserentakan pemilu anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden, mengakibatkan isu-isu pembangunan daerah tereliminasi akibat dominasi isu nasional. Karena itu muncul pertanyaan, apakah pemisahan pemilu ini adalah solusi terbaik?

Menyisakan Kerumitan

Secara yuridis, putusan MK itu menyisakan kerumitkan hukum walaupun secara teknis sejatinya putusan MK dapat menjadi solusi atas bebarapa masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 dan 2024. 

Banyak petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia terutama beban kerja yang berat. Akan tetapi yang harus dipahami bahwa reformasi sistem pemilu bukan hanya soal efisiensi teknis, tetapi tentang legitimasi demokrasi dan konsistensi sistem hukum nasional.

Harus diakui bahwa putusan MK tersebut telah menyisakan masalah baru dalam konteks penataan hukum pemilu. Putusan ini memunculkan kerumitan hukum terkait sinkronisasi masa jabatan, tahapan pemilu, anggaran, hingga potensi konflik kewenangan antara lembaga penyelenggara pemilu. 

Contohnya, jika MK memandatkan pemilu daerah paling lama sampai 2,5 tahun setelah pelantikan hasil pemilu nasional maka dibutuhkan rumusan hukum yang matang dan jelas penataan jabatannya untuk memberikan kepastian hukum.

Pada aspek lain, putusan pemisahan pemilu tersebut juga berpotensi menimbulkan kerumitan administratif dan hukum, mengingat sistem hukum positif saat ini masih mengatur pemilu serentak. 

Tanpa adanya perubahan Undang-Undang Pemilu dan perangkat hukum lain yang relevan, maka pelaksanaan putusan ini dapat menimbulkan pelanggaran terhadap asas legalitas dan mengganggu stabilitas tahapan pemilu yang sedang berjalan.

Putusan MK tentang pemisahan pemilu tidak hanya menghadirkan tantangan teknis, tetapi juga mencerminkan persoalan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Ketika putusan lembaga konstitusi dipertanyakan legitimasi dan dasarnya, maka yang dipertaruhkan bukan hanya prosedur pemilu, tetapi kredibilitas hukum dan demokrasi itu sendiri.

Revisi Menyeluruh

Apapun kerumitan hukum yang timbul, Putusan MK harus dilaksanakan karena ia bersifat final and binding sebagaimana diamanatkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Oleh karenanya, pemerintah dan DPR harus cepat merespon dan revisi secara meyeluruh terhadap UU No. 7 Tahun 2017 dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, untuk menyesuaikan substansi hukum dengan putusan MK.

Tanpa revisi yang memadai dan menyeluruh, pelaksanaan pemilu yang dipisah waktu bisa melahirkan ketidaksinkronan hukum dan kebingungan administratif.

Dalam melakukan revisi terhadap undang-undang pemilu, pemerintah dan DPR harus memperhatikan prinsip harmonisasi antara sistem pemilu nasional dan lokal, serta menjamin kepastian hukum. 

Hal lain juga perlu menjadi perhatian adalah rumusan payung hukum khusus berupa UU Transisi Pemilu yang mengatur mekanisme peralihan dari sistem pemilu serentak ke sistem terpisah. 

Revisi juga harus menjangkau aturan teknis seperti, perpanjangan atau pemotongan masa jabatan kepala daerah dan anggota legislatif daerah, jadwal pemilu dan pilkada yang tidak saling tumpang tindih dan penyesuaian anggaran dan logistik pemilu. Sehingga transisi perubahan sistem pemilu ini menjadi peluang, bukan sumber krisis baru dalam kehidupan demokrasi nasional. 

Untuk memperkuat dan mewujudkan dan menata sistem pemilu yang demokratis, revisi atau undang-undang pemilu harus dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan berbasis kajian akademik.

Pemerintah dan DPR harus melibatkan pakar hukum tata negara, akademisi, dan masyarakat sipil dalam menyusun kebijakan turunan dari putusan MK. Karena melalui pendekatan partisipatif ini dapat memperkuat legitimasi perubahan sistem serta menghindari kesalahan prosedural di kemudian hari.

Akhirnya, putusan MK tersebut merupakan momentum bagi para pemangku kepentingan untuk mengorkestrasi dan menata kembali sistem pemilu yang dianggap banyak menimbulkan masalah. Adaptasi undang-undang pemilu atas subtansi putusan MK harus dilakukan secara cermat dan tidak tergesa-gesa. 

Putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah harus menjadi momentum bagi pemerintah dan DPR untuk mengorkestrasi desain pemilu secara matang, yakni pemilu yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan konstitusi. 

***

*) Oleh : Mushafi Miftah, Pengajar Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan Universitas Nurul Jadid, Paiton.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES