Sosok

Choirul Anam, Sang Doktor yang Kembali Jadi Sarjana

Selasa, 29 Juli 2025 - 18:06 | 15.00k
Choirul Anam PhD (tengah) sukses meraih Sarjana Hukum di Universitas Terbuka (UT). Ia diwisuda sarjana bareng wisudawan UT pagi tadi (29/7/2025). (Foto:  UT for TIMES Indonesia)
Choirul Anam PhD (tengah) sukses meraih Sarjana Hukum di Universitas Terbuka (UT). Ia diwisuda sarjana bareng wisudawan UT pagi tadi (29/7/2025). (Foto: UT for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Namanya hampir sama dengan saya; Choirul Anam. Saya mengenalnya seperti adik saya sendiri. 

Jadi, meski hari ini tidak ketemu langsung dalam wisudanya di UT hari ini (29/5/2025), tapi saya bisa membayangkan ia sedang mengenakan toga UT. 

Advertisement

Dengan senyum tipis, malu-malu tapi menang. Bukan karena gelar. Tapi karena semacam kemenangan batin yang barangkali hanya ia sendiri yang tahu rasanya.

Choirul Anam sudah doktor. Sudah lulus PhD dari Charles University, Republik Ceko. Disertasinya serius; "Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan di Indonesia". 

Waktu tempuhnya juga tidak main-main. Tiga tahun 4 bulan. Cepat. Tapi bukan itu yang membuat saya ingin menulis tentangnya.

Saya tertarik pada keputusan yang “tidak masuk akal”. Ia mengambil kuliah S1 Ilmu Hukum di Universitas Terbuka (UT) setelah lulus doktor.

Lazimnya orang, makin tinggi gelarnya, makin malas ia melihat ke bawah. Makin sedikit waktu untuk “menapak ulang.” Tapi adik asuh yang satu ini, membalikkan urutan itu. Dari doktor di Eropa, kembali jadi mahasiswa sarjana hukum di Indonesia.

“Ini bukan soal gelar,” katanya. “Ini tentang menghormati proses.”

Saya langsung teringat kisah petani tua di Jepang yang tetap menyapu halaman dengan telaten setiap pagi. Meski cucunya sudah sukses di kota. “Karena kebiasaan baik tidak ditinggalkan hanya karena kita sudah berubah status,” katanya.

Anam rupanya punya falsafah serupa. Bahwa belajar bukanlah menumpuk ijazah. Tapi belajar adalah sebuah cara menyusuri jalan berliku dari pemahaman ke pemahaman berikutnya.

Belajar Bukan Sekedar Ijazah

Saya membayangkan betapa sibuknya Choirul Anam di Praha. Kota tua nan dingin itu tentu punya distraksi intelektual yang banyak. Ada perpustakaan klasik, riset tak habis-habis, seminar ilmiah. 

Tapi, di sela itu ia sempat-sempatnya menyetor tugas UT. Membaca hukum-hukum dasar. Menjawab ujian terbuka. Menulis makalah. Mungkin sambil kumenyeruput kopi dingin dari gelas karton, sambil mengejar deadline disertasi.

Ini bukan sekadar soal disiplin. Ini tentang keyakinan yang jarang dimiliki oleh orang-orang berijazah tinggi. Bahwa belajar tak mengenal “kasta akademik.” Bahwa S1 itu bukan tahap remeh. Dan bahwa memahami hukum Indonesia adalah kehormatan tersendiri, terutama bagi anak desa seperti dirinya.

Ya, Choirul Anam bukan anak kampus mentereng sejak awal. Ia lahir di desa. Dari keluarga yang jauh dari cukup. S1 Akuntansi dan S2 MPKP ia selesaikan di Universitas Indonesia. Tentu dengan beasiswa dan kerja keras.

Lalu ia ke luar negeri. Kemudian menjadi Koordinator PPI Dunia. Semacam “presiden” pelajar Indonesia se-dunia. Tapi tetap, ketika semua gelar sudah di tangan, ia kembali ke jalur dasar: belajar hukum dari awal.

Mungkin karena ia tahu, banyak yang salah di negeri ini bukan karena kita kekurangan doktor, tapi karena kita sering lupa pada hal-hal mendasar. Seperti keadilan. Seperti hukum. Seperti memahami bangsa kita sendiri dari akar-akarnya.

Filosofi ala Putera Madura

Saya suka kalimatnya: "Kadang orang merasa sudah tinggi gelarnya, lalu enggan belajar hal-hal mendasar."

Itu kalimat jleb. Dan sayangnya, benar.

Banyak yang sudah S2 di luar negeri, pulang langsung merasa semua urusan lokal sudah bisa ditinggal. Bahwa pengetahuan tentang hukum Indonesia, atau sosial masyarakat Indonesia, adalah “urusan birokrasi.” Padahal, justru dari situlah fondasi kita dibangun.

Saya percaya, orang-orang seperti Anam ini penting. Ia seperti batu penjuru dalam rumah ilmu. Ia tidak paling tinggi, tapi menopang sudut yang paling tajam. Yakni, relasi antara intelektualitas dan kerendahan hati.

UT hari ini (29/5/2025) memberinya panggung. Sebagai Wisudawan Inspiratif. Tapi inspirasi sesungguhnya ada dalam pilihannya untuk tetap “memulai”, padahal ia sudah “selesai.”

Di akhir sambutannya di UT, Anam berkata: “Kemiskinan bukan alasan untuk menyerah. Justru dari situlah saya belajar bahwa mimpi harus diperjuangkan. Bukan ditunda.”

Kalimat itu seperti pukulan halus ke banyak orang yang hari ini masih mencari alasan. Alasan untuk berhenti. Alasan untuk tidak mulai. Alasan untuk puas terlalu cepat.

Saya membayangkan kelak ia akan jadi tokoh penting. Tapi kalau tidak pun, kalau ia tetap hanya jadi “pembelajar seumur hidup” seperti yang disebut Rektor UT, bahwa ia sudah cukup memberi contoh. 

Contoh bahwa tak ada pendidikan yang sia-sia. Dan, tak ada gelar yang terlalu tinggi untuk kembali memulai dari dasar. Selamat adinda! (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES