
TIMESINDONESIA, BANDUNG – Kabarnya, Jakarta dan Washington lagi mesra-mesranya, kerjasama kedua negara memasuki babak baru, dalam beberapa waktu terakhir Indonesia dan Amerika Serikat sepakat menurunkan tarif bea masuk ekspor Indonesia ke AS, dan menghapus tarif bea masuk impor produk Amerika Serikat ke Indonesia.
Tarif bea masuk saling dibukakan seperti pintu rumah tetangga lama. Indonesia bersemangat mengirim tekstil dan sepatu ke Chicago, Amerika Serikat balas budi: mengirim gandum dan kedelai ke Pelabuhan kita. Secara kertas kerja sama, ini indah, tapi coba kita menakar dampak kesepakatan tarif tersebut terhadap ekonomi rakyat.
Advertisement
Peluang Ekspor
Diawali dari sisi yang paling optimistis, dengan penurunan tarif bea masuk ke AS untuk komoditas ekspor Indonesia, produk unggulan seperti tekstil, furniture, alas kaki dan pertanian membuka peluang ekspor ke pasar Amerika terbuka semakin lebar.
Data BPS menunjukkan Januari- Mei 2025, Amerika Serikat adalah mitra dagang terbesar kedua Indonesia setelah Tiongkok dengan nilai ekspor sebesar US$12.112 juta adalah angka yang sangat menggoda.
Bayangkan mesin jahit di Bandung bekerja kencang, tukang kayu di Jepara tersenyum lega, sepatu Sukaregang Garut makin laris di toko toko di Boston, Amerika Serikat, ini adalah angin segar bagi industri utamanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang sempat terengah-engah dihantam lesunya pasar global.
Sektor padat karya berpeluang merekrut kembali ribuan buruh yang sempat dirumahkan, harapan itu nyata namun tidak datang sendirian.
Peluang dan Ancaman Bebas Bea Masuk
Ada ‘tapi’ besar yang menggelayut seperti gerimis di musim panen. Di saat yang sama, kita membuka keran selebar-lebarnya untuk produk AS masuk tanpa bea.
Dapat dibayangkan, petani kedelai di pelosok sana, pagi pagi menyusuri ladangnya yang hijau, dengan bau tanah basah dan dedaunan basah menyengat, yang sudah akrab dengan harga jual yang pas-pasan.
Kini harus berhadap hadapan dengan kedelai dari AS yang murah meriah, ditanam di lahan luas di Amerika Serikat sana dengan teknologi satelit dan dipanen dengan mesin raksasa. Mampukah petani kita bersaing? Haruskah ia menebang pohon kedelainya dan menjadi buruh serabutan?
Data BPS Februari 2025 mengingatkan kita bahwa 59,40 persen pekerja kita menggantungkan nasib di sektor informal, warung-warung makan, ladang kecil, bengkel sepatu. Mereka seperti perahu kayu di tengah samudera kapal kargo. Tanpa pagar pengaman, seperti bukan perdagangan yang adil namun pertarungan yang timpang.
Keadilan dalam Perdagangan
Perdagangan bebas tidak dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas. Harus dikelola dengan prinsip keadilan, jika negara membuka keran untuk produk impor, maka pemerintah harus putar otak juga untuk melindungi pelaku usaha dalam negeri utamanya petani dan UMKM agar tidak kalah bersaing dengan arus barang dari luar negeri.
Daripada sekadar membuka keran impor, pemerintah wajib menopang sayap pelaku lokal: dengan mempermudah urusan sertifikasi produk agar kerajinan tangan kita tak tersendat, memberikan pelatihan teknologi sederhana agar tempe dan keripik rumahan bisa bersaing lewat kemasan lebih baik, serta membuka akses kredit tanpa ribet agar mesin tua di bengkel-bengkel kecil bisa digerakkan lagi.
Upaya ini bukti kita tak menutup diri dari perdagangan global, tapi sekaligus tameng agar UMKM dan petani tak gentar di pasar sendiri, karena kemandirian ekonomi sesungguhnya lahir ketika usaha kecil tak lagi tersingkir oleh gelombang barang impor, melainkan berdiri tegak di kaki sendiri.
Jalan dua arah ini harus kita arungi dengan mata terbuka. Buka pasar AS untuk produk kita? ya, ini peluang emas, tapi jangan biarkan pasar kita dibanjiri barang impor yang menenggelamkan produk bangsa sendiri.
Perdagangan yang adil bukan hanya tentang neraca positif, tapi tentang memastikan kita tidak akan menjadi korban di tanah air sendiri. Sejatinya kedaulatan ekonomi dimulai dari tanah air sendiri, dari biji kedelai yang ditanam petani kita, di tanah kita, untuk kemakmuran anak cucu kita.
***
*) Oleh : Rr. Vincie Apriany, SST., Statistisi Madya BPS Kabupaten Bandung.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |