Kopi TIMES

Dari Regulasi ke Realita: Tafsir Aktor Desa dalam Menyusun APBDes

Selasa, 22 Juli 2025 - 15:33 | 7.03k
Aditya Prasaja, Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Aditya Prasaja, Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, istilah “kemandirian desa” menjadi salah satu kamus utama dalam wacana pembangunan nasional. Pemerintah pusat tidak lagi menempatkan desa sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek yang diharapkan mampu merancang, membiayai, dan melaksanakan pembangunan berdasarkan potensi dan kebutuhannya sendiri. Berbagai regulasi turunan, seperti Permendesa No. 2 Tahun 2016 tentang Indeks Pembangunan Desa (IDM), memperkuat kerangka tersebut dengan menetapkan indikator teknokratik untuk mengukur tingkat kemandirian desa.

Namun, idealisasi tersebut tidak serta merta sepenuhnya terwujud dalam praktik di tingkat desa. Regulasi yang bersifat normatif dan seragam sering kali berbenturan dengan kompleksitas sosial dan budaya yang dihadapi oleh para pelaku desa. Proses penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang secara formal mencerminkan arah pembangunan desa justru menjadi ruang interpretasi yang dinamis. Di dalamnya, kepala desa, sekretaris desa, dan ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) secara langsung berhadapan dengan berbagai pertentangan antara cita-cita yang datang dari atas dengan realitas sosial yang mereka hadapi sehari-hari.

Advertisement

Dari titik ini, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana makna “kemandirian desa” benar-benar terinternalisasi dan dihayati oleh para pelaku desa? Apakah kemandirian hanya dipahami sebagai kepatuhan terhadap instrumen regulasi, ataukah merupakan proses penghayatan yang lebih mendalam dan kontekstual? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi titik tolak bagi seorang peneliti yang mencoba menembus permukaan kebijakan dan memasuki ruang-ruang sunyi tempat interpretasi lokal terhadap regulasi terbentuk dan dihayati.

Peneliti tidak sekadar menelaah angka-angka dan struktur dalam dokumen perencanaan seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, tetapi menyimak dengan saksama pengalaman, narasi, dan makna para pelaku desa dalam menghayati regulasi tersebut. Untuk itu, digunakan pendekatan fenomenologi hermeneutik Martin Heidegger, guna memahami bagaimana regulasi tidak hanya hadir sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai pengalaman hidup eksistensial. Dengan pendekatan ini, penyusunan Anggaran Desa tidak dilihat hanya sebagai kegiatan teknokratik semata, tetapi sebagai ruang interpretatif tempat para aktor desa membentuk makna, menanggapi nilai-nilai, dan menegosiasikan eksistensinya di tengah sistem yang lebih besar.

Melalui perspektif Heidegger, manusia dipahami sebagai Dasein, yakni makhluk yang selalu sudah ada di dunia, memiliki prapemahaman, dan secara aktif menafsirkan realitasnya. Maka dalam konteks desa, para aktor tidak bersikap pasif terhadap regulasi, tetapi justru membawa pengalaman lokal, nilai-nilai sosial, dan intuisi kultural ke dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambilnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa penyusunan Anggaran Desa menjadi ruang pertemuan antara teks regulasi dengan nilai-nilai gotong royong, pengalaman kolektif, dan pemahaman kebutuhan masyarakat.

Untuk memperkuat pendekatan fenomenologis ini, kerangka penelitian juga didasarkan pada paradigma definisi sosial dalam tradisi sosiologi interpretatif. Paradigma ini menempatkan tindakan sosial sebagai hasil pemaknaan yang terbentuk melalui interaksi simbolik. Dengan demikian, penyusunan Anggaran Desa bukan sekadar proses administratif, tetapi merupakan kegiatan sosial yang penuh dengan interpretasi, negosiasi pemaknaan, dan pembentukan konsensus. Wacana dan interaksi antar aktor desa dalam penyusunan anggaran mencerminkan pergulatan mereka dalam memaknai kemerdekaan itu sendiri. Berangkat dari kerangka tersebut, pendekatan kualitatif dipilih karena mampu mengungkap kedalaman makna yang tersembunyi dalam tindakan dan pengalaman para subjek.

Pendekatan ini bersifat kontekstual, terbuka, dan menekankan pada pemahaman makna, bukan sekadar pengukuran kuantitatif. Dalam konteks penelitian ini, pendekatan kualitatif memberikan ruang untuk mengeksplorasi lapisan subjektif aktor desa—bagaimana mereka memahami, mengalami, dan mempraktikkan kemerdekaan berdasarkan regulasi yang mereka jalani. Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam interpretasi aktor terhadap regulasi kemerdekaan desa dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, sekaligus mengeksplorasi bagaimana eksistensi kemerdekaan dihayati dalam konteks lokal.

Penelitian ini dilakukan melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam dengan tiga aktor utama di Desa Tulungrejo: kepala desa, sekretaris desa, dan ketua BPD. Selain itu, peneliti juga menelusuri dokumen realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), aktivitas musyawarah desa, serta praktik pengelolaan layanan dasar dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini memberikan gambaran utuh tentang bagaimana regulasi diinterpretasikan dalam konteks nyata kehidupan desa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para aktor tidak sepenuhnya tunduk pada regulasi secara literal. Alih-alih menjadi pelaksana pasif kebijakan dari pusat, mereka justru aktif melakukan penafsiran, bahkan sering kali melakukan negosiasi terhadap indikator teknokratik yang diturunkan dari atas. Misalnya:

•    Pada aspek pelayanan kesehatan, regulasi IDM mensyaratkan adanya Posyandu dan akses layanan dasar. Namun, dalam praktiknya, para aktor desa lebih menekankan dimensi relasional—gotong royong, sistem jemput sakit, dan insentif bagi kader kesehatan—yang justru tidak tercakup dalam indikator resmi.

•    Dalam dimensi keberdayaan masyarakat, seperti penguatan koperasi dan ruang ekspresi pemuda, kepala desa memunculkan inisiatif-inisiatif informal yang bersifat situasional dan berbasis relasi sosial, seperti Festival Desa Wisata, pelatihan UMKM lokal, serta ruang diskusi pemuda berbasis komunitas.

•    Pada aspek pengelolaan keuangan, muncul inovasi seperti gagasan Bon Desa—suatu bentuk kemandirian fiskal alternatif yang lahir dari keterbatasan anggaran dan tuntutan pembangunan yang terus berubah.

Temuan-temuan ini memperlihatkan bahwa para aktor desa bukanlah objek kebijakan, melainkan subjek penafsir yang aktif menggubah dan menghidupi regulasi berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Dalam kerangka Heideggerian, mereka tidak sekadar “ada di dunia”, tetapi merawat dunianya melalui tindakan dan pemaknaan sehari-hari. Dengan demikian, tafsir atas regulasi tidak berlangsung dalam ruang kosong, tetapi senantiasa terikat pada konteks historis, sosial, dan eksistensial yang khas.

Berdasarkan hasil penelitian fenomenologis Heideggerian terhadap tiga aktor utama di Desa Tulungrejo, kesimpulan disusun untuk menjawab dua rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni mengenai tafsir aktor terhadap regulasi dan terhadap eksistensi kemandirian desa.

Pertama, penelitian ini menemukan bahwa tafsir aktor terhadap regulasi kemandirian desa—khususnya dalam konteks penyusunan APBDes—tidak berjalan dalam kerangka teknokratik yang netral sebagaimana diasumsikan oleh logika kebijakan pusat. Sebaliknya, proses tafsir tersebut dimediasi oleh struktur eksistensial Dasein dalam pemikiran Martin Heidegger: Vorhabe (pra-pemahaman), Vorsicht (kewaspadaan kontekstual), dan Vorgriff (proyeksi ke masa depan). Regulasi seperti Permendesa No. 2 Tahun 2016 tentang Indeks Desa Membangun tidak diadopsi begitu saja, melainkan ditafsirkan melalui pengalaman historis-komunal, nilai lokal, dan relasi sosial yang hidup. Para aktor menunjukkan selektivitas dalam merespons regulasi, dengan memfilter, menyesuaikan, bahkan menegosiasikan kebijakan sesuai dengan kapasitas lokal dan dinamika gotong royong yang khas. Dalam hal ini, APBDes tidak lagi sekadar dokumen administratif, tetapi menjadi arena artikulasi antara sistem simbolik negara dan dunia kehidupan desa.

Kedua, tafsir aktor terhadap eksistensi kemandirian desa melampaui batas-batas formal yang ditentukan oleh instrumen teknokratik seperti IDM atau jumlah dana desa. Kemandirian dipahami bukan sebagai capaian indikator, melainkan sebagai praktik hidup yang tumbuh dari relasi sosial, partisipasi kolektif, dan artikulasi nilai-nilai lokal. Eksistensi kemandirian ini mengemuka dalam dua ranah utama: (1) kemampuan keuangan mandiri yang berbasis pada aset lokal dan solidaritas kolektif, dan (2) keberdayaan masyarakat yang terwujud melalui partisipasi aktif dan ruang-ruang ekspresi komunitas. Namun, eksistensi ini tidak berjalan tanpa hambatan. Sistem audit birokratis dan tekanan administratif kerap kali membatasi ruang otentisitas Dasein desa, menciptakan ketegangan antara kehendak eksistensial dan logika sistemik negara.

Oleh karena itu, disimpulkan bahwa kemandirian desa tidak dapat dipahami hanya sebagai tujuan pembangunan atau kategori kebijakan, melainkan sebagai proses eksistensial-komunal yang dinamis—sebuah dialog terus-menerus antara dunia-hidup desa dan struktur regulatif negara. Dalam konteks ini, tafsir lokal memainkan peran sentral dalam mewujudkan makna kemandirian yang autentik dan relevan secara sosial.

Peneliti berharap, temuan disertasi ini dapat menjadi bahan refleksi kritis bagi para pembuat kebijakan, agar tidak memaksakan standar kemandirian desa secara seragam. Pengalaman Desa Tulungrejo menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh sejauh mana ruang tafsir lokal diakui dan dirawat. Kemandirian bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan dari luar, melainkan harus bertumbuh dari dalam.

Lebih jauh, pendekatan filosofis dalam studi kebijakan ini diharapkan dapat membuka ruang baru dalam kajian ilmu pemerintahan dan pembangunan desa. Untuk memahami desa, kita tidak cukup hanya dengan membaca angka dan grafik. Kita perlu mendengar suara para aktor, menyelami pengalaman mereka, dan merawat kisah-kisah hidup yang membentuk realitas desa sehari-hari.

***

*) Oleh: Aditya Prasaja, Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES