Kopi TIMES

Desa, Koperasi dan Kekuasaan

Kamis, 31 Juli 2025 - 19:20 | 9.99k
Isnan Nursalim, Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan UGM.
Isnan Nursalim, Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan UGM.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Presiden Prabowo Subianto telah meluncurkan 8.000 Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, Senin (21/7/2025). Peluncuran Koperasi Desa Merah Putih oleh pemerintah menuai beragam tanggapan. 

Di satu sisi, kebijakan ini dilihat sebagai bentuk komitmen untuk memperkuat ekonomi desa melalui pendekatan koperasi. Namun di sisi lain, banyak kalangan mempertanyakan desain kelembagaan dan pendekatan yang digunakan. 

Advertisement

Jika kita tilik lebih dalam, semangat koperasi harusnya lahir dari kesadaran kolektif warga untuk saling bantu, bukan dari intervensi kuasa yang bersifat top-down.

Secara historis, koperasi tumbuh sebagai sebuah gerakan kolektif. Koperasi harus menjadi wadah sosial-politik yang lahir dari akar rumput, bukan sekadar entitas ekonomi tunggal. 

Hal ini juga tercermin dalam prinsip-prinsip dasar koperasi yang menekankan keanggotaan sukarela dan terbuka, pengelolaan secara demokratis, serta partisipasi aktif dari para anggotanya. Nilai-nilai inilah yang membedakan koperasi dari entitas ekonomi lainnya.

Namun, pembentukan Koperasi Desa Merah Putih secara top-down berisiko mengaburkan ruh dasar koperasi yang sejatinya tumbuh dari inisiatif kolektif masyarakat. Kemandirian dan kebersamaan yang seharusnya menjadi jantung ketahanan koperasi justru menjadi lemah. 

Padahal, nilai-nilai tersebut sangat penting sebagai penggerak utama pertumbuhan koperasi. Tanpa fondasi yang kuat, berbagai persoalan akan mudah muncul dan koperasi pun berisiko tidak berkelanjutan.

Gagasan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sejatinya lahir dari upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa melalui pendekatan ekonomi kerakyatan yang mengedepankan semangat gotong royong, asas kekeluargaan, dan prinsip saling membantu. 

Secara prinsip, ide ini tampak sejalan dengan nilai-nilai koperasi dan semangat kewargaan. Namun, jika ditelaah lebih jauh, yang terpenting bukan sekadar aspek ‘legalitas’ koperasi. 

Jauh lebih penting adalah bagaimana membangun “rumah besar” yang menaungi semangat kolektif sekaligus menumbuhkan rasa memiliki terhadap rumah bersama tersebut.

Inisiatif pembentukan koperasi yang digerakkan dari atas justru berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan. Potensi ini muncul karena minimnya partisipasi masyarakat dalam merumuskan desain, menentukan struktur kelembagaan, hingga memilih siapa yang akan memimpin dan mengelola koperasi. Permasalahan tersebut dapat terjadi karena beberapa alasan. 

Pertama, pendekatan ini cenderung mengabaikan dinamika sosial-ekonomi lokal yang kompleks dan beragam. Tidak semua desa memiliki kebutuhan, kapasitas, atau budaya kolektif yang seragam. 

Memaksakan satu model koperasi untuk seluruh desa di Indonesia berarti mengesampingkan konteks sosial yang khas di setiap komunitas.

Kedua, koperasi yang lahir tanpa proses dialog dan pengorganisasian di tingkat komunitas cenderung menjadi proyek formalistik. Dalam praktiknya, koperasi semacam ini berpotensi dikelola secara semu. Terbentuk hanya untuk memenuhi target jumlah pembentukan koperasi, tetapi tidak berfungsi secara substantif. 

Hal ini bukan hal baru. Sudah banyak contoh koperasi yang dibentuk secara instruktif, kemudian mati suri karena tidak mampu menjawab kebutuhan anggota, tidak memiliki kepemimpinan kolektif, dan minim partisipasi.

Ketiga, pendekatan top-down cenderung menciptakan relasi kuasa yang timpang. Koperasi bukanlah alat negara. Koperasi harus tumbuh secara swadaya sebagai sarana untuk membangun kemandirian warga. 

Ketika negara menjadi aktor utama dalam menentukan bentuk dan arah koperasi, maka koperasi justru kehilangan kemampuannya untuk menjadi ruang demokratis bagi warga desa. 

Dalam praktiknya, pengurus koperasi bisa saja berasal dari elite desa yang dekat dengan kekuasaan, bukan hasil musyawarah warga. Hal ini berpotensi menciptakan dominasi kelompok tertentu atas sumber daya bersama yang semestinya dikelola secara demokratis.

Penting untuk dicatat bahwa bahkan koperasi yang lahir dari kesadaran komunitas pun masih menghadapi banyak tantangan. Banyak koperasi swadaya yang kesulitan dalam hal tata kelola, transparansi, partisipasi anggota, hingga akses terhadap modal dan pasar. 

Hal ini menunjukkan bahwa membangun koperasi bukanlah sesuatu yang mudah. Ia memerlukan proses panjang, pengorganisasian yang kuat, dan kepercayaan antaranggota. Oleh karena itu, bisa dibayangkan betapa lebih rumitnya persoalan yang akan muncul jika koperasi justru dibentuk melalui pendekatan komando dari atas.

Peluncuran Koperasi Desa Merah Putih menjadi momentum untuk memikirkan kembali dan mempertanyakan secara kritis apa yang sesungguhnya ingin kita bangun dari koperasi desa. 

Apakah sekadar memperbanyak jumlah koperasi sebagai indikator pembangunan? Ataukah benar-benar ingin menciptakan ruang kolektif di mana warga bisa saling belajar, bekerja sama, dan membangun kemandirian ekonomi?

Jika tujuannya adalah yang kedua, maka pendekatan yang digunakan perlu diperkuat secara fundamental. Koperasi harus tumbuh secara kolektif dari bawah. Pemerintah bisa hadir untuk memainkan peran sebagai fasilitator yang mendampingi proses pengorganisasian warga. 

Biarkan warga merumuskan sendiri bentuk kelembagaan yang sesuai dengan konteks mereka. Biarkan nilai-nilai koperasi tumbuh dari pengalaman kolektif mereka, bukan dipaksakan melalui peraturan dari atas.

Peran negara bisa lebih diarahkan pada pemberdayaan, bukan penggiringan. Misalnya, dengan memperkuat pendidikan koperasi yang kontekstual, membuka akses pasar dan modal secara adil, serta melindungi koperasi dari intervensi elite lokal yang kerap menjadikan koperasi sebagai alat politik atau kendaraan bisnis pribadi.

Di sinilah pentingnya menghargai waktu dan proses dalam membangun koperasi. Tidak semua komunitas siap hari ini. Tapi jika diberi ruang untuk berkembang dan belajar, mereka akan memiliki peluang lebih besar untuk membentuk koperasi yang benar-benar tumbuh dari bawah dan berkelanjutan.

Sehingga koperasi bukan menjadi solusi instan. Ia bukan proyek yang bisa dipaksakan dari atas dalam waktu singkat. Ia adalah proses kolektif yang penuh dinamika, dan justru di situlah kekuatannya. 

Jika kita sungguh-sungguh ingin membangun koperasi desa, maka kita harus kembali pada akar koperasi sebagai gerakan, bukan sebagai program. Dengan demikian, Koperasi Desa Merah Putih akan mampu menjawab segala persoalan ekonomi desa. 

***

*) Oleh : Isnan Nursalim, Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan UGM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES