
TIMESINDONESIA, WONOGIRI – Pernahkah kita bertanya, mengapa lulusan sekolah kita yang telah bertahun-tahun belajar Pendidikan Agama Islam masih kesulitan menghubungkan ajaran agama dengan realitas kehidupan: Mengapa mereka mahir menghafal ayat dan hadis, namun gagap ketika diminta menganalisis fenomena sosial dengan kacamata Islam yang kritis?
Di ruang-ruang kelas PAI di seluruh Indonesia, pemandangan yang sama terulang: guru membacakan definisi dari buku paket, siswa mencatat, kemudian menghafal untuk ujian.
Advertisement
Materi "Berpikir Kritis dan Mencintai IPTEK" yang seharusnya menjadi ajang pengembangan daya nalar, sering kali hanya berujung pada hafalan konsep tanpa makna.
"Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis" demikian guru membacakan definisi dari buku. Siswa mendengar, mencatat, lalu melupakan setelah ujian selesai. Tidak ada diskusi mendalam, tidak ada kaitan dengan kehidupan nyata, apalagi stimulasi untuk berinovasi.
Ironisnya, di luar kelas, siswa yang sama aktif berdebat di media sosial, menganalisis berita, bahkan menciptakan konten kreatif. Mereka sebenarnya sudah berpikir kritis, hanya saja tidak pernah diajarkan untuk menghubungkannya dengan nilai-nilai agama.
Pembelajaran yang Terputus dari Realitas
Ambil contoh ketika membahas fenomena alam. Guru agama cenderung langsung melompat ke dalil Al-Qur'an tentang penciptaan alam semesta, tanpa terlebih dahulu mengajak siswa merenungkan bagaimana manusia memahami alam di berbagai masa.
Padahal, ada pembelajaran yang sangat kaya jika kita mulai dari kontras pemahaman. Ketika membahas gerhana, misalnya, mengapa tidak dimulai dengan cerita: "Dulu, kakek-nenek kita percaya bahwa gerhana bulan terjadi karena bulan dimakan raksasa. Mereka memukul kentongan untuk mengusir raksasa itu. Tapi sekarang kita tahu bahwa gerhana terjadi karena."
Kontras seperti ini tidak merendahkan kepercayaan masa lalu, melainkan menunjukkan bagaimana manusia terus berkembang dalam memahami ciptaan Allah. Inilah esensi berpikir kritis: kesediaan untuk terus belajar dan memperbaiki pemahaman.
Ketika Ekonomi Digital Mengajarkan Inovasi
Di bidang ekonomi, transformasi digital telah mengubah cara berbisnis secara fundamental. Pengusaha ojek tradisional yang ingin ekspansi harus membeli motor lebih banyak, merekrut driver lebih banyak. Tapi pendiri aplikasi transportasi online berpikir berbeda: instead of scaling assets, scale the platform.
Inilah yang disebut disruptive thinking, cara berpikir yang mengubah permainan. Dan ini adalah contoh nyata berpikir kritis yang menghasilkan inovasi. Namun berapa banyak guru agama yang menggunakan kasus seperti ini untuk mengajarkan konsep fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan) atau ihsan (berbuat dengan cara terbaik)?
Kebanyakan masih terjebak pada contoh-contoh klise yang tidak relevan dengan zaman siswa.
Kesenjangan yang Mengkhawatirkan
Yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap sebagian guru yang merasa "aman" dengan metode lama. "Yang penting siswa hafal ayat dan hadis," begitu pembenaran yang sering terdengar. Seolah-olah hafalan adalah tujuan akhir pendidikan agama.
Akibatnya, lulusan kita menjadi konsumen pasif teknologi buatan luar negeri. Mereka mahir menggunakan aplikasi media sosial dari Amerika, platform e-commerce dari China, tapi tidak pernah terstimulasi untuk menciptakan inovasi serupa yang berbasis nilai-nilai Islam.
Indonesia dengan 270 juta penduduk seharusnya menjadi exportir inovasi teknologi, bukan sekadar importir. Tapi bagaimana mungkin itu terwujud jika sistem pendidikan kita tidak merangsang siswa untuk berpikir kreatif dan inovatif?
Saatnya Guru Agama Bertransformasi
Transformasi tidak berarti meninggalkan nilai-nilai agama, justru sebaliknya. Transformasi berarti mengajarkan agama dengan cara yang relevan, kontekstual, dan menginspirasi.
Guru agama perlu keluar dari zona nyaman "ceramah satu arah" menuju pembelajaran yang dialogis dan eksploratif. Perlu berani menggunakan kasus-kasus kontemporer, bukan hanya contoh-contoh zaman Rasulullah yang sudah diulang-ulang.
Ketika membahas tentang mencintai IPTEK, jangan hanya bacakan hadis tentang menuntut ilmu. Ajak siswa menganalisis: mengapa aplikasi-aplikasi yang kita gunakan sehari-hari kebanyakan buatan luar negeri? Apa yang bisa kita lakukan agar bangsa Muslim menjadi creator, bukan hanya consumer?
Pembelajaran yang Menantang dan Menginspirasi
Pembelajaran yang efektif adalah yang menantang siswa untuk berpikir, bukan sekadar menerima informasi. Guru perlu menciptakan cognitive conflict situasi di mana siswa harus mempertanyakan asumsi-asumsi yang selama ini dianggap benar.
Misalnya, ketika membahas fenomena petir. Mulai dengan pertanyaan: "Menurut kalian, apa penyebab petir?" Biarkan siswa mengekspresikan berbagai pemahaman, termasuk yang berbau mistis.
Kemudian ajak mereka mengeksplorasi penjelasan ilmiah, dan akhirnya kaitkan dengan konsep tauhid: Allah menciptakan hukum-hukum alam yang dapat dipelajari dan dipahami manusia. Proses seperti ini jauh lebih bermakna daripada langsung membacakan penjelasan dari buku.
Kritik untuk Perbaikan
Kritik terhadap pembelajaran PAI yang konvensional bukan berarti meremehkan upaya guru-guru yang telah berdedikasi selama ini. Ini adalah panggilan untuk perbaikan, untuk tidak puas dengan status quo.
Siswa zaman now adalah digital natives. Mereka terbiasa dengan informasi yang cepat, visual, dan interaktif. Pembelajaran yang monoton dan berbasis hafalan akan kehilangan relevansi di mata mereka.
Guru agama yang cerdas adalah yang mampu berbicara dalam "bahasa" siswa tanpa kehilangan substansi ajaran agama. Yang mampu menggunakan teknologi sebagai alat, bukan sebagai ancaman.
Pesan untuk Para Pendidik
Kepada para guru PAI di seluruh Indonesia: saatnya kita berefleksi. Apakah pembelajaran yang kita berikan sudah membekali siswa untuk menghadapi tantangan masa depan? Apakah mereka sudah terlatih untuk berpikir kritis sambil tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam?
Jika jawabannya belum, maka transformasi adalah keharusan, bukan pilihan: Pertama, Gunakan kasus-kasus aktual dalam pembelajaran. Kedua, Ajak siswa berdiskusi, jangan hanya ceramah.
Ketiga, Hubungkan setiap materi dengan kehidupan nyata mereka. Keempat, Tantang mereka untuk berpikir, bukan hanya menghafal. Kelima, Dorong mereka untuk berinovasi berdasarkan nilai-nilai Islam.
Pendidikan agama yang berkualitas bukan yang menghasilkan siswa yang hafal banyak ayat tapi tidak paham konteksnya. Bukan yang pintar berdebat teologi tapi gagap menghadapi realitas kehidupan.
Pendidikan agama yang berkualitas adalah yang menghasilkan generasi Muslim yang cerdas, kritis, kreatif, dan inovatif. Yang mampu menjadi problem solver untuk umat dan bangsa. Yang tidak hanya menjadi konsumen, tapi juga creator peradaban.
Untuk mewujudkan itu, guru agama harus berani keluar dari zona nyaman, meninggalkan metode usang, dan mengadopsi pendekatan pembelajaran yang lebih relevan dengan zamannya. (*)
***
*) Oleh : Beni Nur Cahyadi, Guru SMK Negeri 1 Giritontro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |