Ancaman Logika Hukum Dari Putusan Akhir Tom Lembong

TIMESINDONESIA, MALANG – Putusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula jelas menimbulkan kegaduhan di ruang publik dan komunitas hukum.
Banyak pihak menyebut bahwa putusan ini tidak hanya janggal dari segi yuridis, tetapi juga mengusik nalar sehat masyarakat. Dalam berbagai diskusi publik, muncul pertanyaan besar: bagaimana mungkin seseorang divonis bersalah padahal tidak terbukti memiliki niat jahat, tidak menerima aliran uang, dan menjalankan tugas sesuai dengan kewenangannya sebagai pejabat negara?
Advertisement
Poin pertama yang mencolok adalah pengakuan majelis hakim sendiri bahwa Tom Lembong tidak memiliki niat jahat (mens rea) dan tidak memperkaya diri sendiri dari kebijakan yang diambilnya. Dalam prinsip hukum pidana, unsur niat atau kesengajaan merupakan elemen mendasar untuk menyatakan seseorang bersalah.
Tanpa adanya niat jahat dan keuntungan pribadi, semestinya unsur pidana tidak terpenuhi. Namun, kejanggalan terjadi ketika pengakuan tersebut tidak menghalangi hakim untuk tetap menjatuhkan vonis. Ini menjadi preseden berbahaya dalam praktik hukum di Indonesia. Jika seorang pejabat bisa dipidana hanya karena kebijakan yang tidak disukai, maka batas antara tanggung jawab kebijakan dan tindak pidana akan kabur.
Kejanggalan kedua terletak pada penggunaan argumentasi ideologis dalam putusan. Hakim menyatakan bahwa kebijakan Tom Lembong “lebih condong pada ekonomi kapitalis dan bertentangan dengan ekonomi Pancasila.” Argumentasi ini menuai gelombang kritik dari para pakar hukum, karena dinilai keluar dari substansi hukum pidana.
Perbedaan pendekatan ekonomi seharusnya menjadi domain perdebatan politik atau akademik, bukan alat untuk menjustifikasi vonis pidana. Hukum tidak semestinya dijadikan alat ideologis untuk mengadili perbedaan pandangan dalam kebijakan ekonomi, terlebih ketika tindakan tersebut dilakukan dalam kapasitasnya sebagai menteri yang sah.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Ketiga, dalam perkara ini, pengabaian terhadap kewenangan resmi Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan tampak jelas. Hakim menyatakan bahwa impor gula seharusnya dilakukan melalui rapat koordinasi antar kementerian. Padahal, dalam ketentuan perundang-undangan seperti UU Pangan dan Perpres terkait, tidak ada kewajiban hukum yang mengharuskan menteri harus mendapat restu dari rapat koordinasi.
Hal ini ditegaskan pula oleh para pakar administrasi negara yang menilai bahwa menteri teknis memiliki diskresi untuk mengambil keputusan dalam kerangka kebutuhan nasional, khususnya menyangkut kelangkaan pangan. Oleh karena itu, menyandarkan vonis pidana pada prosedur non-wajib semacam rapat koordinasi adalah bentuk over-interpretasi yang rawan kriminalisasi kebijakan publik.
Aspek lain yang menambah kontroversi adalah ketidakpastian dalam penghitungan kerugian negara. Nilai kerugian yang digunakan dalam putusan disebut-sebut berasal dari audit BPK yang menyimpang jauh dari temuan di persidangan. Bahkan terdapat klaim bahwa terdapat selisih hingga ±45%, jauh dari standar audit profesional yang hanya memperbolehkan deviasi sebesar 5–10%. Jika dasar kerugian saja sudah lemah, maka pondasi utama dari tuduhan korupsi pun seharusnya runtuh.
Tidak berhenti di situ, publik juga mencurigai bahwa putusan hakim hanya merupakan salinan dari tuntutan jaksa, tanpa pertimbangan baru yang mencerminkan dinamika persidangan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa proses peradilan ini mengabaikan prinsip imparsialitas dan kehati-hatian. Vonis yang tidak mengindahkan fakta-fakta persidangan, apalagi ketika saksi ahli dan dokumen pendukung justru meringankan terdakwa, adalah indikasi lemahnya independensi pengadilan.
Respons publik terhadap vonis ini sangat keras. Tokoh-tokoh seperti Mahfud MD, Novel Baswedan, Anies Baswedan, dan Saut Situmorang secara terbuka menyebut putusan tersebut sebagai keputusan “ngaco”, “norak”, dan “tidak masuk akal”. Penilaian ini bukan sekadar kritik emosional, melainkan refleksi dari kekecewaan terhadap kualitas peradilan di negeri ini. Ketika logika hukum dikalahkan oleh pendekatan ideologis dan tekanan politik, maka sistem hukum kita sedang menuju pada krisis legitimasi.
Lebih dari sekadar nasib Tom Lembong, kasus ini menjadi cermin buram wajah hukum Indonesia. Jika seorang pejabat yang menjalankan tugas tanpa memperkaya diri pun bisa dijatuhi hukuman pidana hanya karena pendekatan kebijakannya dianggap "tidak sesuai", maka tidak ada lagi ruang aman bagi para pengambil kebijakan. Ini bisa berdampak serius pada iklim birokrasi, di mana pejabat akan enggan mengambil keputusan penting karena takut dikriminalisasi. Akibatnya, pelayanan publik bisa terganggu dan keberanian dalam berinovasi akan mati.
Dalam konteks itu, banding yang diajukan oleh Tom Lembong bukan sekadar upaya mencari keadilan personal, tetapi menjadi ujian penting bagi sistem peradilan Indonesia. Apakah hukum masih bisa dijadikan panglima? Ataukah ia telah dikerdilkan menjadi alat untuk menekan kebijakan yang berbeda? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah demokrasi dan supremasi hukum kita ke depan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |