Kopi TIMES

Rangkap Jabatan Wakil Menteri dalam Pandangan Konstitusi

Senin, 21 Juli 2025 - 12:13 | 11.87k
Dr. Hufron, S.H., M.H., Ahli Hukum Tata Negara, Dosen Pasca Sarjana UNTAG Surabaya.
Dr. Hufron, S.H., M.H., Ahli Hukum Tata Negara, Dosen Pasca Sarjana UNTAG Surabaya.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – "Esensi konstitusionalisme adalah membatasi kekuasaan dan menjanjikan keadilan sosial, bukan akumulasi jabatan.” 

Ketika 30 orang Wakil Menteri diangkat sekaligus menjadi komisaris BUMN, publik tidak hanya dikejutkan oleh jumlahnya, tetapi oleh pembiaran terhadap konflik kepentingan yang terang-terangan. Alih-alih menjadi pelayan publik sepenuh waktu, para pejabat itu kini menikmati dua aliran kekuasaan: akses kebijakan dan keuntungan ekonomi dari korporasi negara.

Advertisement

Lalu, di mana letak keadilan sosial sebagaimana dijanjikan Pasal 33 dan Pasal 28D UUD 1945? Mengapa negara membolehkan adanya peraktik rangkap jabatan yang pada dasarnya memusatkan kekuasaan pada satu individu, sementara lebih dari 9 juta rakyat masih menganggur?

Hakikat Larangan Rangkap Jabatan

Pemisahan peran dan kewenangan jabatan publik pada negara dan korporasi bukanlah semata kebutuhan teknokratik, melainkan bagian dari arsitektur moral kekuasaan. Gagasan ini berakar pada prinsip trias politica Montesquieu yang menekankan bahwa kekuasaan harus dibagi, dibatasi, dan diawasi, bukan dikonsentrasikan pada satu individu yang menjalankan fungsi publik sekaligus fungsi ekonomi.

Seorang Wakil Menteri adalah pejabat negara yang diangkat untuk mendukung tugas menteri dalam aspek teknis dan administratif pemerintahan, dengan kewajiban penuh waktu yang melekat padanya sebagai bentuk pengabdian dan dedikasi terhadap negara.

Sementara komisaris BUMN adalah representasi negara dalam entitas bisnis, bertugas mengawasi jalannya perusahaan, memastikan profitabilitas, dan mewakili kepentingan pemegang saham. Posisi ini dilengkapi dengan kompensasi finansial yang signifikan dalam beberapa kasus, jauh melampaui tunjangan pejabat negara. 

Maka, ketika satu orang memegang dua peran sekaligus, akan melahirkan tiga persoalan mendasar: 1) perangkap loyalitas, dalam negara dan dalam algoritma pasar; 2) konflik kepentingan; dan 3) overkonsentrasi kekuasaan. 

Dalam hal ini, larangan rangkap jabatan bukanlah larangan administratif, melainkan sebuah imperatif etik, prasyarat moral bagi keberlangsungan negara hukum yang demokratis. Artinya, pembatasan terhadap perangkapan jabatan tidak hanya bertujuan menjaga efisiensi kelembagaan, tetapi lebih mendasar: menjaga kepercayaan publik, menjamin keadilan distribusi peran (keadilan sosial), dan menghindari konsentrasi kekuasaan yang koruptif.

Dalam sistem meritokrasi yang sehat, setiap warga negara yang memiliki kapasitas dan kompetensi harus memiliki peluang setara untuk mengabdi melalui jabatan publik. Jabatan adalah ruang kolektif, bukan properti pribadi. 

Ketika hanya segelintir orang yang mendapat kesempatan menduduki dua hingga tiga posisi strategis dan bergaji tinggi, sementara jutaan lainnya tersisih dan tidak diberi akses satu pun, maka yang terjadi adalah ketimpangan struktural yang tidak saja melemahkan legitimasi negara, tetapi juga mendevaluasi martabat warga negara lain.

Ketimpangan semacam ini tidak sekadar persoalan pembagian kekuasaan politik, tetapi masuk pada "perampasan" peluang sosial. Maka tidak heran apabila publik menilai bahwa akses pada jabatan bukan lagi ditentukan oleh kompetensi, melainkan oleh kedekatan dengan sumber kekuasaan, dan kondisi inilah yang dalam jangka panjang membunuh meritokrasi dan memperluas kemiskinan struktural.

Dalam kerangka itu, John Rawls dalam A Theory of Justice menegaskan bahwa kebijakan publik harus diuji dengan prinsip fair equality of opportunity, yakni setiap warga negara harus memiliki kesempatan yang sejajar dan adil untuk mengakses jabatan dan peran publik. 

Maka dari itu, jabatan bukan ruang akumulasi privilege, melainkan ruang pengabdian yang penuh tanggung jawab (baik secara moral, etik maupun hukum). Maka, jabatan yang etis adalah jabatan yang terbatas. 

Membatasi jabatan bukan berarti membatasi kontribusi, tetapi justru merupakan penghormatan terhadap nilai jabatan itu sendiri. Ia adalah bentuk pengakuan bahwa jabatan publik adalah titipan atau amanah dari rakyat, bukan bonus dari kekuasaan.

Pasal 27B UU No. 1 Tahun 2025 dalam Lensa Konstitusionalitas

Larangan rangkap jabatan telah ditegaskan secara normatif dalam Pasal 27B Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang menyatakan bahwa Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN dilarang merangkap sebagai pejabat negara. 

Frasa pengecualian “kecuali ditentukan lain” sering digunakan sebagai celah tafsir, yang secara konstitusional tak berdasar. Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang secara eksplisit membolehkan Wakil Menteri menjadi Komisaris BUMN.

Dalam kaidah penafsiran hukum, dikenal asas noscitur a sociis sebagaimana dijelaskan oleh McLeod, bahwa suatu makna ditentukan oleh asosiasinya dengan frasa lain. Maka dalam konteks ini, wakil menteri sebagai bagian dari jabatan eksekutif negara dan merupakan pembantu presiden sebagaimana menteri harus dimaknai sebagai pejabat negara dalam kerangka fungsi dan tanggung jawabnya. Maka tidak masuk akal secara etik maupun hukum untuk mengeluarkannya dari lingkup larangan dalam Pasal 27B UU BUMN.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 80/PUU/XVII/2019, Mahkamah dalam pertimbangannya, secara jelas menyatakan bahwa rangkap jabatan pejabat negara (Menteri dan Wakil Menteri) berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan merusak prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Hal itu karena dikhawatirkan dapat berpotensi terjadi benturan kepentingan secara serius dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik.

Lebih jauh, apabila kita melihatnya dari lensa konstitusionalitas, praktik rangkap jabatan ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang negara hukum, Pasal 28D ayat (3) tentang kesamaan hak dalam pemerintahan, dan semangat Pasal 33 yang menempatkan BUMN sebagai alat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Ketika satu orang bisa duduk di dua kursi bergaji besar, sementara jutaan anak muda mencari kerja tanpa hasil, yang dilanggar bukan hanya etika jabatan, tapi juga prinsip keadilan distributif.

Dalam doktrin negara hukum demokratis, negara hukum bukan sekadar kumpulan prosedur, tetapi harus menjamin keadilan substansial dan etika jabatan. Rangkap jabatan adalah ekspresi penguasaan jabatan secara eksesif, yang tidak lagi tunduk pada prinsip pembatasan kekuasaan (limitation of power). 

Sehingga, ketika satu orang menempati dua posisi publik bergaji besar sementara jutaan warga lainnya kesulitan mencari pekerjaan yang layak, maka asas fair equality of opportunity yang menjadi inti negara demokratis telah dilanggar secara terang-terangan. 

Yang pada gilirannya menempatkan BUMN sebagai instrumen kemakmuran rakyat, telah direduksi menjadi 'ladang konsolidasi politik'. Komisaris BUMN bukan lagi dipilih berdasarkan kompetensi dan integritas profesional, melainkan berdasarkan kedekatan dan imbal jasa kekuasaan.

Dari Versailles ke Jakarta

Revolusi Prancis (1789), tidak dimulai dari Parlemen, tetapi dari rakyat yang perutnya kosong. Saat para bangsawan berdansa di Hall of Mirrors Versailles, rakyat Paris mengantre roti dan dihina dengan pajak yang membebani.

Beberapa hari yang lalu, di Jakarta, para wakil menteri menandatangani dua SK jabatan, menerima dua aliran pendapatan, dan tersenyum di ruang-ruang rapat. Sementara itu, rakyat Indonesia mengantre untuk janji 19 juta lapangan pekerjaan, dan jutaan sarjana muda mencari kerja yang tak pernah ada.

Pemerintah menyerukan efisiensi, tapi justru menumpuk jabatan. Memungut pajak dari rakyat kecil dengan menutup mata saat kekuasaan menjadi ladang insentif ganda. 

Jika dulu istana Versailles jadi simbol keterputusan elite dari rakyatnya, maka kini simbol itu pindah ke ruang sidang kabinet dan lobi-lobi direksi.(*)

***

*) Oleh : Dr. Hufron, S.H., M.H., Ahli Hukum Tata Negara, Dosen Pasca Sarjana UNTAG Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES