
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ibadah haji bukan sekadar perjalanan spiritual individu. Ia adalah kompleksitas dari korelasi logistik, diplomatik, dan pelayanan publik yang melibatkan ratusan ribu warga negara setiap tahunnya, menuntut penyelenggaraan yang terpadu, adil, dan bermartabat.
Di tengah kompleksitas yang terus berkembang dari peningkatan kuota, dinamika geopolitik, tantangan kesehatan global, hingga tuntutan jamaah yang semakin tinggi.
Advertisement
Payung hukum penyelenggaraannya, UU Nomor 13 Tahun 2008, dinilai sudah tidak lagi memadai. Kehadiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Ibadah Haji yang baru menjadi sebuah keniscayaan yang mendesak, bukan sekadar wacana.
Inti dari urgensi ini terletak pada satu tujuan mulia: optimalisasi pelayanan jamaah demi terwujudnya "Tri Sukses Penyelenggaraan Haji" yang selalu digaungkan pimpinan Badan Penyelenggara Haji (BPH).
Pernyataan Kepala BPH RI Gus Irfan Yusuf mengenai Tri Sukses yang meliputi: Sukses Kesehatan, Sukses Administrasi, dan Sukses Spiritual bukanlah jargon kosong.
Ia adalah pilar utama yang menopang pengalaman haji yang khusyuk, aman, dan lancar. RUU baru ini diproyeksikan menjadi alat transformatif untuk mewujudkan ketiga pilar tersebut secara lebih optimal dan berkelanjutan.
Pertama, Sukses Kesehatan. Pengalaman pandemi COVID-19 menjadi bukti nyata betapa kerentanan kesehatan jamaah dapat mengganggu bahkan menghentikan penyelenggaraan ibadah. UU lama tidak cukup lincah mengantisipasi skenario darurat kesehatan global semacam itu.
RUU baru diharapkan dapat memperkuat kerangka hukum untuk sistem kesehatan haji yang lebih tangguh. Ini mencakup prosedur kesehatan pra-keberangkatan yang lebih ketat dan terintegrasi, kapasitas dan fasilitas kesehatan di Arab Saudi (baik di pemondokan maupun di lapangan) yang lebih memadai dan merata, serta protokol penanganan wabah atau keadaan darurat kesehatan yang jelas dan cepat.
Penguatan aspek kesehatan dalam RUU berarti investasi pada pencegahan, kesiapan responsif, dan jaminan pelayanan kesehatan paripurna bagi jamaah, yang merupakan prasyarat mutlak bagi kelancaran ibadah fisik mereka.
Kedua, Sukses Administrasi. Inilah area yang paling sering disorot dan dikeluhkan jamaah. Panjangnya antrian tunggu (puluhan tahun di beberapa daerah), ketidaktransparanan biaya komponen haji (Bipih), kerumitan prosedur, hingga isu potensi pungli dan inefisiensi, adalah persoalan klasik yang bersumber dari kelemahan sistem dan pengawasan.
RUU baru harus menjadi jawaban tegas. Optimalisasi pelayanan administrasi mensyaratkan digitalisasi menyeluruh proses pendaftaran, pembayaran, dan pelayanan informasi.
RUU harus memberikan landasan kuat bagi sistem informasi haji terpadu yang akuntabel dan mudah diakses publik. Transparansi penuh dalam pengelolaan dana haji, termasuk pengaturan yang lebih adil dan jelas mengenai Bipih serta mekanisme subsidi silang, harus diamanatkan.
Penyederhanaan birokrasi, penguatan pengawasan internal dan eksternal (termasuk peran Komisi Pengawas Haji Indonesia), serta pemberian sanksi yang tegas bagi pelanggaran, menjadi instrumen kunci RUU untuk memastikan keadilan, efisiensi, dan akuntabilitas yang menjadi jantung Sukses Administrasi. Jamaah berhak mendapat kepastian dan pelayanan yang mudah, cepat, dan transparan.
Ketiga, Sukses Spiritual. Ibadah haji pada hakikatnya adalah perjalanan hati dan jiwa menuju Allah SWT. Namun, kondisi fisik yang lemah, kebingungan akibat prosedur yang rumit, atau kurangnya bimbingan yang memadai, dapat mengaburkan kekhusyukan.
RUU baru juga harus memastikan bahwa aspek spiritual tidak terabaikan dalam pusaran logistik dan administrasi. Ini berarti penguatan peran Pembimbing Ibadah Haji (PIH) yang berkualitas, tidak hanya secara keilmuan agama tetapi juga kemampuan komunikasi, manajemen kelompok, dan pemecahan masalah. RUU perlu mengatur standar kompetensi, rekrutmen, dan pelatihan PIH yang lebih ketat.
Selain itu, penyediaan sarana pendukung spiritual di pemondokan (seperti tempat shalat dan kajian yang layak), serta materi bimbingan manasik yang komprehensif dan aplikatif, baik sebelum keberangkatan maupun selama di Tanah Suci, perlu mendapat perhatian serius dalam kerangka hukum baru.
Sukses Spiritual adalah puncak dari perjalanan haji, dan RUU harus menjamin bahwa seluruh proses penyelenggaraan mendukung, bukan menghambat, pencapaian tujuan utama ibadah ini.
Urgensi pengesahan RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji tidak bisa ditawar lagi. Setiap penundaan berarti berpotensi merugikan hak dan pengalaman spiritual ratusan ribu jamaah yang berangkat setiap tahun. UU baru harus menjadi kontrak sosial baru antara negara dan calon haji, yang menempatkan optimalisasi pelayanan jamaah sebagai primus inter pares.
Dengan memperkuat landasan hukum untuk mencapai Tri Sukses secara holistik yakni kesehatan yang terjaga, administrasi yang lancar dan adil, serta spiritualitas yang terpupuk sehingga pada prinsipnya RUU ini bukan sekadar revisi peraturan.
Ia adalah komitmen bangsa untuk memfasilitasi perjalanan suci warganya dengan sebaik-baiknya pelayanan, penuh kemuliaan, dan menjunjung tinggi asas keadilan. DPR dan Pemerintah harus segera merampungkan dan mengesahkan RUU ini.
Waktu tidak menunggu, dan harapan jutaan calon jamaah haji Indonesia tergantung pada langkah tegas ini demi pelayanan yang optimal dan ibadah yang sempurna.
***
*) Oleh : Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class Bonek Jogja.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |